-- Sunaryono Basuki Ks
SETELAH mendapat kepuasan bathin membaca Bilangan Fu karya Ayu Utami yang akhirnya menyabet Khatulistiwa Literary Award tahun 2008, tidak boleh tidak harus kita akui kepuasan serupa datang setelah merampungkan membaca keempat novel dalam Tetralogi Laskar Pelangi.
Setelah beberapa lama menunggu sejak terbitnya Edensor (Mei 2007), buku ketiga dari tetralogi itu. Laskar Pelangi (LP) sendiri terbit September 2005, dan pada November 2007 sudah mencapai cetakan empat belas. Hanya satu pesaing LP yakni Ayat-ayat Cinta yang juga mengalami cetak ulang sampai lebih dari dua puluh kali, dan filmnya pun menyedot jutaan penonton, justru penonton bukan pecinta sastra tetapi ibu-ibu pengajian yang berurai air mata saat menyaksikan film sedih itu. Seorang ibu yang seumur-umur tak pernah membaca buku sastra kecuali ringkasan novel ketika masih duduk di SMA dengan bangga mengatakan pada saya bahwa dia telah membeli buku Ayat-ayat Cinta, seolah buku itu sama sucinya dengan Al Quran yang wajib dibacanya.
Ketika LP pertama terbit, kehadirannya mengejutkan bukan saja jagad sastra Indonesia tetapi juga anak-anak muda, para mahasiswa yang seolah tersihir membeli dan meminjam LP dari teman-temannya serta melontarkan pujian: "Baru kali ini saya membaca novel sebagus itu!" Bukan hanya itu, tokoh-tokoh berbagai bidang dan media memujinya. Lihat saja mereka yang menulis endorsement untuk LP: Ahmad Syafi'i Maarif, Sapardi Djoko Damono, Arwin Rasyid, Korrie Layun Rampan, Garin Nugroho, Riri Riza, Herni Kusyari (guru SD), Ida Tejawiani (ibu rumah tangga), Febi Liana (karyawati), Kak Seto, dan sejumlah media: Tempo, Gatra, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Harian Tribun, Media Indonesia, Bangka Pos, Harian Galamedia, tabloid Indago.
Saya deretkan nama-nama ini sekedar menunjukkan reaksi pasar terhadap LP. Coba kita baca komentar Dhipie Kuron tentang Tetralogi LP: "Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan karya-karya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dari lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel-novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar."
Saat itu yang menjadi trend justru teenlit yang ditulis oleh anak-anak dan remaja, dan dibaca juga oleh kaum mereka. Kemudian meledak Ayat-ayat Cinta yang saya lihat sebagai kerinduan pada Buya Hamka dengan karya-karyanya, apalagi dengan gaya ngepop dan cerita mengharukan.
Andrea Hirata tidak mengekor dua trend pasar itu, tetapi dia berhasil menciptakan trendnya sendiri yang sulit ditiru. Mengapa? Karena karyanya memang bukan kerja main-main. Seluruhnya nampak sebagai sebuah biografi panjang Andrea Hirata sendiri, yang dalam novel dipanggil Ikal lantaran rambutnya ikal, namun di balik nama Hirata yang ke-Jepang-Jepangan itu ternyata tersembunyi keinginan ibunya, yakni Akhirat! Semoga Andrea dapat menyiapkan hidupnya untuk kehidupan akhirat. Hal itu diungkapkan Andrea pada novel pamungkasnya Maryamah Karpov.
Bagi saya yang istimewa dari karya Andrea bukan saja gayanya bertutur yang jelas lugas, namun latar pengetahuannya yang terlampau luas bagi pemegang ijazah S2 bidang ekonomi komunikasi dari Universits Sorbonne.Kita tidak saja disuguhi kisah yang mencerminkan kepiawaiannya di bidang ekonomi komunikasi, namun justru pada bidang-bidnag lain yang sangat beragam, yang dikuasainya dengan baik.
Saat saya kemukakan kekaguman saya pada Andrea dengan karyanya pada kolega saya yang bergelar PhD dengan enteng dia mengomentari:
"Ya, sekarang kan semua dapat diakses di internet."
Saya tercenung mendengar jawabannya yang menggampangkan itu, padahal saya berharap dia mau membaca novel itu (saya bersedia meminjamkan kopinya), namun nampaknya dia tak tertarik. Berbeda dengan para mahasiswa saya. Mereka ribut membicarakan LP dan saling berebut membacanya, dan saat diketahui saya mempunyai tetralogi sampai tiga jilid (saat Maryamah Karpov belum terbit), maka tiga jilid itu selama berbulan-bulan berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan lain. Ketika saya tanya , dengan gembira mereka jawab: "Itu novel bagus, Pak."
"Apa bagusnya?"
"Andrea mampu mengangkat masalah kecil di Belitong menjadi karya yang sangat memukau. Narasinya tepat, indah, berisi, cerdas. Kapan ya saya bisa seperti dia?"Itu rata-rata komentar mereka. Jadi tak heranlah ketika film LP diputar, penonton membanjir. Bahkan saat diadakan dialog dengan para pemain-pemain utama film LP yang adalah anak-anak asli Belitong, bukan bintang film, saya mendapat sms untuk menontonnya. Film unik itu dibintangi oleh para pemain top Indonesia hanya sebagai peran pembantu, sedang para pemain utamanya anak-anak Belitong asli yang bahkan jarang menonton film.
Dan aneh, film tersebut sampai November lalu sudah menyedot 4,3 juta penonton di gedung bioskup klas satu seluruh Indonesia, belum termasuk lebih dari 200.000 penonton di layar tancap di Belitong. Rekor ini cepat mengungguli rekor film Ayat-ata Cinta yang "hanya" tiga juta lebih.
Kisah sekelompok anak Belitong yang bersumpah membentuk Laskar Pelangi, dimulai dengan kisah mereka saat duduk di SD Muhammadiyah yang serba kekurangan di Belitong, berbeda dengan sekolah untuk anak-anak karyawan PN Timah yang kaya, benar-benar inspiratif, membuktikan bahwa apapun bisa mereka lakukan. Tidak berarti bahwa sekolah miskin berisi anak-anak bodoh. Buktinya Ikal dan Arai mampu menempuh kuliah di Prancis, bahkan Arai yang sempat dipulangkan karena sakit, diberi kesempatan lagi untuk menempuh ujin thesisnya dan bahkan diundang untuk melanjutkan ke tingkat doktoral, bersama Zakiah, gadis idamannya yang akhirnya dinikahinya.
Sedangkan Lintang, sang genius setara Newton hanya menyerah sampai tamat SMP karena tak ada biaya, namun dalam MK dikisahkan bahwa kejeniusannya tetap berkembang walau dia hanya berhasil menjadi juragan kopra dan pelatih beruk. Lintang mampu membantu Ikal membuat perahu dengan desain dan bahan-bahan yang rinci, antara lain kayu yang harus diambil dari perahu lanun yang sudah tenggelam ke dasar sungai ratusan tahun lamanya.
Dengan teknologi kuno: berdasarkan hukum Archimedes maka Ikal dibantu oleh kawan-kawannya behasil mengangkat perahu itu dan menyelesaikan perahunya untuk mencari A Ling, gadis pujaannya yang sudah dia cari sampai Afrika, dan bahkan Rusia!
Tetralogi LP benar karya besar! Studi antropologi tentang sifat-sifat humor orang Melayu daratan dan orang-orang Tionghoa di Belitong, digabungkan dengan fisika, navigasi, budaya, sejarah agama, biologi, botani, kedokteran gigi, sastra, geografi, semua ini merefleksikan bahwa penulisnya memang cendekia, bekerja keras menggali pengetahuan di luar bidang studinya.
Dengan kefasihannya bertutur, pengetahuan luas dan mendalam yang menjadi bahasa keseharian, Andrea Hirata memang tak punya pesaing. Mimpi-mimpi Lintang dijadikan nama perahu yang dibuat atas dukungan kejeniusan Lintang.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 1 Mei 2010
No comments:
Post a Comment