-- Chatib Duta Hapsoro
SEJARAH mencatat bahwa ekspresi intuitif manusia acapkali bersinggungan dengan aspek transenden yang mengondisikannya dalam pengalaman "kosong" dan kontemplatif. Khususnya teruntuk seniman, pengalaman ini sedikit banyak memengaruhi proses berkarya. Bahkan, ada cukup banyak seniman yang mengeksploitasi ketidaksadaran sebagai modus berkarya. Mengawali agenda 2010, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar pameran bertajuk "Post-Psychedelia" yang berlangsung 3-24 April 2010. Pameran yang mengeksplorasi dan meredefinisi terminologi ”psikedelik”/”psikedelia”.
Psikedelik adalah salah satu kecenderungan pergerakan kebudayaan yang pernah terjadi pada medio 1960-an. Terminologi psikidelik mulai dikenal setelah ilmuwan psikologi Harvard University, Timothy Leary berhipotesis bahwa momen ketidaksadaran yang dipicu oleh konsumsi zat psikoaktif mampu menghasilkan kesadaran yang lebih "tinggi" dan menghasilkan ekspresi-ekspresi yang khas. Leary kemudian menjadi penganjur gaya hidup psikedelik kepada ilmuwan dan artis. Psikedelik yang kontroversial akhirnya menjadi landasan pergerakan kebudayaan perlawanan di Amerika: hippie. Psikedelik pun menjadi besar sedikit banyak karena peran The Beatles saat masing-masing personel mengakrabi LSD sebagai stimulus proses kreatif mereka.
Ihwal ketaksadaran via zat psikoaktif ini rupanya menarik perhatian Agung Hujatnikajennong yang kemudian menginisiasinya menjadi sebuah pameran. Dalam pameran ini Agung hendak meluruskan jika ekspresi psikedelik tak melulu harus berkutat pada penggunaan zat psikoaktif. Menurut dia, makna psikidelik justru dipersempit oleh budaya pop dengan hanya menaruh perhatian lebih besar penggunaan zat psikoaktif. Maka dari itu gaya psikedelik banyak dipahami sebagai ekspresi yang semata menyimpang. Padahal lebih dari itu, psikedelik mengandung banyak muatan filosofis. Selain bersemangat eksperimentatif. Para psikedelia sesungguhnya memuja perdamaian, kontemplatif, dan menjelajahi religiusitas ketimuran.
**
SELAIN itu, Agung juga hendak memetakan bagaimana gaya hidup psikedelik dijalani perupa di Indonesia serta kecenderungan apa saja yang bisa direkam dari karya-karya mereka. Satu hal bisa menjadi hambatan atau kemudahan. Hambatan timbul karena pergerakan psikidelik belum pernah menyentuh Indonesia. Ekspresi psikedelik di Indonesia hanya menjadi perluasan komodifikasi yang dikonsumsi komunitas kreatif seperti typeface dan kecenderungan karya rupa. Kemudahannya, Indonesia yang terletak di Timur tentu saja kaya akan ekspresi ketidaksadaran yang berhulu pada religiusitas. Indonesia yang kaya akan ekspresi religiusitas dan shamanisme tentu saja memiliki "gaya psikedeliknya" sendiri.
Pemilihan perupa-perupa yang berpameran pun dilakukan atas pertimbangan kedekatan mereka terhadap pengalaman ketaksadaran. Patut diperhatikan bahwa inisiasi pameran ini juga tak bisa melupakan pameran BOAT yang menghadirkan S. Teddy D., Ugo Untoro, dan Yani Halim yang dikuratori Hendro Wiyanto pada 2001 di Nadi Gallery. Awalnya Agung juga mengajak ketiga perupa tersebut untuk berpartisipasi dalam pameran Post-Psychedelia. Belakangan, Ugo Untoro karena suatu hal urung berpartisipasi. Karya Teddy dan Yani Halim bersama Arisendy Trisdiarto, Irwan Bagja Dermawan, dan Syagini Ratna Wulan menawarkan eksperimentasi dalam menjelajahi alam tak sadar. Karya-karya Arisendy patut diberi perhatian. Ia "membekukan" tiap kedinamisan wajahnya saat mabuk dalam serangkaian karya fotografi dengan judul ”High in Motion”. Karya Arisendy menjadi signifikan karena justru menawarkan banalitas dalam merespons teks kuratorial yang disodorkan.
Selain itu, tertangkap kecenderungan lain yang jauh-jauh hari disadari Agung. Kecenderungan itu ternyata terdapat medium lain yang digunakan banyak perupa di Indonesia, yakni spiritualisme transendental dan shamanisme. Sebenarnya ada cukup banyak nama yang teridentifikasi dalam modus ini seperti almarhum Hendrawan Riyanto, Ivan Sagita, dan Nasirun. Dalam pameran ini Agung justru menghadirkan Aas Rukasa seorang instruktur pernapasan dan meditasi kosmik. Goresan abstrak cat minyak Aas berjudul ”Dialogue between Two Worlds” mencoba merespons gagasan kuratorial Agung.
Sementara itu, perupa-perupa lainnya seperti Arin Dwihartanto, Duto Hardono, dan Laurs Oscar Osman mencoba bertolak dari kebudayaan psikedelik populer. Sekali lagi ihwal ekspresi ketidaksadaran, Agung juga meyakini salah satu teori Jaqcues Lacan yang menganggap, segala bentuk ekspresi ketidaksadaran adalah semata kodifikasi bahasa. Jadi seniman dalam hal ini perupa dimungkinkan tidak keluar dari kecenderungan karya rupa yang pernah ia buat. Perupa tinggal memilih apa saja yang ada di hadapannya bukan mengadakan ketiadaan. Aspek pengalaman amat menentukan di sini.
Jim Supangkat dalam diskusi pameran ini menanggapi ihwal ketaksadaran dari perspektif yang menarik. Ia menggarisbawahi pernyataan kuratorial Agung tentang bagaimana dewasa ini ekspresi seni rupa kontemporer telah dilumrahkan oleh jargon ”ekspresi diri”. Seharusnya jargon itu ditelaah lebih jauh dan dipetakan jika kita ingin menegaskan platform artistik seni rupa Indonesia. Jim juga menegaskan, perupa dengan kejelian intuitif dan memiliki craftsmanship yang baik akan selalu menelurkan karya yang baik meskipun dalam keadaan tak sadar. Ia berpendapat pameran ini bisa memancing diskusi lebih jauh mengenai aspek-aspek batiniah dalam dunia kreatif para perupa Indonesia sebagai wacana yang bisa menawarkan diskusi baru tentang seni rupa kontemporer Indonesia dalam kancah internasional.
* Chatib Duta Hapsoro, penulis seni rupa
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment