Kucuran Dana Minim, Perguruan Tinggi Harus Cari Dana Sendiri
Jakarta, Kompas - Minimnya kucuran dana dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri membawa konsekuensi luas, antara lain semakin beratnya beban calon mahasiswa untuk masuk PTN. Mereka harus mencoba berbagai jalur seleksi jika ingin peluang diterima di PTN semakin besar.
Padahal, setiap kali mencoba jalur seleksi, calon mahasiswa harus membeli formulir pendaftaran seharga Rp 175.000 hingga Rp 800.000. Biaya pembelian formulir ini dirasakan berat oleh calon mahasiswa yang kondisi ekonominya pas-pasan. Sebaliknya, beragamnya jalur masuk PTN menjadi peluang bagi calon mahasiswa dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas untuk mencoba masuk PTN.
”Harus diakui, kini calon mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah kesulitan mendapatkan akses ke pendidikan tinggi,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di hadapan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, di Banyumas, Jawa Tengah, pekan lalu.
Pada dua dekade lalu, akses ke PTN terbuka luas bagi seluruh masyarakat karena hanya ada satu jalur masuk, yakni sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru) dan PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) yang dikhususkan bagi calon mahasiswa berprestasi. Sipenmaru kemudian diganti menjadi UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri), tetapi tetap semua calon mahasiswa mempunyai kesempatan yang sama, hanya satu kali seleksi. Kini, setiap perguruan tinggi mempunyai empat hingga 11 jalur masuk.
”Jika (persoalan akses) ini tidak segera diatasi, akan menciptakan kesenjangan yang makin luas,” ujar Mohammad Nuh.
APK rendah
Kecilnya akses ke perguruan tinggi juga tecermin dari rendahnya angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang perguruan tinggi yang hanya 17,25 persen pada tahun 2007/2008. APK merupakan persentase jumlah mahasiswa dibandingkan dengan jumlah penduduk kelompok usia tersebut. Adapun untuk APK SMA sederajat pada tahun yang sama mencapai 60,51 persen.
Lulusan SMA sederajat yang melanjutkan ke perguruan tinggi pada tahun tersebut hanya 61,28 persen. Sebagian besar lulusan SMA itu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi swasta (PTS) karena jumlahnya relatif besar, yakni 2.598 PTS. Adapun PTN hanya 82.
Selain jumlahnya minim, PTN pun kini semakin mempersempit peluang masuk calon mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri), sebagai pengganti UMPTN. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, untuk tahun 2010 akan menerima 7.145 mahasiswa baru, tetapi untuk jalur SNMPTN hanya 11 persen.
Sebanyak 4.000 calon mahasiswa baru telah diambil melalui jalur ujian tulis (utul) dan 2.179 mahasiswa diambil dari jalur penelusuran bibit unggul. Kecilnya peluang melalui jalur SNMPTN, menurut Direktur Akademik dan Administrasi UGM Budi Prasetyo Widyobroto, karena UGM ingin meningkatkan kualitas mahasiswa. ”Setelah dievaluasi, ternyata prestasi mahasiswa dari jalur utul lebih baik daripada mahasiswa yang masuk dari jalur SNMPTN,” tutur Budi pada kesempatan berbeda.
Universitas Negeri Semarang, yang akan menerima 4.859 mahasiswa baru, mengalokasikan 1.345 kursi melalui jalur SNMPTN. Adapun Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, yang akan menerima 8.305 mahasiswa baru, hanya menyediakan 1.619 kursi melalui jalur SNMPTN.
”Dari tahun ke tahun, Undip selalu mengalokasikan kuota 70 persen untuk ujian mandiri. Sisanya melalui SNMPTN dan jalur prestasi,” kata Ketua Ujian Mandiri Undip Sutarno.
Persentase cukup besar untuk calon mahasiswa melalui jalur SNMPTN, antara lain, disediakan Universitas Jember dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Universitas Jember, misalnya, tahun ini akan menerima sekitar 5.300 mahasiswa baru, sekitar 2.300 di antaranya melalui jalur SNMPTN. Sekitar 1.000 mahasiswa baru lainnya diterima melalui jalur PMDK, 2.000 mahasiswa baru dari jalur lokal, dan 300 mahasiswa dari program beasiswa Bidik Misi.
”Mengapa kami harus membuka jalur ujian lokal? Ujian lokal adalah wujud tanggung jawab sosial dari Universitas Jember terhadap beberapa daerah sekitar,” kata Rektor Universitas Jember Sutokto.
Kucuran dana minim
Beragamnya jalur seleksi yang dilakukan perguruan tinggi tidak terlepas dari minimnya kucuran dana dari pemerintah untuk perguruan tinggi yang rata-rata hanya 15-60 persen dari kebutuhan.
Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, dari kebutuhan sebesar Rp 700 miliar untuk tahun ini, hanya Rp 185 miliar yang diperoleh dari pemerintah.
”Dana dari pemerintah biasanya habis untuk membiayai urusan teknis, seperti gaji pegawai negeri sipil, membayar listrik, dan operasional lainnya,” kata Rektor ITB Ahmaloka menjelaskan.
Dana dari mahasiswa dan alumni hanya sekitar Rp 200 miliar, sedangkan sisanya sebesar Rp 315 miliar justru didapat dari usaha kerja sama penelitian dan proyek ilmiah.
Meskipun harus berusaha keras mencari dana sendiri, ITB menolak apabila dikatakan menetapkan biaya pendidikan yang tinggi. Ahmaloka mengatakan, ITB tetap menyediakan tempat bagi masyarakat yang tidak mampu dengan beasiswa penuh, biaya kuliah di bawah standar Kementerian Pendidikan Nasional, dan menyediakan sekitar 1.500 kursi lewat SNMPTN.
ITB dalam satu tahun memiliki setidaknya 6.000 unit beasiswa. Namun, mahasiswa yang memanfaatkannya sekitar 4.000 orang dari total mahasiswa ITB yang 18.000 mahasiswa.
Sementara itu, Universitas Indonesia (UI), yang kebutuhan dananya sekitar Rp 1,4 triliun per tahun, hanya mendapatkan kucuran dana dari pemerintah sekitar Rp 300 miliar per tahun.
”Kekurangannya kami cari dengan berbagai cara, seperti menjalin kerja sama dengan industri serta sumbangan dari alumni,” kata Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri.
Dengan cara itu, UI dapat mengalokasikan dana Rp 36 miliar per tahun untuk beasiswa.
”UI sekolah mahal itu pandangan yang keliru. UI justru sekolah termurah. Bayangkan saja, uang kuliahnya hanya Rp 100.000 sampai Rp 7,5 juta berdasarkan kemampuan orangtua (BOP berkeadilan),” papar Gumilar.
Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonny Koesmaryono mengatakan, IPB tetap berkomitmen membantu pendidikan mahasiswa tak mampu secara ekonomi. Oleh karena itu, beasiswa Rp 5 miliar dikucurkan kepada mahasiswa setiap tahun.
Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat UGM Retno Sunarminingsih Sudibyo mengatakan, untuk mengatasi kucuran dana pemerintah yang sangat terbatas, UGM banyak bekerja sama dengan pihak swasta, industri, dan sejumlah kalangan. Hasilnya, UGM bisa memberikan beasiswa kepada lebih dari 1.000 mahasiswa setiap tahun.
(ELN/HAN/LUK/SIR/IRE/CHE/UTI)
Sumber: Kompas, Senin, 3 Mei 2010
No comments:
Post a Comment