-- Hasif Amini
BAHASA Indonesia memiliki hanya sedikit perbendaharaan untuk menyebut kata-kata yang terangkai menjadi larik-larik dan bait berirama yang penuh citraan atau kiasan: ”sajak” dan ”puisi”—ada kalanya ”syair” juga dipakai, dan dulu (atau kini sesekali) kata ”sanjak” pun beredar. Tetapi itu rupanya tak hanya terjadi dalam bahasa kita. Bahasa Inggris, misalnya, dengan latar tradisi sastra yang begitu panjang dan luas, pun hanya punya nomina poem, poetry, dan verse, untuk menyebut hal yang lebih-kurang sama.
(Adapun sajak atau sanjak atau syair atau puisi itu tentulah sangat banyak ragam atau bentuknya: gurindam, haiku, pantun, sajak bebas, sestina, soneta, talibun, villanelle, dan seterusnya. Jika dikumpulkan dari pelbagai khazanah sastra di segenap penjuru dunia, mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan bentuk puisi yang pernah hidup sejak manusia mulai berbahasa dan bernyanyi dengan kata-kata hingga hari ini.)
Namun, kembali kepada empat patah nama di kalimat pembuka di atas, kosakata yang sedikit itu barangkali sudah sewajarnya: nama umum/generik untuk menyebut sesuatu memang tak perlu bervariasi. Yang penting adalah bahwa cukup tersedia nama diri untuk menyebut atau menandai masing-masing jenis atau ragam yang lebih khusus, sebagaimana dicontohkan pada alinea kedua.
Dalam penggunaan sehari-hari, kata ”sajak” dan ”puisi” kerap dipertukarkan sebagai sinonim, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menunjuk dua ihwal yang sedikit berlainan. Kata ”sajak” tak jarang merujuk pada wujud formal yang tampak pada sebuah komposisi verbal yang berirama—termasuk di dalamnya rima, panjang-pendek larik, dan pembagian bait. Karena itu, frase ”pola persajakan” mengacu pada penyusunan unsur-unsur tersebut dalam sebuah karya. Sedangkan ”puisi” bisa mengarah pada watak sugestif bahasa yang digunakan atau kekuatan dan kepadatan imajinasi yang terkandung dalam suatu karya tulis, entah karya itu mengandung ”pola persajakan” ataupun tidak. Bahkan, kawasan ”puisi” kini seakan lebih luas dari sastra: sekali waktu kita mendengar sebuah film atau lukisan disebut ”puitis” atau dikatakan sebagai sebuah ”puisi”—bukan karena ada kata-kata bersajak di dalamnya, melainkan karena kekuatan visualnya.
Jalan berliku
Kata ”syair”, setidaknya sebagaimana terpetik dari khazanah sastra Melayu, semula merujuk pada suatu bentuk puisi terikat, tetapi dalam pemakaian umum kini barangkali lebih banyak berlaku sebagai padanan ”lirik lagu”. Padahal kata dasar ini telah membentuk kata ”penyair” dan ”kepenyairan”—nah, di sini pun kita mungkin akan mendengar pertanyaan: kenapa bukan ”pesyair” dan ”kepesyairan”? Sementara dalam bahasa Arab, khazanah asal istilah itu, kata sya’ir sebetulnya justru merujuk kepada orang yang menulis sajak, sedangkan sajak adalah syi’ir. Apa mau dikata: demikianlah jalan berliku yang bisa dan biasa ditempuh sebuah kata, apalagi dari zaman ke zaman, melintas dari satu ke lain bahasa.
Sedangkan kata ”sanjak”, yang bersinonim dengan ”sajak”, kini terasa kuno, arkais. Rasanya sudah jarang orang menggunakannya dalam tulisan atau ujaran sehari-hari. Namun, di tahun 1954, pernah terbit buku Sandjak-sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin susunan Armijn Pane. Pun, beberapa tahun kemudian, terbit Priangan Si Djelita: Kumpulan Sandjak karya Ramadhan KH. Setelah itu agaknya kata ini pelan-pelan menepi dan menghilang.
Jadi, manakah yang mesti dipakai: ”sajak”, ”sanjak”, ”syair”, atau ”puisi”? Silakan pilih sendiri—salah satu, salah dua, atau semuanya, atau menggilir masing-masing sesuai keperluan dan selera. Tak ada anjuran apalagi larangan. Jika kami akhirnya memilih menggunakan ”puisi” sebagai nama rubrik, itu semata demi alasan akomodasi: semua sajak adalah puisi, sedangkan tidak semua puisi bersajak.
* Hasif Amini, esais
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment