Sunday, May 02, 2010

Lantangnya Suara Perempuan

PEREMPUAN harus mampu menjaga payudaranya,” begitu kata cerpenis sekaligus novelis Naning Pranoto dalam acara ”Parade Suara Perempuan,” yang digelar Yayasan Rayakultura bekerja sama dengan Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) di Aula CCF de Bandung, Jln. Purnawarman 32 Bandung, Sabtu (24/4). Acara tersebut dihadiri sejumlah anak-anak sekolah serta sejumlah guru bahasa dan sastra Indonesia dari berbagai sekolah tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung.

Begitu petikan teks tersebut selesai diucapkan Naning dalam pertunjukan monolog itu, ia langsung mendapat sambutan tepuk tangan yang meriah. Paling tidak, apa yang dikatakan Naning dalam konteks yang lebih lanjut mempunyai makna, kaum perempuan harus mampu menjaga kehormatannya dalam pengertian seluas-luasnya. Oleh karena itu, ia harus mampu melindungi bagian-bagian terpenting yang ada di tubuhnya itu dengan segala cara, sehingga tidak membuat dirinya jatuh sebagai makhluk yang rendah dan direndahkan oleh kaum laki-laki di atas bumi.

”Karena kaum perempuan bukan makhluk yang rendah, maka itu ia harus mampu menjaga dirinya sebaik mungkin serta harus mampu menghias dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan itu, perempuan bukan makhluk yang lemah. Ia adalah makhluk yang kuat, sekalipun kaum lelaki berkali-kali membunuh kaum perempuan, kita tetap hidup. Ia menjadi ibu dari segala bangsa sebagaimana dikatakan Napoleon Bonaparte,” ujar Naning dengan penuh semangat. Dan tepuk tangan pun kembali menggelegar di dalam ruangan, yang udaranya mulai panas.

Monolog Naning Pranoto disarikan dari buku yang ditulisnya Her Story. Begitu juga dengan sejumlah cerita pendek yang dibacakan pengarangnya dari antologi cerita pendek ”Bianglala” yang ditulis oleh Weka Gunawan, Lisa Wijayanti S.W., Dyah Ariani S.W., Ryke L., Indri K. Hidayat, dan Sylvia A. Rizal. Buku tersebut dalam acara yang cukup langka ini, dibahas secara panjang lebar oleh Nenden Lilis Aisyah, dan Sides Sudiarto D.S.

Menurut Sides, tema-tema cinta menarik untuk diapresiasi, karena ia senantiasa hidup dalam kehidupan manusia di segala zaman. Cinta dengan demikian selalu menarik dibicarakan, karena ia tidak selalu bersentuhan dengan hal-hal bersifat romatik dan erotik, tetapi juga dengan bersentuhan sisi-sisi kemanusiaan dengan berbagai variasinya.

Selain itu, digelar juga pembacaan puisi dari penyair Eriyanti Nurmala Dewi, Khaterina, Shinta Kusumawati, Ryke Liliek S.S., dan Evi Sefiani. Sedangkan penyair Tetet Cahyati, Chye Retty Isnendes, dan Yanti Sri Budiarti masing-masing menampilkan puisinya dalam bentuk musikalisasi puisi. Tema yang disajikan para penampil secara keseluruhan dalam kesempatan itu, mengungkap suara perempuan, yang hingga kini pada sisi-sisi tertentu masih tidak diperkenankan untuk bersuara lantang dalam berbagai sendi kehidupan, karena dianggap tabu. Selain itu juga mengungkapkan perasaan cinta yang mendalam, terhadap lawan jenis, maupun anak-anak yang dilahirkannya.
**

LEPAS dari acara pertunjukan karya sastra, hal yang paling menarik dicermati dalam acara tersebut adalah terpusatnya perhatian anak-anak sekolah atas digelarnya acara diskusi sastra, yang membahas apa dan bagaimana kekuatan cerita pendek yang terhimpun dalam antologi cerita pendek ”Bianglala” yang dibahas oleh Nenden Lilis Aisyah dan Sides Sudiarto D.S.

Secara esensial kedua pembicara mengatakan bahwa penulisan karya sastra bukan semata-mata peristiwa imajinasi belaka, akan tetapi ia berkait dengan kehidupan itu sendiri yang menjadi sumber atau bahan penulisannya. Selain itu, tentu saja untuk melengkapi tulisan jadi bagus, si penulis harus mempunyai wawasan yang luas. Ia harus baca buku sebanyak-banyaknya, dengan pembacaan yang dilakukan secara sungguh-sungguh.

Selain itu, Nenden juga mengungkap soal posisi kaum perempuan yang hingga kini masih dinilai miring oleh sementara kalangan. Perempuan dianggap ada bila ia disandingan dengan kaum laki-laki. Padahal dalam kenyataannya tidak demikian, masing-masing pihak berdiri sendiri dengan segala eksistensinya. Untuk itu sudah sewajarnya bila kaum perempuan bersuara, dengan acara lain menulis.

”Pada kenyataannya, toh karya-karya yang ditulis oleh kaum perempuan tidak kalah dengan yang ditulis oleh kaum laki-laki,” kata Nenden, yang juga dikenal sebagai penyair sekaligus dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Apa yang dikatakan Nenden memang tidak salah. Lihat saja dewasa ini, penulisan novel di Indonesia banyak didominasi kaum perempuan, yang tiada henti membela haknya sebagai makhluk yang mempunyai kepribadian tersendiri, yang beda dengan kaum laki-laki. Di antaranya novelis Ayu Utami, Dinar Rahayu, Dewi Lestari (Dee), Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan sejumlah penulis lainnya, seperti Djenar Mahesa Ayu, dan Tina K. Malah kini, di dunia Facebook dengan mudah kita bisa menemukan perempuan penulis, entah itu yang menulis cerita pendek maupun puisi. Gairah menulis dengan demikian menemukan ruang yang lain, di dunia maya, di luar media cetak dan buku.

Berkait dengan acara tersebut, jelas bahwa siswa dan guru memang memerlukan pengetahuan lebih tentang apa dan bagaimana penulisan karya sastra. ”Apa sebab? Karena pada kenyataannya dalam pengajaran di kelas, bukan soal tahun kapan Chairil Anwar hidup dan mati, tetapi juga menyangkut praktik penulisan karya sastra selain mendalami isi yang dikandung dalam karya sastra,” ujar Yanti Sri Budiarti, guru yang hadir dalam kesempatan tersebut.

Paling tidak, dengan digelarnya acara tersebut menunjukkan, bahwa apa yang dinamakan apresiasi sastra itu masih hidup dan tidak mati. Ini berarti bahwa kelangsungan penulisan karya sastra pada satu sisi akan terus tumbuh dari generasi ke generasinya. Forum-forum sastra yang memberikan pencerahan kepada para apresiatornya harus dihidupkan lagi. Dan di Bandung kegairahan menulis karya sastra yang hidup tidak hanya menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, tetapi juga menulis dalam bahasa Sunda. Keduanya patut diperhatikan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan itu. (Soni Farid Maulana/”PR”

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010

No comments: