-- Silvester Petara Hurit
PIDATO Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dipentaskan Teater Payung Hitam di Gedung Kesenian Dewi Asri STSI Bandung, Selasa (27/4). Aktor Gaus FM bertindak sebagai Max Havelaar. Berpidato di hadapan adipati, jaksa, dan jajaran penguasa daerah mengawali tugasnya sebagai asisten residen di Lebak.
Max Havelaar dalam gaya seorang mesias berusaha menggugah adipati dan penguasa setempat untuk melihat kenyataan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan. Rakyat Bantam Kidul memiliki persawahan di lembah-lembah dan bahkan di gunung-gunung. Tidak ada bencana kekeringan, perang, ataupun penyakit, tetapi kenapa para petani yang memiliki sawah-sawah itu tak tahu bagaimana harus menghentikan lapar anaknya?
Kemiskinan adalah kenyataan yang mengerikan. Sampai-sampai orang bersedih hati dan mengutuki kesuburan istrinya. Para ibu kekeringan air susu ketika masih harus menyusui anaknya. Kemiskinan pada akhirnya memaksa petani keluar dari tanah leluhurnya. Mengembara di daerah-daerah asing. Menyandang senapan, keris, serta kelewang. Entahlah, menjadi perampok, pembunuh, atau pemberontak.
Kehormatan pemimpin
Max Havelaar merasa bahwa ia mengemban tugas profetik. Membawa misi penyelamatan bagi rakyat Bantam Kidul yang terlilit kemiskinan. Kehadirannya sebagai asisten residen di Bantam Kidul mengajak para penguasa daerah di sana untuk sama-sama menyadari bahwa jabatan adalah kesempatan untuk mewujudkan perbuatan mulia: menegakkan keadilan dan membantu rakyat yang miskin dan kesusahan.
Dalam gaya bahasanya yang penuh kiasan, ia mengajak para penguasa untuk bertindak secara terhormat. Kehormatan yang mencerminkan martabat kepemimpinan; tidak mengenakan pakaian yang harusnya menutup badan orang lain dan tidak memakan makanan kepunyaan orang miskin. Bahwa pemangku kekuasaan sejatinya tidak mengusir orang yang mengadu dari pintunya dan mendengar dengan sabar setiap orang yang datang padanya. Ia mengusahakan keadilan. Mengembalikan apa yang dirampas. Menolong mencari kerbau bagi petani yang dicuri kerbaunya agar ia bisa membajak lagi tanahnya.
Kehormatan pemimpin ada pada keteguhan sikap dan teladan kemandiriannya. "Sebab kita bersuka cita bukan karena memotong padi; kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia tumbuh bukan karena upah, melainkan karena kerja yang membikin ia berhak untuk menerima upah."
Ini penting sebab jika pengemban kekuasaan melalaikan kewajiban karena mencari untung, apalagi menjual keadilan demi uang, siapa lagi yang akan menghukumnya? Ia bisa seenaknya merampas kerbau orang miskin atau buah jatah orang yang lapar.
Kalau pohon saja bertanya, "Di mana orang-orang yang kulihat bermain sebagai anak kecil di kakiku dulu?" Maka terhadap rakyat yang pergi dari tanah air atau tanah kelahirannya, pemangku wilayah seharusnya bertanya menggugat dirinya, mengapa sampai terjadi demikian? Ada banyak ketidakberesan dan penyelewengan jabatan yang menyebabkan rakyat Bantam Kidul harus pergi dari tanah kelahirannya.
Kekalahan
Pertunjukan ini merupakan sajian pidato. Narasi seperti ini biasanya dijalin dan dihidupkan oleh pengucapan sugestif aktor. Penguasaan dan penghidupan teks menimbulkan gairah reseptif dan daya bayang atau imajinasi tertentu.
Penampilan Gaus FM dalam arahan dan tafsir sutradara Rahman Sabur tidak memperlihatkan gairah sugestif dan persuasi yang menggelegak. Max Havelaar berpidato laiknya cara seorang pertapa atau pemimpin spiritual mengajar. Tidak menampakkan impulsivitas subyektif ataupun eksplosivitas emosi tertentu, tetapi santun dan mengajak. Tidak provokatif, datar, dan tampak lebih santai dan bersahabat.
Sementara itu, adipati (Rusli Keleeng), mantri (Yanuar), jaksa (Ivan), demang (Dian), para mantri (Sodik, Deni M, Aad, Dani), serta priayi (Angga, Dian, Agus) berpakaian necis, "terpasung" diam di kursi dengan ekspresi wajah yang terbekukan lewat topeng wajah yang dikenakan. Responsnya dibuat seminim mungkin hanya dengan menengok ke kiri dan ke kanan. Cuma seorang demang (Nugraha Bazier) dibiarkan tanpa topeng untuk melantunkan senandung menjelang pembuka dan penutup pertunjukan.
Penguasa pribumi tersebut tampak tegang dan gelisah. Max Havelaar dengan misi profetisnya pun dibawakan secara tak "bergairah" seperti tengah menyimpan pesimisme tertentu. Barangkali keduanya tidak berdaya menghadapi sistem kekuasaan atau otoritas lain yang lebih besar, secara internal maupun eksternal, yang memerangkap dirinya. Sama-sama terpasung dan merayakan hening kekalahan.
Pidato Max Havelaar berdurasi kurang lebih 45 menit mendapat topangan dengan pemanfaatan gambar multimedia dan juga musik yang digarap oleh Bulqini dan Aep Suherman yang menghadirkan kampung, petani, dan rumah tradisional. Menggiring imaji kita ke dalam bayangan peristiwa dan setting massa lalu.
Musik angklung Baduy seolah-olah memanggil kita kembali ke kampung. Mengunjungi kampung tanah kelahiran. Ada sawah, tanah basah, dan hutan bambu. Ada gemericik air yang mengalir, bunyi jengkerik dan kicau burung. Di sana, anak-anak bisa bebas berkejar-kejaran, menceburkan diri, dan mandi telanjang di sungai.
Pertunjukan seperti tengah mendeskripsikan wajah dan kisah kita. Barangkali kita adalah Max Havelaar yang gagal mewujudkan mimpi-mimpinya, atau juga para adipati, bupati, demang, dan priayi yang tersirap watak feodal dan sistem korup pemerintahan kolonial. Atau juga rakyat Bantam Kidul yang terjajah dan menderita di tanah sendiri. Musik angklung Baduy mengajak kita kembali ke kampung halaman. Lewat bunyinya ia sekaligus seperti mengobarkan tanya: di mana dan masih adakah kampung kita?!***
* Silvester Petara Hurit, esais pemerhati seni pertunjukan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment