-- Silvester Petara Hurit*
APAKAH tukang batu dikenang setelah rampung suatu bangunan? Dan, adakah keringat, kelelahan, otot-otot yang hampir pecah oleh beratnya kerja membangun tersebut diperlihatkan secara telanjang? Rata-rata orang hanya mengagumi keindahan suatu bangunan tanpa membaca dan merenungkan rekaman panjang keringat dan kelelahan dari orang-orang yang telah membangunnya.
Melihat teater sebagai bangunan adalah melihat proses panjang yang tidak pernah utuh dan selesai. "Memeriksa Teater Indonesia Kontemporer: Tantangan, Harapan, dan Kecemasan" yang menjadi tema The First Invitation To The Theatre 2009 yang berlangsung dari 29 September-03 Oktober 2009 di STSI Bandung, hanya merupakan upaya kecil untuk melihat proses teater saat ini yang juga tengah dan senantiasa bergerak. Tak sepenuhnya terukur dan terbaca.
Melihat atau memeriksa dalam pengertian ini, sebagaimana ditulis dalam pengantar pertunjukan hari terakhir "Gegerungan" karya Harris Priadie Bah dari Teater Kami Jakarta, adalah melihat sebuah tahapan di mana proses panjang teater itu dipenggal, demi menangkap bagaimana dan apa yang sesungguhnya tengah terjadi di dalamnya. Bukan awal, bukan pula pada akhir, melainkan pada proses sakit dan pedih-perihnya melahirkan sebuah teater. Penelanjangan diri untuk menemukan makna dan keberartian diri dari pelbagai persoalan pelik yang melilit di tubuh teater.
Teater Indonesia kontemporer tidak bisa sepenuhnya direpresentasikan oleh karya-karya yang telah dipentaskan dalam event ini, karena kekontemporeran itu sendiri menyiratkan kekinian yang kompleks dan heterogen yang hanya dimungkinkan oleh adanya "yang kemarin" dan yang akan datang. Sesuatu yang tidak tetap dan bahkan hanya akan mewujud lebih utuh dalam suatu rentang waktu yang bergerak maju.
Oleh karena itu, memeriksa teater Indonesia kontemporer di sini, tidak lain adalah seperti memasang kaca pembesar pada potongannya yang kecil demi melihat detail-detail persoalan dan problem-problem internal dirinya, luka-luka dan borok dirinya, kecemasan dan wajah ciutnya, kelesuan dan bahkan rasa putus asanya, kegigihan dan mimpi-mimpinya, perjuangan dan wajah tak kenal lelahnya, kenyataan kemarin, realitas hari ini dan bayangan masa depannya, keberingasan, kemampuan ereksi, kelihaian sekaligus kebuasannya menghadapi kepungan irasionalitas dan ketidakutuhan dunianya.
**
Teater Payung Bandung tampil di hari pertama dengan "Puisi Tubuh Yang Runtuh" karya sutradara Rahman Sabur. Rahman melakukan tafsir dekonstruktif terhadap Topeng Cirebon dengan memereteli beberapa ornamentasi identitas konkret yang spesifik Cirebon demi mengapungkan muatan kebenaran isi perwatakan dan evolusi sirkuler perjalanan tubuh manusia lewat pertunjukan nonverbal yang berdurasi kurang-lebih 45 menit.
"Puisi Tubuh Yang Runtuh" sepertinya melakukan penelusuran dan perjalanan bolak-balik antara yang konkret dan yang abstrak untuk membongkar apa yang bersemayam di balik yang kelihatan dan menyemai yang tak kelihatan (episteme) melalui relasi aktual narasi tubuh.
Panji diwujudkan dalam patung beku dari tanah di tiang tengah panggung tampak yang tenang, diam, lembut, agung dan halus yang juga luruh ketika dibasahi air. Sementara Kelana menjelma jejangkungan yang eksplosif, liar, dengan kepala merah besar menebar keriuhan intervensif dengan membentur-benturkan benda logam (cengcreng). Berseliweran kian-kemari memekakkan telinga. Mengubur keheningan datar tubuh-tubuh aktor yang menjelajahi geliat hening kehadirannya.
Kenyataan hidup manusia yang disajikan para aktor (Rusli Keeling, Dwi Ginulur, Ipan M., Dian Lugina) bersama penata musik (Suhendi Afriyanto), penata artistik (Deden Bulqini dan Ade Ii) seakan mengaksentuasikan juga kenyataan konflik yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan oposisi biner yang ada pada relasi natural (mite) yang menggerakkan dinamika manusia dan kehidupan. Konflik dan perjuangan panjang yang berakhir dengan rubuhnya Kelana dan peluruhan patung Panji memperlihatkan penyatuan kembali pada asal, "dari tanah kembali ke tanah". Peleburan yang menyiratkan ketuntasan, kebinasaan sekaligus perkawinan, kesuburan, dan kelahiran kembali.
Actors Unlimited Bandung hadir di hari kedua dengan "Ibu Pemberani dan Anak-Anaknya Yang Mati" yang merupakan tafsir bebas sutradara Fathul A. Husein atas lakon "Mother Courage and Her Children" karya punggawa teater epik Bertolt Brecht.
Petunjukan berdurasi 119 menit ini menyajikan realitas perang lengkap dengan segala persoalannya. Ibu pemberani yang dimainkan oleh Retno Dwimarwati dan Laila anaknya (Zulfa Laila) mendapat tempat yang kuat dalam garapan ini. Fathul menyajikan realitas perang yang di satu pihak bermuatan korban dan di pihak lain sebagai bisnis, bukan dengan mempertahankannya sebagai realitas gagasan yang beroposisi, melainkan menggabungkannya yang kemudian menimbulkan efek simpati, kekaguman, ketergugahan dan semacam keberpihakan emosional yang menjauhi capaian efek alienasi sebagaimana yang digagas oleh Brecht.
Hal ini tampak pada pencitraan tokoh Ibu Pemberani yang teguh menghadapi kehilangan anak-anaknya, termasuk usahanya menyelamatkan semua yang lain termasuk imam tentara (Mohamad Sunjaya), Laila yang diperkosa secara sadis (yang divisualisasikan secara sadistis pula dengan perajaman popor senjata ke arah selangkangannya), Sepatu Merah (Yani Mae) yang berusaha menyelamatkan Jantan (Kemal Ferdiansyah) serta keagungan tindakan-tindakannya yang lain yang memperlihatkan heroisme tertentu yang berbeda dari stereotip perempuan sebagai korban yang lazim dikenal dalam pelbagai kisah getir perang. Warna katarsis lebih tampak dalam garapan ini.
Teater Satu Lampung mempersembahkan "Aruk Gugat" karya sutradara Iswadi Pratama yang merujuk pada teater rakyat Lampung, dalam hal ini sastra tutur (warahan). Pertunjukan berdurasi 146 menit itu, walau dalam kemasan teater modern, tetap berwajah kampung, mempertahankan spirit kampung.
Tetapi justru pada "kekampungannya" inilah, terletak kekuatannya. Aruk (Sugianto) yang masih memiliki gelar kebangsawanannya tidak dihadirkan dalam "eleganitas" laiknya seorang bangsawan, tetapi hadir sebagai manusia polos dengan tingkah-tingkahnya yang pandir, malas, lucu, tidak masuk di akal, dingin, nekat, dan kelewat percaya diri.
Jalinan kisah dan bentuknya sederhana, pun dengan unsur artistiknya. Namun, bermain-main dengan kesederhanaan ini ternyata bukan persoalan yang sederhana. Ia butuh ketepatan, responsivitas dan kepekaan-kepekaan tertentu. Ini komedi yang sebetulnya dekat dengan persoalan hidup konkret keseharian. Pokok soalnya adalah pokok soal sehari-hari, marahnya khas marah orang kampung dan lain-lain.
Ini komedi yang sebetulnya penuh ironi. Bahwa segala pencapaian kecerdasan, kemajuan, keberadaban, dan kompleksitasnya yang kerap pongah mengolok-olok, menertawakan kesederhanaan, kebodohan dan ketertinggalan kampung, perlu juga dididik dengan segala sikap dan ekspresi kampungan yang khas milik Aruk tersebut. Kebodohan dan sikap kampungan yang kerap ditertawakan bisa saja atau boleh jadi memiliki kecerdasan, kelenturan, dan kehangatannya sendiri. Aruk gugat, dalam hal ini, memang menggugat.
Teater Ruang Solo menghadirkan "Katawang Bajingan" karya sutradara Joko Bibit Santoso. Pawai api (belencong) yang hening membuka dan mengakhiri pertunjukan yang berdurasi 54 menit tersebut.
Pertunjukan adalah unjuk kebolehan olah tubuh. Eksplorasi tubuh yang bersendi pada kekuatan, kelenturan, keseimbangan, dan daya tahan yang diimbuhi beberapa tiruan gerak binatang menjadi umpatan tersendiri pada realitas konstruktif yang cengeng, simpang siur tanpa kesadaran dan penghayatan.
Bila dihubungkan dengan judul pertunjukan "Katawang Bajingan", bisa dibaca bahwa segala aksi panggung dari para aktornya yang memecah dan merotasi ruang oleh pencahayaan dan bayangan api belencong merupakan umpatan pada segala yang tidak menghormati langit (ketinggian dan keluhuran). Semua yang telah menodai langit dengan segala tingkah dan lakunya yang barangkali tampak suci, santun, dan beradat namun sesungguhnya palsu. Mencelah dan mencoreng langit lewat segala janji, omong kosong dan kepalsuan.
Gerakan-gerakan yang dirangkai dari beberapa asanas (postur) yoga yang meniru gerakan-gerakan alam, estafet api secara melingkar, tangan yang tengadah seolah memohon dan mengekspresikan kerinduan untuk meraih langit yang bersih yang kini dipenuhi awan hitam oleh ketidaksenonohan hasrat dan nafsu hewani manusia. Maka, pertunjukan ini adalah sebentuk rituas merawat langit. Merawat apa yang baik, benar, indah, dan mulia.
**
Dari pertunjukan-pertunjukan yang telah tampil, dengan masih menyisakan satu pertunjukan dari Teater Kami Jakarta, tampak bahwa ada kecenderungan untuk mendasarkan pertunjukan teater dari khazanah tradisi lokal seperti yang dilakukan oleh Teater Payung Hitam terhadap kesenian Topeng Cirebon. Menemukan dengan mendekonstruksi struktur aktual atau tampilan permukaan demi meraih apa yang lebih besar dan lebih dalam yang tersembunyi di balik perwujudan aktualnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh Teater Satu Lampung. Tetapi bukan dengan dekonstruksi sebagaimana yang dilakukan Payung Hitam, melainkan dengan menghadirkan bentuk dan spirit kesederhanaan dan kekampungannya. Kesederhanaan atau juga kekampungan sesungguhnya bisa lebih menyentuh, lebih jujur, lebih kena dan dekat, serta berdaya membongkar dan memurnikan. Begitupun dengan Teater Ruang Solo yang melawan dengan bersentuhan dengan gerak-gerak primal, gerak-gerak alam dengan mengeksplorasi segala potensi dan daya ungkap dari misteri serta magis tubuhnya.
Meminjam Charles Jencks, apa yang dilakukan tersebut adalah upaya untuk "menghargai apa yang sudah ada, menghargai tradisi dan menggali apa yang dianggap kuno (ketinggalan)". Sementara itu, Actors Unlimited Bandung coba mereguk lakon-lakon besar, membajaknya sesuai dengan gaya dan seleranya sendiri. Menjamah yang lain adalah salah satu cara menyadari diri atau "kekitaan" kita. Sementara Teater Kami Jakarta secara berani membaca dan mempertunjukkan dirinya dengan segala pahit getir dan manis madunya.***
* Silvester Petara Hurit, pengamat seni pertunjukan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 4 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment