-- Mari Pangestu
HADI Soesastro telah meninggalkan kita untuk selamanya pada tanggal 4 Mei 2010 pukul 05.30 pagi, hanya beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-65 pada tanggal 30 April 2010. Ia sebelumnya mengalami koma 10 hari.
Menurut keluarganya, beliau meninggal dengan senyum damai di wajahnya: sangatlah khas Hadi Soesastro, yang dikenal dengan nama akrab Mingki di antara keluarga dan sahabat-sahabatnya. Seorang yang kalem, murah senyum, dan selalu membuat kita betah dan nyaman di dekatnya.
Betapa saya ingin berada di Jakarta saat ini untuk memberi penghormatan terakhir kepada sahabat dan mentor saya. Sebelum saya berangkat ke Shanghai dan Amerika Serikat, saya mengunjunginya di Rumah Sakit Pondok Indah. Saat itu di dalam lubuk hati saya yang paling dalam saya tahu, barangkali itu adalah saat terakhir saya memandangnya.
Walaupun Hadi saat itu dalam keadaan koma, saya berharap dia bisa mendengar bisikan saya dan berharap kalaupun ia pergi meninggalkan kita, ia akan pergi dalam keadaan damai, dan kami akan melanjutkan perjuangannya. Warisan Hadi yang menjadikan Indonesia disegani di tingkat regional dan global bukanlah warisan yang mudah terhapuskan oleh deburan ombak di atas pasir pantai. Warisan tersebut akan abadi dan terpatri di hati kita.
Saya berharap bisa berada di Jakarta untuk mengucapkan selamat jalan secara langsung. Saya menulis obituari ini untuk ”menenangkan diri saya” sebagaimana ia menulis e-mail kepada saya saat Ibunya meninggal dunia, tetapi ia tidak bisa berada di sisi Ibundanya. Mingki menulis dua halaman memori tentang Ibunya juga sebagai obat untuk ”menenangkan diri”.
Memori
Selagi menulis obituari ini, saya menghitung berapa lama saya mengenal sosok Hadi Soesastro. Ternyata, hampir 40 tahun saya mengenalnya. Saya membagi perkenalan tersebut dalam tiga bagian penting: dan saya baru sadar bahwa ketiga-tiganya memiliki persamaan.
Memori saya tentang Hadi Soesastro dimulai ketika saya berumur 15 tahun, saat mendampingi ayah saya dalam salah satu seminar yang diadakan CSIS pada 1971 di Bali. Sebetulnya saya tidak ingin mendampingi Ayah dalam acara bersama yang dikelilingi oleh orang dewasa yang serius, tetapi ternyata di sana, di tepi pantai Sanur, saya terlibat diskusi hangat dan menyenangkan dengan ”Om Mingki” mengenai salah satu topik bahasan di sekolah. Dari diskusi tersebut saya mengambil kesimpulan ternyata orang dewasa tidak terlalu membosankan. ”Om Mingki” mungkin saat itu berumur 26 tahun, tetapi kualitas intelektualnya sudah tampak nyata sebagai salah satu pendiri CSIS.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya menjadi mahasiswa jurusan Ekonomi, pada saat libur semester, ayah saya selalu mendorong saya untuk mengunjungi CSIS. Saya banyak menghabiskan waktu di perpustakaan CSIS untuk mengedit dan memproses data, termasuk menyelesaikan tesis saya. Kunjungan ke perpustakaan CSIS dan ruang komputernya merupakan saat yang menyenangkan (saat itu komputer adalah sebuah kemewahan!), khususnya bertemu ”Om Mingki” yang dengan intelektulitasnya secara sabar mengajak saya berdiskusi mengenai ekonomi, padahal saya saat itu berpura-pura mengerti ilmu ekonomi. Tradisi menerima mahasiswa magang dan peneliti muda di CSIS ternyata menjadi kekhasan CSIS yang tidak dimiliki lembaga lain. Banyak di antara mereka yang akhirnya datang kembali bekerja di lantai lima gedung CSIS.
Tahap ketiga perkenalan saya dengan Hadi Soesastro—dimulai dari salah satu staf beliau berlanjut hingga menjadi kolega dan akhirnya sahabat yang tidak terpisahkan dari hidup saya. Almarhum Ayah saya yang meninggal dunia satu minggu setelah saya menyelesaikan PhD saya memberitahukan semua koleganya di CSIS bahwa saya akan bekerja di CSIS dan ”menitipkan” saya kepada mereka. Pada bulan September 1986 ketika saya akhirnya bergabung dengan CSIS sebagai salah satu anggota staf bidang ekonomi yang dipimpin Pak Djisman Simandjuntak, saya bukan hanya menemukan ”tempat kerja”, tetapi lebih dari itu, sebuah tempat yang tak tergantikan secara intelektual, egaliter, dan lingkungan kerja yang sangat terbuka. Hadi Soesastro dengan pemikiran dan visinya yang brilian merupakan sumber inspirasi dan semangat yang menjadikan CSIS sebagai surga peneliti dan pemikir. Kami menemukan tempat yang penuh dengan kolegialitas, persahabatan, dan keterbukaan yang memungkinkan kami tumbuh bersama.
Petuah
Saya tidak akan pernah melupakan petuah dan nasihat yang saya dapatkan beberapa tahun pertama bekerja di CSIS dengan Mingki (semula saya memanggilnya Om Mingki dan perla- han- lahan berubah menjadi Mingki) dan Djisman. Menulis Obituari mengenai Mingki dari Seattle mengingatkan saya akan kerja keras PECC yang pada akhirnya menelurkan Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC di Seattle pada tahun 1993 dan lahirnya the Bogor Goals pada tahun 1994.
Hadi Soesastro selalu menjadi yang terdepan dalam semua diskusi strategis mengenai masa depan wilayah Asia-Pasifik, arsitektur ASEAN, dan terutama dalam hal Track Two masukan dari nonpemerintah kepada pengambil kebijakan. Ia dengan setia selalu terlibat dan mengikuti sejak awal evolusi APEC sejak tahun 1989 dan kelahiran visi ASEAN Community. Ia selalu mendorong Indonesia agar memegang posisi strategis dan memperjuangkan arsitektur Asia Timur yang kuat. Hasil kerjanya terlihat dan menjadi warisan hingga kini, baik di tingkat ASEAN maupun Asia Timur dan Asia Pasifik. Bahkan, ketika ia menjalankan proses penyembuhan penyakitnya, ia sempat menulis artikel mengenai Indonesia and the Challenge of Building New Regional and Global Governance Structures.
Saya tidak akan dapat menemukan ”boss” yang lebih baik dari Hadi Soesastro—walaupun dia selalu menolak setiap kali saya memperkenalkannya sebagai bos saya). Ia tidak hanya memiliki visi dan teladan intelektual, melainkan juga bos yang baik yang ikut menyeleksi calon suami saya, menjadi Ketua Panitia pernikahan kami, khusus datang ke Malaysia dari Jakarta ketika putra pertama kami, Raymond, lahir, yang kemudian menjadi bapak permandian. Hadi selalu membawa hadiah (terutama buku) bagi anak-anak kami. Setelah 10 tahun bergabung dengan CSIS, dia meminta saya menjadi Direktur Eksekutif CSIS pada tahun 1997. Ia selalu berada di sana, memberikan masukan dan usulan secara substansi kedinasan ataupun pribadi. Saya ingat sekali pada tanggal 23 April 2010 dia memberi petuah kehidupan kepada Raymond, putra kami.
Jadi, apakah persamaan dari ketiga tahapan ”perkenalan” saya mengenai Hadi Soesastro? Jawabannya mudah: Beliau adalah seorang brilian yang pernah saya kenal, selalu memiliki visi dan ide baru yang inovatif. Dalam tutur kata sangat singkat, padat tetapi mengena (articulate), tetapi yang paling mengesankan, beliau sangat rendah hati, selalu tenang, dan murah senyum yang menyejukkan. Ia dengan senang hati akan memberi nasihat dan petuah dan teman mengadu, seorang teman yang dapat diandalkan.
* Mari Pangestu, Menteri Perdagangan
Sumber: Kompas, Kamis, 6 Mei 2010
1 comment:
^_^v
Post a Comment