Sunday, May 02, 2010

Menyoal Perayaan Kartini

-- Lestari Manggong

EMANSIPASI perempuan di Indonesia yang tidak habis-habisnya dibicarakan dan kerap dikaitkan dengan perjuangan Kartini. Hal ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari keinginan kuat Kartini akan kebebasan dan kemandirian yang berkonsep sederhana dan sangat manusiawi. Sebagai perempuan Jawa, Kartini sedikit banyak menelan ketidakadilan semacam ini; ia dipingit di usia 12, diajari untuk mau dijodohkan. Akan tetapi Kartini bukanlah Cinderella yang hidupnya merana dan tertindas dan tertolong nasibnya karena andil peri baik hati. Kartini memiliki akses untuk dapat menyaksikan sebuah versi kebebasan yang dibacanya dari literatur Belanda yang disuarakan oleh para saudari feminisnya di sana.

Melalui akses ini, Kartini memiliki pembanding, yaitu potret lain yang berseberangan dengan yang terjadi dan dialaminya di tanah pribumi. Paling tidak, melalui rutin menulis ke sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, kepahitannya, yang merepresentasi nasib perempuan pribumi Jawa, dapat tertawar.

Akses dan ruang yang diperoleh Kartini tersedia secara eksklusif; ayahnya seorang bupati yang memiliki kenalan pejabat-pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membantu Kartini mengasah kemampuan berbahasa Belandanya. Kartini sangat beruntung memiliki akses untuk memantau progresi pemikiran di belahan Barat melalui buku, majalah, maupun jurnal dari Belanda yang diperolehnya dari seorang istri pejabat administrasi pemerintah kolonial, Marie Ovink-Soer. Literatur-literatur yang juga dibaca oleh kaum feminis di Belanda ini merupakan magnet yang menarik Kartini bergerak lebih jauh di medan isu kesetaraan gender. Isu utama yang dibidiknya adalah kesetaraan pemerolehan pendidikan bagi perempuan (argumentasi Kartini secara panjang lebar dijabarkan dalam memorandum yang ditulisnya untuk J. Kringenberg Januari 1903).

Dalam surat pertamanya untuk Stella Zeehandelaar (25 Mei 1899), Kartini menyatakan, pemicu gerakan menuju perubahan yang dilakukannya melalui jalur pendidikan bukanlah hanya karena "suara-suara dari seberang, dari Eropa yang beradab dan sedang mengalami reformasi" (”On Feminism and Nationalism: Kartini`s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903” [2005]) yang selama itu dipantaunya. (Perlu dicatat bahwa reformasi yang disinggung di sini berkaitan dengan revolusi seksual yang terjadi di belahan bumi Barat dalam rentang tahun 1830-1930 [Kate Millett, ”Sexual Politics”, 1968]). Menurut Kartini, ketika kecil, jauh sebelum ia mendengar istilah ”emansipasi”, ia telah memimpikan kebebasan dan kemandirian. Melalui pernyataan ini disediakan justifikasi bahwa emansipasi yang diusung Kartini bukanlah murni produk impor. Ini hanya merupakan kelanjutan dari hal yang logis: separuh yang satu melengkapi separuh yang lain; gaung emansipasi yang disuarakan para feminis Belanda mengakomodasi akses merealisasikan impian kebebasan dan kemandirian Kartini.

Hubungan persaudariannya dengan Stella sedikit banyak menggeser kutub pijakan ideologis Kartini. Dalam surat yang sama, Kartini dengan ekspresi yang mencerminkan antusiasme, merespons akan datangnya era perubahan, akan munculnya Era Baru, di belahan Barat. Pada saat yang sama, Kartini juga secara realistis mengungkapkan bahwa perubahan itu tidak akan serta merta terjadi di tanah Hindia Belanda. Kartini meneruskan dengan menyatakan bahwa ia sepenuhnya seiring sejalan dengan pemikiran-pemikiran para saudari feminisnya di belahan Barat (”On Feminism and Nationalism” [2005]).

Namun, Kartini tidak bertahan lama berpijak di kutub ideologi ini. Karena dalam suratnya kepada Stella yang ditulis 23 Agustus 1900, ia menyatakan, jika sekiranya nanti ia meraih kemandirian dan emansipasi, ia yakin tidak akan sepenuhnya bahagia. Karena ia akan selalu dirundung rasa bersalah karena mementingkan keinginannya sendiri di atas keinginan ayahnya.
**

DILEMATIS. Karena keinginan Kartini diakomodasi oleh ayahnya, maka sebagai anak yang berbakti, Kartini seyogianya tidak boleh membuat ayahnya kecewa. Pada usia dua puluh tahun dan masih berstatus belum menikah, Kartini berkeinginan kuat untuk melanjutkan studi di Belanda, dan oleh karenanya, sebagai perempuan, dapat memberi kontribusi terhadap kemajuan bangsanya. Di awal abad ke-20 di Jawa, berstatus belum menikah di usia dua puluh tahun tentunya merupakan hal yang sangat tidak lazim. Toleransi dari ayahnya memungkinkan ini. Ayahnya adalah Bupati Jepara yang berpikiran progresif dan merupakan salah satu pionir kalangan pejabat pribumi yang berpikiran modern. Keinginan Kartini untuk sekolah di Belanda tidak terealisasi, dan di usia 24 tahun, akhirnya ia menikah dengan seorang Bupati Rembang.

Dalam ”Fugitive Dreams: An Anthology of Dutch Colonial Literature” (Beekman, 2000: 241) disinggung bahwa beberapa hal yang melandasi keputusan ini adalah karena kondisi kesehatan ayah Kartini memburuk, dan juga karena suaminya akan memberi restu kepada Kartini untuk tetap dapat meneruskan cita-citanya membangun sekolah dan mengajar. Dengan demikian, bakti Kartini kepada ayahnya terpenuhi, dan Kartini dapat tetap bermanuver di ruang privilese seorang Raden Ayu.

Oleh seorang pembaca berpengaruh dari dunia Barat, tarik-menarik dua kutub yang dialami dan diilustrasikan Kartini membantu menyediakan sebuah proses pemahaman yang fundamental. Eleanor Roosevelt, istri Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, dalam kata pengantar pada ”Letters of a Javanese Princess” (1964), kurang lebih menyatakan, dalam berbagai cara, surat-surat Kartini membantu memahami hal-hal yang patut dipahami oleh masyarakat dunia Barat ketika pemikiran Barat memberi pengaruh terhadap bangsa yang bertransisi dari nilai-nilai lama ke baru. Oleh Kartini, dilema ini salah satunya diekspresikan dalam suratnya tertanggal 6 November 1899, "Di satu pihak aku tidak bisa kembali ke lingkunganku yang sebelumnya-namun di pihak lain aku juga tidak mungkin masuk ke dalam dunia baru itu, masih ada beribu tali yang mengikatku erat kepada dunia lamaku" (”Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme: Surat-Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903” [2004]).

Perayaan Hari Kartini menciptakan kesempatan untuk menelaah kembali persona Raden Adjeng Kartini melalui jejak tekstual yang ditinggalkannya. Tulisan ini, sebagaimana telah dijabarkan, menyediakan sebuah pandangan tentang Kartini dengan menyajikan aspek-aspek yang mungkin (masih) luput dari pengetahuan masyarakat tentang Kartini. Hari lahir Kartini dirayakan karena ia dinilai merupakan salah satu sosok pembaharu dalam rangkaian sejarah Indonesia di era kolonial. Namun, terlepas dari rangkaian peristiwa bagaimana Kartini pada akhirnya menyandang gelar pahlawan dan hari lahirnya dirayakan secara nasional, tanggal 21 April menjadi menyenangkan karena memungkinkan khalayak untuk dapat mengenakan busana adat, tetapi bukan selaku pasangan pengantin yang duduk di pelaminan.

* Lestari Manggong, Dosen Fakultas Sastra Inggris Unpad

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010

1 comment:

sandhi said...

R.A. Kartini dan Pandangannya Terhadap Emansipasi dan Barat

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, BUKAN SEKALI-SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN ANAK-ANAK PEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.”
[Surat Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 10 Juni 1902]

"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober 1902]

Keteguhan Iman R.A. Kartini Menghadapi Missionaris

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.”
[Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]

“Supaya Nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu: Yakinlah Nyonya, KAMI AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA ISLAM PATUT DISUKAI . . . ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang Islam, dan bersama kita juga semua insan yang percaya kepada Satu Allah, Gusti Allah, Pencipta Alam Semesta" [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

"Bagaimana pendapatmu tentang ZENDING (Diakonia), jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta-kasih, bukan dalam KRISTENISASI? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya . . . Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG! Mungkinkah itu dilakukan?"
[Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903]

“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan…”

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdullah).”
[Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 1 Agustus 1903]