-- Muhammad Husnil
TRIKOTOMI priayi-abangan-santri Clifford Geertz yang amat digdaya dalam ranah akademik itu kini kembali dipersoalkan. Melalui bukunya, Bambang Pranowo mengurai ketidakmemadaian trikotomi Geertz dalam memahami Islam Jawa saat ini.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Ketidaktepatan trikotomi Geertz itu semula tampak pada saat penulis buku ini melihat sosok ayahnya. Ditinjau dari sisi sosial, ayahnya termasuk ke dalam kategori priayi karena ia tercatat sebagai pegawai pemerintahan. Dalam perjalanan hidupnya, ia mampu menunaikan ibadah haji. Dengan kondisinya itu, layak ia dimasukkan sebagai kaum santri. Menjadi lebih kompleks lagi, apabila melihat ke dalam keseharian dunia ayahnya. Tampak sekali ayahnya gandrung akan wayang, salah satu kesenian orang abangan.
Dari sini sang penulis buku bingung memasukkan ayahnya ke dalam kategori mana: priayi, santri, atau abangan? Dalam konteks yang lebih luas, ia pun merasakan kebingungan itu saat melihat Hamengku Buwono X, seorang sultan Yogyakarta, sudah menunaikan haji, dan menjadi Ketua Dewan Penasihat Pengurus Daerah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ketidaktepatan analisis
Berdasarkan pada persoalan-persoalan semacam itulah penulis buku ini menemukan beragam ketidaktepatan trikotomi Geertz, yang ia tuangkan dalam disertasinya di Department of Anthropology and Sociology, Monash University, Australia. Dengan perkataan lain, buku ini merupakan karya penelitian doktoral penulisnya.
Meski bermula dari disertasi, buku ini jauh dari membosankan. Pasalnya, dalam menguraikan perilaku masyarakat Tegalroso, nama suatu desa tegalan di pedalaman Jawa Tengah yang ia samarkan, penulis menggunakan gaya penulisan deskripsi tebal (thick description) yang dipelopori Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Ia melukiskan suasana dan menceritakan segala sesuatunya secara hidup. Dengan begitu, suasana dan tokohlah yang menceritakan sendiri kepada pembaca apa yang tengah terjadi dalam masyarakat.
Saat meneliti, skeptisisme penulis atas teori Geertz tampak besar. Pasalnya, ia melihat banyak sekali perilaku masyarakat Tegalroso yang jika menggunakan analisis Geertz sungguh tidak tepat. Bagaimana mungkin seorang kiai sebuah pondok pesantren dalam kesehariannya menyenandungkan tembang-tembang Jawa, yang dikategorikan sebagai kesenian kaum abangan.
Paling mencolok adalah acara khataman tahun 1986. Ketika itu ada pengumuman bahwa dalam rangka khataman Pesantren Tegalrejo akan mengadakan festival seni dan dakwah yang digelar pada 19-21 April. Festival itu menampilkan beragam kesenian Jawa, seperti wayang, ketoprak, reog, jatilan, campur sari, dan sorengan. Padahal, semua kesenian itu merupakan kesenian yang menjadi ciri khas kaum abangan. Tetapi, di Tegalroso kesenian itu justru menjadi tontonan para santri dan ditampilkan dalam sebuah acara pesantren pula.
Kendati mengkritik, penulis sama sekali tidak berpretensi menampik pendekatan Geertz sepenuhnya yang tertuang dalam The Religion of Java. Pendekatan Geertz memang punya kesahihan tersendiri. Ia sahih sebagai deskripsi masyarakat Jawa pada 1950-an, saat kehidupan masyarakat masih diwarnai persaingan antarpartai politik. Dengan begitu, karya Geertz harus dibaca sebagai data historis dalam lokalitas di mana penelitian itu dilakukan, bukan sebagai laporan tentang Jawa yang ada saat ini secara umum (hal 363).
Dalam mengurai kelemahan Geertz, Guru Besar Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mendedahkan pendapat sejumlah ilmuwan yang telah terlebih dahulu mengkritik The Religion of Java. Mitsuo Nakamura, misalnya. Antropolog Jepang itu menyatakan bahwa konsep ”sabar dan ikhlas” (bagi priayi) dan ”slamet” (bagi abangan) yang diperkenalkan Geertz sebagai nilai utama dalam pandangan masyarakat tradisional Jawa sebenarnya bersumber dari Islam. Kata-kata itu diadopsi dari bahasa Arab. Ikhlas dan sabar terdapat dalam beberapa ayat, bahkan ikhlas merupakan nama surat dalam Al Quran, yaitu Surat Al-Ikhlas. Sedangkan kata slamet yang jadi istilah slametan berasal dari kata salamatan.
Penulis buku ini sepakat dengan Nakamura yang menilai bahwa kelemahan Geertz timbul akibat penggunaan pendekatan antropologi konvensional yang mempelajari kelompok etnik atau komunitas lokal dalam pengisolasian dan pemisahan yang sewenang-wenang dari konteksnya yang luas.
Kecenderungan itu akan sangat menyesatkan, khususnya ketika peneliti mempelajari masyarakat Muslim. Soalnya, norma, institusi, serta hubungan pribadi orang Muslim tidak terikat oleh batas geografis. Perkembangan Islam di Jawa bukan sesuatu yang terputus begitu saja dari perkembangan dunia Islam lainnya, karena bisa jadi ia merupakan perpanjangan tangan dari perkembangan Islam yang ada di Mesir, misalnya. Pemisahan ini akan mengakibatkan penyederhanaan berlebihan atau bahkan kekeliruan konseptual.
Tiga langkah
Berangkat dari sejumlah kelemahan Geertz, penulis mengajukan soal: jika nilai utama dari priayi (sabar dan ikhlas) dan abangan (slametan) adalah islami, bagaimana caranya agar kita bisa memahami adanya kemajemukan Islam di tengah masyarakat Jawa tanpa terperangkap ke dalam penyederhanaan berlebihan atau kesalahan konseptual?
Dalam hal ini, penulis mengusulkan tiga langkah yang mesti dirambah seorang peneliti. Pertama, harus melengkapi pengetahuan yang memadai tentang ajaran Islam dan sumber-sumber skriptural Islam (Al Quran dan Sunah); kedua, mesti sadar bahwa Islam, sebagaimana agama-agama besar lainnya, diwarnai oleh bermacam tradisi beragama; ketiga, keragaman yang ada tidak akan bisa dipahami dengan baik dengan menggunakan dikotomi, baik itu santri, abangan, priayi, maupun dikotomi tradisi besar dan tradisi kecil.
Ketiga langkah itu pun ia terapkan ketika meneliti Tegalroso. Setelah mencermati fakta di masyarakat Tegalroso dan mengurai kelemahan Geertz, penulis menawarkan sejumlah paradigma baru yang bisa membantu memahami kompleksitas dan kemajemukan Islam Jawa. Di antaranya adalah memperlakukan masyarakat Muslim Jawa sebagai Muslim yang sebenarnya tanpa memandang derajat kesalehan dan ketaatan mereka. Selain itu, memandang religiositas sepantasnya dilakukan sebagai proses yang dinamis ketimbang statis, ”proses menjadi” (state of becoming) ketimbang ”proses mengada” (state of being). Dengan sudut pandang ”proses menjadi”, keislaman dilihat bukan sebagai sistem religiositas yang statis dan berorientasi fikih semata, sebaliknya ia dinamis, progresif, dan esoteris.
* Muhammad Husnil, Pekerja Perbukuan
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Mei 2010
1 comment:
good article... hehehe
Post a Comment