Sunday, October 04, 2009

Tradisi Pasca-Lebaran

-- Dede Syarif*

TANGGAL 2 Syawal 1430 H. Jarum jam menunjukkan pukul 5.00 WIB. Suasana masih gelap. Meski baru satu hari usai Idulfitri, kesibukan sudah mulai tampak di pasar tradisional di kawasan Kampung Sukamandi, Kabupaten Garut. Pagi itu, Haji Rohanah (45) bersama beberapa ibu-ibu seprofesinya sudah bersiap menunggu angkutan kota (angkot) yang akan membawa mereka menuju pasar tradisional, Sukawening. Usai Lebaran, para pedagang sudah harus bergegas membuka kembali lapak mereka masing-masing. Tidak ada hari libur bagi mereka. Dalam kalender pasaran mereka, dua hingga tujuh hari usai lebaran adalah saatnya untuk menyambut tradisi Surudan. Pada saat hari Surudan tiba, para pedagang akan kebanjiran pembeli. Apalagi tradisi pasaran seperti Surudan hanya datang setahun sekali.

Tradisi Surudan sesunguhnya merupakan fenomena ikutan dari tradisi mudik yang terjadi setiap Idulfitri tiba. Masyarakat yang nyaba ke kota, biasanya mudik saat Idulfitri. Saat mudik tiba, ada ribuan, bahkan jutaan manusia yang pulang menuju daerah asalnya. Selain untuk bersilaturahmi, mudik juga merupakan kesempatan berbagi hasil bekerja kepada sanak keluarga. Dengan demikian, terjadi peralihan uang dari kota ke desa. Dalam kamus ekonomi, aliran uang tadi disebut remiten. Remiten yang berpindah dari kota ke desa lewat pemudik bisa mencapai angka miliaran, bahkan triliunan.

Kata Surudan sendiri bemakna penghabisan (pameakan). Hal ini menunjukkan kebiasaan masyarakat yang membelanjakan uang pemberian dari pemudik pada hari kedua hingga tujuh hari usai Lebaran. Karena habis Lebaran, dagangan di pasar tinggal sisa penjualan sebelum Lebaran. Itulah sebabnya, tradisi pasaran ini disebut Surudan alias penghabisan.

Ritual Surudan

Tak ada ritual khusus dalam tradisi Surudan. Para pelaku tradisi ini adalah para pedagang dan pembeli biasa. Namun proses jual beli tersebut menjadi unik dan tidak biasa karena tiga hal berikut:

Pertama, momentum waktu. Tradisi Surudan berlangsung satu tahun sekali (annual tradition), yakni setelah perayaan Idulfitri. Momentum Lebaran memberi pengaruh luar biasa pada pergerakan ekonomi masyarakat. Pada saat Lebaran, daerah-daerah mendapat aliran uang yang besar melalui para pemudik yang pulang kampung. Pasar-pasar tradisional yang pada hari-hari biasa mengandalkan konsumen kampung dengan daya beli yang terbatas, maka pada saat Lebaran (tradisi Surudan) tiba mendapat suntikan dana segar yang dibawa para pemudik dari kota. Kedatangan pemudik merupakan berkah yang bisa mengepulkan kembali dapur mereka. Tidak hanya keluarga dekat, para pedagang juga ikut kecipratan uang dari kota.

Kedua, tradisi Surudan berbeda karena jenis komoditas yang laku pada saat itu. Jenis komoditas biasanya, sayuran, ikan asin, aneka bumbu, dan makanan biasa yang dikonsumsi pada menu sehari-hari di luar bulan Puasa.

Realitasnya, memang terjadi perubahan selera kuliner pada saat pra dan pasca-Lebaran. Sebelum Lebaran, masyarakat menyantap makanan sedikit istimewa. Maksudnya, masyarakat cenderung ngaaya-ayakeun makanan. Keluarga yang tadinya tidak makan daging, merasa harus mencoba daging, demikian juga yang lazimnya tidak minum sirup, merasa tidak afdal jika tidak ada sirup. Nah, pada saat Lebaran, segala jenis makanan dari yang tradisional sampai yang aneh dihidangkan. Bagi sebagian masyarakat, bahkan jadi tidak lengkap jika Lebaran tanpa opor ayam, atau ketupat misalnya.

Namun, usai Lebaran, selera makan masyarakat kembali berubah. Hal ini tampak pada saat tradisi Surudan, yakni dengan melihat komoditas yang dibeli masyarakat di pasar. Hidangan makanan berat seperti ketupat dan opor ayam mulai terasa enek di lidah mereka. Mereka mulai merindukan cita rasa yang biasa, seperti ikan asin, sayur kacang, sambal, dan kerupuk. Inilah yang mendorong para pembeli, pada saat tradisi Surudan, memilih jenis komoditas makanan tadi. Kalaupun ada komoditas lain yang dibeli, biasanya adalah bahan-bahan untuk membuat makanan tradisional khas daerah setempat. Nah, untuk yang satu ini setiap daerah memiliki jenis makanan yang berbeda dan unik. Di Kampung Sukamandi, Kabupaten Garut, terdapat beberapa makanan khas, misalnya burayot, ladu, dan tentu saja dodol garut.

Jenis oleh-oleh makanan khas seperti burayot mungkin hanya ditemukan di kawasan kampung tersebut. Penganan ini terbuat dari adonan tepung terigu dan gula merah. Bentuknya yang mengerucut pada bagian atas dengan sebagian adonan terkumpul di bagian bawah membentuk segitiga. Karena bentuknya itulah masyarakat di sana menyebutnya burayot. Nah, masyarakat di sana biasanya membuat makanan ini untuk dijadikan kakaren Lebaran, baik untuk menjamu tamu atau sebagai buah tangan.

Ketiga, tradisi Surudan berbeda karena harga. Permintaan (demand) meningkat mengakibatkan kenaikan harga. Apalagi ketika pasokan (supply) barang jadi langka (scarcity). Konsekuensinya, harga barang menjadi mahal. Tidak heran jika pada hari-hari tradisi Surudan, harga bahan-bahan di pasaran bisa mencapai tiga kali lipat lebih mahal dari harga saat Lebaran.

Distribusi ekonomi

Ramadan memang penuh berkah. Berkahnya pun dapat dinikmati semua strata, agama, dan geografis. Berkah Ramadan itu dapat dirasakan baik oleh orang Muslim, non-Muslim, kota, desa, tua, muda, semuanya. Salah satu wujud dari berkah tersebut menggeliat di kampung-kampung, dalam tradisi Surudan. Dengan demikian, mudik sesungguhnya merupakan mekanisme budaya untuk proses distribusi hasil pembangunan ke desa-desa. Meski masih terbilang kecil, dibandingkan dengan uang yang beredar di kota (Jakarta), toh masyarakat dapat menikmatinya, yang sedikit tadi di hari nan fitri dan penuh berkah. Amin.***

* Dede Syarif, peneliti dan dosen sosiologi UIN Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: