Judul Buku : Inside Jihadism: Understanding Jihadi Movements World Wide
Penulis : Farhad Khosrokhavar
Penerbit : Paradigm Publisher, Boulder
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : vi + 321 halaman
SETELAH Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) berhasil menewaskan Noordin M. Top -tokoh teroris berkewarganegaraan Malaysia- pada 17 September lalu, masyarakat seperti menemukan ''kesadaran baru''. Yakni, pembatasan terhadap ruang gerak jaringan gerakan teroris tidak cukup dilakukan oleh aparat keamanan, tetapi juga masyarakat perlu dilibatkan secara lebih luas.
''Kesadaran baru'' itu setidaknya terlihat dari aksi penolakan masyarakat terhadap pemakaman rekan-rekan Noordin M. Top yang ikut tewas dalam penggerebekan di Mojosongo, Jebres, Solo, tiga hari menjelang Idul Fitri tersebut. Banyak pihak yang menyayangkan aksi penolakan tersebut seperti yang ditunjukkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo (Jawa Pos, 26/9/2009). MUI Solo bahkan menilai, penolakan terhadap jenazah tersangka teroris bisa melanggar hak asasi manusia (HAM) kendati para pelaku teroris sengaja melakukan pelanggaran dari sisi HAM.
Penolakan masyarakat sebagai sebuah ''kesadaran baru'' yang muncul setelah tewasnya pelaku teroris -terlepas adanya perdebatan dari sisi fiqhiyah- di satu sisi merupakan suatu indikasi penolakan masyarakat terhadap penggunaan modus kekerasan dalam memperjuangkan agama. Tetapi, di sisi lain, mengindikasikan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi gerakan jaringan terorisme. Masyarakat baru sadar bahwa selama ini dikelilingi kelompok teroris begitu Densus 88 melakukan penggerebekan.
Apakah mungkin mewacanakan semacam akhir sejarah terorisme (the end of history of terrorism) di Indonesia setelah beberapa aktornya dapat dilumpuhkan oleh Densus 88? Masyarakat dan bangsa dari belahan bumi mana pun pasti ingin terbebas dari ancaman terorisme. Sebagai alasan yang teramat mendasar, terorisme mengakibatkan banyak korban justru dari kalangan masyarakat sipil tidak berdosa. Hanya, yang menjadi persoalan, menghentikan pergerakan terorisme bukan pekerjaan gampang.
Baik sebagai ideologi maupun gerakan, terorisme tidak muncul secara tiba-tiba. Terorisme, di antaranya, berakar kuat pada agama. Tentu bukan agama per se, melainkan pemahaman pada doktrin agama yang mendorong lahirnya ideologi dan gerakan terorisme. Salah satu doktrin dalam Islam yang sering dijadikan pembenaran terhadap berbagai aksi teror adalah jihad. Silang sengkarut antara jihad dan aksi kekerasan yang antara lain bermodus teror coba ditelisik secara cermat oleh Farhad Khosrokhavar lewat buku berjudul Inside Jihadism: Understanding Jihadi Movements World Wide ini.
Tidak diragukan lagi, jihad merupakan salah satu doktrin paling penting dalam Islam. Karena demikian pentingnya jihad ini, kepustakaan Islam selalu menyertakan pembahasan tentang jihad. Sebagai contoh, tentu masyarakat Islam di Indonesia mengenal buku Fiqh Islam yang ditulis Sulaiman Rasyid. Buku itu terbit pada 1954. Sampai sekarang, buku teresbut terus dicetak ulang. Yang menarik, kendati sebagai buku fikih, di dalamnya juga membahas masalah jihad yang diartikan sebagai peperangan. Contoh lain adalah buku Pedoman Hidup Seorang Muslim terjemahan dari Minhaj al Muslim yang ditulis Abu Bakar Jabir al Jaza'iry. Edisi terjemahan buku itu beredar di tanah air karena merupakan salah satu di antara ribuan buku yang dihibahkan oleh pemerintah Saudi Arabia. Seperti halnya Fiqh Islam, dalam buku tersebut, al Jaza'iry juga menyertakan pembahasan tentang jihad.
Meski begitu, asasi kedudukan jihad, pemahaman terhadap jihad ternyata menimbulkan implikasi yang beragam: beberapa kalangan menerapkan jihad secara lunak (soft), sedangkan lainnya memilih jalan kekerasan dalam menerapkan jihad. Kelompok yang terakhir itu, oleh Khosrokhavar, dalam buku ini disebut dengan kelompok Jihadis (Jihadist group).
Sejak awal, Khosrokhavar menempatkan Jihadisme -ideologi kelompok Jihadis- sebagai varian dalam Islam yang lebih menyukai cara kekerasan dalam berjuang. Kata Khosrokhavar, "Jihadism, a radical version of Islam, is wreaking havoc in almost every part of the world. A Jihadist group is any group, small or large, for which violence is the sole credible strategy to achieve Islamic ends."
Khosrokhavar menggunakan istilah Jihadisme, suatu ideologi yang berakar pada doktrin jihad, sebagai tipe ideal (ideal type) bagi kelompok dalam Islam yang mengutamakan kekerasan.
Buku yang ditulis guru besar sosiologi di Ecole des Hautes Erudes en Science Sociales (EHESS), Paris, Prancis, ini penting dibaca karena memberikan uraian secara memadai tentang proliferasi kelompok Jihadis serta penyebarannya, tidak hanya di belahan dunia Muslim, tetapi juga di Barat. Dengan membaca buku ini, kita bisa memahami mengapa terorisme bisa juga mencengkeram Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam buku ini, Khosrokhavar melakukan telaah genealogis untuk menemukan akar sejarah Jihadisme.
Menurut Khosrokhavar, sebagai varian Islam radikal, Jihadisme bertali-temali dengan kelompok Islam radikal yang muncul lebih awal. Khosrokhavar menyebut Khawarij sebagai gelombang pertama sejarah radikalisme dalam Islam. Sikap radikal Khawarij, antara lain, terlihat pada keberanian pengikutnya yang membunuh Ali bin Abi Thalib pada 661 M. Pasca Khawarij, sejarah Islam tidak pernah sepi dari radikalisme. Khosrokhavar menyebut setidaknya empat gelombang lagi yang menandai sejarah radikalisme dalam Islam. Yaitu, Wahabisme yang berkembang pada abad ke-18. Wahabisme merupakan gelombang kedua radikalisme Islam.
Pada abad ke-19, muncul gelombang ketiga radikalisme Islam yang dimotori al Afghani dan Muhammad Abduh. Radikalisme Islam terus berkembang pada abad ke-20 yang merupakan gelombang keempat. Nama-nama yang dianggap oleh Khosrokhavar berpengaruh pada gelombang keempat adalah Hassan al Banna dan Sayyid Qutb di Mesir, al Maududi di Pakistan, serta Ali Shariati dan Ayatullah Khomeini di Iran.
Sedangkan Jihadisme, oleh Khosrokhavar, disebut sebagai gelombang kelima radikalisme Islam. Dalam gelombang kelima ini, terdapat tokoh-tokoh penting, yakni Abdullah Azzam, Abu Mohammad Maqdisi, Abu Basir al Tartusi, Abu Mus'ab al Suri, dan Abu Qatada al Filistini. Pada gelombang kelima inilah radikalisme Islam berkembang menjadi kekuatan global di mana Al Qaidah, sebagaimana dikatakan Khosrokhavar, merupakan kelompok utama yang lihai mengekspor ideologi jihad ke berbagai penjuru dunia.
Dalam pandangan Khosrokhavar, perkembangan Jihadisme perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan dampak yang membahayakan. Khosrokhavar bahkan menggunakan frase ''Islamic Pol Pot'' untuk menggambarkan dampak yang akan ditimbulkan oleh Jihadisme. Suatu ungkapan yang ekstrem dan menakutkan, yang mengingatkan pada rezim Pol Pot yang membunuh sekitar dua juta warga Kamboja.
Tetapi, jika tidak menjadi ''Islamic Pol Pot'', menurut Khosrokhavar, Jihadisme berkembang seperti Taliban di Afghanistan.
Syamsul Arifin, Guru besar sosiologi agama Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 04 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment