Saturday, January 02, 2010

Obituari: Gus Dur Penerobos Bidang Kelautan

Jakarta, Kompas - Tidak saja seorang ulama besar, tokoh pejuang kemanusiaan, dan tokoh politik, Abdurrahman Wahid juga penerobos pengelolaan laut Indonesia ketika masih menjabat sebagai Presiden RI keempat. Tahun 1999, ia mendirikan Departemen Eksplorasi Laut, cikal bakal Departemen Kelautan dan Perikanan sekarang.

Menteri Eksplorasi Laut saat itu, Sarwono Kusumaatmadja, menyebut Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai sosok yang sangat menguasai sejarah kemaritiman, jauh sebelum menjabat sebagai presiden. Dari penguasaan sejarah itu lalu memunculkan pemahaman kewilayahan dan akhirnya tahu Indonesia kurang memerhatikan masalah kelautan.

Karena itulah nama yang dipilih Departemen Eksplorasi Laut. ”Gus Dur berhasil mengangkat isu kelautan ke permukaan karena nama itu. Waktu itu sama sekali bukan arus utama,” kata Sarwono ketika dihubungi Jumat (1/1) malam.

Saat departemen dibentuk, lanjut Sarwono, urusan kelautan RI hanya di tingkat eselon dua atau direktur di bawah sebuah departemen. Itu pun terpencar-pencar.

”Penggunaan nama eksplorasi laut menyadarkan semuanya dan berhasil memancing kenyataan bahwa persoalan laut hingga saat itu ditelantarkan. Jalan pikirannya memang kadang tidak lazim, tapi sering kali dia yang benar dan dalam soal kelautan dia memang benar,” kata Sarwono.

Sejak itu, berbagai penelitian dan pengembangan sumber daya laut banyak diungkap. Tahun 1999 pula, Direktorat Budidaya Perikanan di bawah Departemen Pertanian bergabung di bawah Departemen Eksplorasi Laut.

”Karena keberanian Gus Dur, persoalan nelayan dan pesisir turut terangkat. Dialah penyedia kendaraan menuju pengarusutamaan peran laut yang akhirnya dibelokkan menjadi eksploitatif oleh generasi berikutnya,” kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik.

Bahkan, tahun 2006, setelah tak lagi menjabat sebagai presiden, Gus Dur membantu langsung kesulitan nelayan tradisional Bengkalis, Riau, yang mengeluhkan kebijakan penggunaan jaring batu yang hanya menguntungkan pengusaha besar. Tak hanya menerima nelayan di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur pun bertindak.

”Gus Dur menemui langsung Presiden Yudhoyono dan akhirnya Gubernur Riau mencabut kebijakan itu,” kata Riza yang turut mendampingi nelayan waktu itu.

Ide brilian

Menurut Riza, pendirian departemen yang mengurusi laut Indonesia merupakan ide brilian. Dua pertiga luas kedaulatan Indonesia merupakan perairan laut dengan sumber dayanya yang melimpah.

”Ide itu berdampak besar, yang sebelumnya hanya didengung-dengungkan Indonesia sebagai negara agraris. Kenyataannya, berjuta-juta warga hidup di kawasan pesisir,” katanya.

Berbagai data menunjukkan, perairan Indonesia merupakan rumah bagi spesies biota laut penting bernilai ekonomi tinggi, di antaranya lokasi pemijahan ikan tuna, enam dari tujuh penyu ada di Indonesia, rumput laut kelas dunia, dan ratusan jenis ikan hias ada di sana.

Karena kekayaan itu, tak sedikit nelayan dari negara lain mencuri kekayaan laut Indonesia. Peneliti-peneliti laut pun beberapa kali dipergoki meneliti secara tersembunyi biota laut Indonesia.

Menurut Sarwono, peran Gus Dur sangat besar dalam mengembangkan perhatian terhadap laut Tanah Air. Ia melanjutkan beberapa perjuangan yang telah dilakukan tokoh seperti Ir Djuanda dan negosiator hukum laut internasional, Mochtar Kusumaatmadja (alm) serta Hasjim Djalal.

”Kalau saja departemen kelautan tidak didirikan, kesadaran kemaritiman dan kelautan Indonesia sangat susah bangkit. Gus Dur memahami betul masalah itu,” kata Sarwono.

Kontribusi budaya

Budayawan Radhar Panca Dahana, secara terpisah, mengatakan, Gus Dur tidak hanya pada masa menjadi presiden memberikan perhatian luas kepada dunia seni dan kebudayaan, tapi sejak awal tahun 1980-an. Pada masa itu, dunia seni dan kebudayaan sebenarnya mendapatkan jenderal baru, yang dengan senjata kata-katanya, rajin memperjuangkan posisi seni dan kebudayaan.

”Sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur berperan kuat mengusik kesenian untuk tidak asyik—sekaligus membusuk—di dalam tempurung egoismenya sendiri,” kata Radhar.

Seniman Butet Kertaredjasa menilai Gus Dur menjaga nilai kemajemukan yang otomatis menjaga nilai kebhinnekaan.

”Pada era Gus Dur seni budaya berkembang tanpa ada lagi yang dilarang. Ia juga pemimpin yang tidak antikritik. Suatu kali, ketika saya mementaskan monolog dengan lakon ’Guru Ngambek’ pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2001, ia bisa menerima kritik. Ia tidak marah,” kata Butet.

(GSA/NAL)

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010

No comments: