KESENIAN akhirnya juga menjelaskan watak kebudayaan itu sendiri di suatu masa dan tempat. Dari mulai watak dalam lapisan sosiologisnya, psikokultural, hingga kecenderungan selera suatu klas yang memengaruhinya. Dan inilah yang tak bisa dipisahkan dari tayub yang berkembang di tatar Sunda. Sejenis tarian yang menjadi bagian penting dalam kehidupan dan gaya hidup para menak Sunda di awal abad ke-20 silam. Tarian pergaulan yang berkembang terbatas di kalangan para bangsawan ini pada masanya bukanlah sekadar tarian klangenan (kesenangan).
Ketika itu, tarian ini menjadi cara untuk merepresentasikan selera dan derajat seorang bangsawan. Dengan kata lain, ia amat berhubungan dengan gengsi sosial seorang sebagai menak di tengah komunitas menak lainnya. Ketinggian derajat seorang menak bahkan ditentukan oleh kemahirannya menayub. Maka tayub di tatar Sunda dalam perkembangannya telah menjadi semacam upacara kesenangan sekaligus upacara menegaskan derajat kebangsawanannya. Alangkah ganjilnya jika seorang raden, malah mahir menari tayub oleh bangsawan di bawahnya seperti santana.
Menyusur jauh ke belakang, sebenarnya tayub lebih merupakan tarian sakral yang dibawakan oleh para petani yang berhubungan dengan tradisi masyarakat sawah. Perempuan sebagai ronggeng dan lelaki yang menari dalam suasana yang erotis, juga tuak, lebih merupakan upacara dan simbolisasi untuk memaknai kesadaran ihwal kesuburan bumi. Akan tetapi lambat laun, perkembangannya di tatar Sunda diadopsi oleh para menak. Upacara sakral ini pelan-pelan berubah menjadi kesenangan (profan) di antara para bangsawan.
Ibing tayub akhirnya seolah ditetapkan menjadi bentuk tari pergaulan para menak dalam berbagai pesta. Tak hanya untuk memamerkan keterampilannya menari, bahkan ibing tayub dianggap sebagai cerminan kehalusan budi seorang ningrat. Inilah pula yang membuat ibing tayub menjadi semacam keharusan untuk dikuasai oleh para menak demi menjelaskan derajat kebangsawanannya. Bahkan, kemahiran dalam ibing tayub merupakan pintu pengakuan untuk diterima di kalangan para menak. Mau tak mau, inilah yang membuat meningkatnya minat para menak untuk berlatih ibing tayub. Seseorang belum dianggap sebagai menak dan tak akan pernah diterima di kalangan menak, jika ia belum bisa menunjukkan kemahirannya menayub.
Meningkatnya minat para bangsawan Sunda untuk bisa menayub, membuat tarian ini kemudian dikursuskan di sekolah-sekolah menak, sehingga ibing tayub juga lantas dikenal dengan ibing keurses. Di sinilah ibing tayub seolah tengah dilembagakan, termasuk sistematisasi tariannya yang memasukkan gaya tarian Topeng Cirebon gaya Palimanan, seperti yang dilakukan oleh Rd. Gandakusumah (Aom Doyot) seorang wedana di Leuwiliang.
**
RONGGENG adalah bagian penting dalam tayuban. Mengutip Nina Herlina Lubis dalam ”Kehidupan Kaum Menak Priangan” (1998), tokoh sastra Sunda pada masa itu seperti H. Muhamad Musa menyarankan agar setiap bupati memiliki seorang ronggeng, "...ronggeng nu sampurna, ngeunah sora, hade ibing, larang-larang ditedunan" (ronggeng yang sempurna, bagus suaranya, bagus tariannya, dan semua pantangan dipenuhinya).
Ibing tayub sebagai gaya hidup dan medium pergaulan para menak, membuat sejumlah bupati mudah dikenali kecenderungan dan seleranya. Ini, misanya, bisa dicirikan pada lagu pengiring yang selalu mereka minta ketika ngibing tayub. Masih mengutip Nina Herlina Lubis, sejumlah bupati, seperti R. Tmg. Kusumadilaga (Bupati Sumedang) selalu memilih lagu ”Karanginan” untuk mengiringinya nayub. Begitu juga bupati-bupati lainnya. Bahkan timbul semacam kepercayaan bahwa jika lagu itu digunakan oleh orang lain, maka orang itu akan kesurupan.
Tayub dan para menak Priangan memang tak bisa dipisahkan. Lepas dari soal bagaimana tayuban menjadi semacam upacara inisiasi status kebangsawanan sekaligus yang diam-diam menggiring pada suasana yang hedonis, hubungan para menak dan tayub telah memosisikan para bangsawan Priangan itu sebagai pengayom. Mereka telah menjadi patron bagi perkembangan tari-tari klasik Sunda lainnya.
Hanya, sebuah perkembangan seni yang bertopang pada sebuah institusi nasibnya akan ditentukan oleh daya hidup institusi itu sendiri. Dan inilah yang terjadi dengan tayub. Sejak kemerdekaan hingga 1950-an, pamor para ningrat Sunda ini meredup. Dan ini diikuti dengan meredupnya pula tayuban. Sebagai genre tari ia pelan-pelan dilupakan, meski di dalamnya terdapat jejak-jejak tradisi estetika yang menarik. Termasuk jejak dari sebuah watak sosiokultural yang pernah ada di belakang. Inilah mungkin yang bisa menjawab mengapa tayub harus dikonservasi. Bukan semata-mata untuk mengawetkan sesuatu yang barangkali sudah tidak sesuai lagi dengan realitas kekinian, tetapi untuk memeriksa kembali siapa sesungguhnya diri kita dahulu. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment