Sunday, October 04, 2009

Memeriksa Teater Indonesia

TEATER Indonesia kini adalah kenyataan yang menjadi jumud bahkan involutif dan hanya berputar-putar dalam tempurung dunianya sendiri. Maka menjadi wajar jika ditengarai adanya stagnasi dalam perkembangan teater Indonesia. Soal utama dari sejumlah kelompok teater adalah sulitnya menemukan suatu pemikiran dasar yang kuat dan melandasi kerja kreatif dan hidup berteaternya. Selama tiga dekade ini, ada indikasi terhentinya pergerakan atau perkembangan teori, metode, dan filosofi teater di Indonesia.

Ia terbelenggu dalam dunia eksklusivitasnya yang menyempit sehingga berjarak dari realitas dunia kontemporer di sekelilingnya. Akibat dari seluruh situasi ini adalah tak adanya pencapaian artistik, yang jika tidak merupakan perpanjangan tangan ide dari para pendahulunya, ia semata hanya jadi pengikut epigon buta dari bentuk-bentuk yang berhenti pada bentuk belaka.

Penampilan kelompok teater Actors Unlimited Bandung dalam lakon "Ibu Pemberani dan Anak-anaknya yang Mati" (Bertolt Brecht) di GK Sunan Ambu STSI Bandung Rabu, (30/9), bagian dari The First Invitation To The Theater 2009. (AGUS BEBENG)

Di lain sisi, situasi teater Indonesia modern hari ini dihuni oleh generasi yang seolah tak memiliki sejarah. Berbeda dengan para pendahulunya yang melahirkan tradisi baru, yang menyerap dan memadukan teater tradisi dan modern (Barat), sehingga melahiran tradisi baru di mana Barat hanyalah salah satu referensi; generasi teater Indonesia hari ini berpaling lagi ke Barat untuk mencari pegangan, kekuatan, dan kebanggaan. Tradisi baru teater Indonesia yang ditemukan oleh para pendahulunya mulai tidak laku. Di tengah situasi inilah teater kontemporer Indonesia terancam kehilangan muka karena lebih senang berkaca pada referensi Barat ketimbang menggali kekuatan di ranah tradisi dan budayanya sendiri.

Akan tetapi, teater Indonesia mestilah juga dipandang sebagai relasi ketidaktuntasan. Bukan tenunan yang selesai. Di situ tradisi mestilah terus dibaca dan diperiksa. Tradisi harus diperlakukan sebagai laboratorium demi menghidupkan berbagai kemungkinan kesenian dalam riset partisipatoris. Dari konteks inilah bisa terbaca salah satu aspek evaluatif yang disumbangkan oleh pemikiran postmodern, yakni menyangkut pentingnya proses dekonstruksi terhadap teks yang diabsolutkan.

Demikian sejumlah pemikiran yang mengapung dalam seminar bertajuk "Memeriksa Teater Indonesia Kontemporer: Tantangan, Harapan, Kecemasan", yang berlangsung di GK Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (3/10). Seminar yang merupakan bagian dari program The First Invitation To The Theatre 2009 yang diselenggarakan oleh Jurusan Teater STSI Bandung ini menampilkan pembicara kritikus Radhar Panca Dahana, Putu Wijaya, Benny Johannes, dan Prof. Dr. Bambang Sugiharto.

Seperti diamanatkan oleh tajuk seminar, dari berbagai sudut pandang, keempat pembicara mencoba memeriksa sejumlah permasalahan dalam jagat teater kontemporer Indonesia dengan korelasinya pada tradisi yang telah ada sebelumnya. Demikian pula korelasi dan persinggungannya dengan berbagai fenomena mutakhir yang tengah berlangsung dengan berbagai perubahannya.

**

TEATER mutakhir Indonesia diakui didasarkan oleh beberapa bentuk utama yang mengisyaratkan gaya, bentuk, metode, hingga filosofinya sendiri-sendiri. Semua itu ditetaskan oleh para leluhur teater nontradisional, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, Djadoeg Djajakusumah, W.S. Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suyatna Anirun, hingga Wahyu Sihombing. Dari mereka lahirlah berbagai bentuk sinkretik yang berjejak ke dalam tradisi teater Indonesia. Dari mulai realisme yang merujuk pada well made play ala Stanilavsi yang dianut oleh Asrul Sani, Teguh Karya, dan Wahyu Sihombing, hingga psikogis-tradisional dengan struktur naskah dan perwatakan yang ketat sembari melekatkan unsur-unsur tradisi sebagaimana terasa dalam karya Arifin C. Noer dan Suyatna Anirun.

Demikian pula bentuk sinkretik yang memadukan filosofi dan metodogi dramaturgis oksidental dan oriental pada karya-karya W.S. Rendra, dan bentuk eksperimental yang diwakili Putu Wijaya dan Danarto. Dan akhirnya adalah bentuk romantik simbolik yang direpresentasikan oleh Teater Sae dengan Budi S. Otong dan Afrizal Malna.

"Berdasarkan latar teatrikal itulah, kita dapat melihat realitas teater mutakhir kita. Mengecualikan Teater Sae, pada umumnya bentuk-bentuk pertunjukan teater kita dapat diacu pada salah satu atau persilangan dari bentuk-bentuk tersebut. Dan kenyataan yang terjadi mengindikasikan terhentinya pergerakan atau perkembangan pemikiran, teori, metode, dan filosofi teater kita. Setidaknya selama tiga dekade ini," tutur Radhar Panca Dahana.

"Diskursus intelektual di kalangan teater merosot tajam, jika tidak dapat dikatakan pingsan atau mati suri, juga tidak berhasil menumbuhkan kritikus, pengamat, dan pengkaji akademik yang menjadi juru bicaranya. Wajar bila kemudian ditengarai adanya stagnasi dalam perkembangan teater Indonesia. Terbukti pada ketidakmampuannya berkompetisi di tingkat internasional, baik dalam kapasitas artistik maupun intelektual. Begitupun ketidakmampuannya membangun otoritas yang bisa menempatkannya sebagai acuan bagi generasi pelanjut," ujarnya.

Dalam pandangannya, daya tahan atau survivalitas pekerja teater yang jumlahnya sangat tidak kecil adalah modal juga potensi yang cukup hebat, dan yang sebenarnya belum optimal didayagunakan. Dapat dibayangkan kemungkinan-kemungkinan besar yang ada dalam ruang kerja teater seperti itu. Potensi-potensi cemerlang yang terpendam namun terlumpur karena tempurung yang diciptakan atau prakondisi eksternal yang tidak mendukung.

Senada dengan Radhar, Putu Wijaya memeriksa betapa teater Indonesia hari ini adalah jagat yang dihuni oleh sebuah generasi yang menyebar dari tradisi baru yang dilahirkan oleh para pendahulunya. Tradisi baru dimaksud Putu menyaran pada tradisi yang bangkit dari pergesekan intensif antara teater tradisi dan teater modern. "Tradisi baru adalah puncak-puncak pencapaian teater Indonesia modern yang bersumber pada tradisi yang kemudian menjadi rujukan baru mengganti tradisi Barat. Tradisi baru juga adalah kecenderungan merujuk itu sendiri yang tidak memosisikan Barat sebagai kiblat. Tradisi baru adalah langkah besar untuk kembali pada kearifan lokal yang ada dalam selongsong tradisi," ujarnya.

Tetapi sungguh disayangkan ketika pembelajaran teater mulai dilakukan secara sistematik lewat akademi. Seluruh penemuan tradisi baru seakan dibatalkan. Dramaturgi dimulai lagi dari Yunani kuno. Pembelajaran teater dikembalikan lagi ke estetika Barat. Hal tersebut dipacu lagi oleh kian kurang aktifnya para narasumber tradisi baru. Dalam kebebasan yang hampir tanpa batas setelah reformasi, teater Indonesia justru kehilangan pemicu.

"Tradisi baru mulai tidak laku. Teater kontemporer Indonesia tak lama lagi bisa kehilangan muka karena lebih senang berkaca pada referensi Barat," tegas Putu.

Dengan menguntit tata-cara kehidupan drama Barat, teater modern Indonesia dipisahkan dari cabang kesenian lain. Teater total yang merupakan eksistensi teater tradisi, mengkristal dalam sandiwara menjadi hanya teater kata-kata.

"Barat harus berhenti dijadikan kiblat, meskipun masih dipelihara sebagai hanya salah satu referensi. Akademi atau usaha pembelajaran yang tidak memperhatikan gejala ini akan membawa pembelajaran teater Indonesia sesat," tambahnya lagi.

Pada bagian lain, Putu menegaskan diperlukan sebuah interprestasi baru untuk memeriksan dan melihat teater Indonesia. Banyak sekali penafsiran yang sudah membelokkan pemahaman, misalnya, ketika menyalin kata drama dengan "sandiwara".

Ketika istilah "drama" diganti dengan "sandiwara", maka terjadi pula pergeseran penting yang berakibat panjang. Bentuk pertunjukan drma yang berasl dari Yunani kuno sebagai upacara penyembahan pada Dewa Dyonisos, dianggap pertunjukan "kabar" (wara) "rahasia" (sandi).

"Arti harfiah "sandiwara" (kabar yang dirahasiahkan) membuat drama yang berkembang semakin melebar, justru jadi sempit," urai Putu.

**

AKAN tetapi tradisi bukanlah barang mati. Bukanlah sesuatu yang final. Ia harus terus dibuat menjadi untuk mencari berbagai kemungkinan kreatif di dalamnya. Inilah yang ditawarkan oleh Benny Johannes (Benjon) untuk mengambil suatu sudut pandang dalam memahami tradisi. Berbeda dengan Radhar dan Putu yang menginventarisasi pencarian bentuk yang dilakukan para leluhur teater modern Indonesia, Benjon mencoba menelaah lebih jauh perjalanan pencarian bentuk-bentuk tersebut. Artinya, pemeriksaan yang dilakukan Benjon mencoba lebih jauh masuk ke dalam faktor-faktor intrinsiknya, untuk lalu di situ ia mengapungkan cara pandang serta pengertiannya ihwal tradisi dan jejak para leluhur tersebut.

Ia memandang tradisi adalah sebuah keniscayaan yang harus dimaknai sebagai sebuah labotarium. Diskursus inilah yang jejaknya ditunjukkan oleh sejumlah model pemanggungan teater pascareformasi. "Memperlakukan tradisi sebagai laboratorium adalah cara menghidupkan kemungkinan kesenian dalam riset partisipatoris. Pendekatan ini menjanjikan sebuah proses empati pada tradisi, sekaligus membedah tradisi sebagai laboratorium interogasi," ujarnya.

Pada bagian lain, Benjon mencermati perjalanan teater Indonesia dalam konteks kultur urban. Kultur yang sejak tahun 1970-an menemukan berbagai artikulasi keberadaannya yang menyaran pada isu-isu politik, seperti apa yang banyak terbaca pada karya-karya WS. Rendra.

Meski ada dorongan kuat untuk menggunakan panggung teater sebagai media kritisisme publik, Benjon memandang pada periode tahun 1970-an itu, masih ada sejumlah seniman teater yang tetap mempertahankan model estetika teater akademis.

Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, lebih memilih teater sebagai medan studi akademis. Pilihan tematiknya condong mengangkat problem kemanusiaan universal.

"Dan inilah alasan dasar mengapa favoritisme pada naskah asing menjadi dominan. Pemanggungan dicapai melalui perfeksi artistik. Teater menjadi model seni menyajikan, bukan seni menyatakan," papar Benjon.

Lebih jauh ia melihat bagaimana seniman teater yang lebih banyak bersentuhan dengan kultur urban, memiliki urgensi yang berbeda dalam mencetuskan pilihan model estetikanya. Taman Ismail Marzuki periode 1970-an adalah habitat kesenian kritis yang bergerak intensif seiring ancaman sensor dan pelarangan yang mengintainya.

Mengendurnya kiblat teater periode 1970 dan 1980-an dari orientasi realisme, bergerak seiring dengan tidak vitalnya bentuk teater diskursus ditengah budaya politik orde baru yang monokromatik dan represif. Panggung tidak merepresentasikan realitas faktual yang dekat dan akrab. "panggung", ujar Benjon, "Menjadi gambaran alienatif atau sisi marjinal dari sebuah fakta sosial. Tidak ada hubungan kausalitas antara tokoh dan model tuturan. "

Menyinggung teater mutakhir Indonesia, Benjon melihat bahwa ia sedang bergerak menerobos limitasi cerita. Teater Indonesia mutakhir sedang meruntuhkan tubuh pertunjukan, begitu hukum kausalitas narasi. "Teater sedang bermain dengan ketidaklengkapan, menyangsikan keutuhan, memencilkan retorika dan diksi ekplainatif, menerobos wilayah non-cerita dengan cara mengetengahkan berbagai lapisan subversif dari penanda tubuh, kata, dan benda. Namun seluruhnya itu justru dipacu ke arah tujuan konyradiktifnya, yakni, merenggangkan hubungan konstitutif antara materi dan makna,"tuturnya.

Dalam pandangannya, terdapat pergeseran dalam praktik tekstualisasi teater Indonesia, terutama pasca periode 1990-an. Itu terlihat dalam cara bangunan teks dalam teater, yang semula bersifat piramidal menjadi teks lateral. Tradisi teks piramidal adalah teks dramatik berbentuk naskah lakon, yang disusun dengan struktur dramatik Aristotelian. Teks ini berbentuk alur lengkap dengan klimaks dramatik.

Sedangkan teks lateral meniadakan pesan yang mengerucut. Fragmen impresif dan potongan situasi konflik hanya dijajarkan, tidak diuntai.

"Maka sejumlah pilihan kreativitas dimunculkan oleh generasi pasca 1990-an, seperti Dindon WS. Elemen cerita hanya menjadi kemeja tak berkancing. Rachman Sabur menggali genre teater fisik, di mana narasi bergerak lewat makna arsitektural tubuh," katanya.

Dalam tubuh pertunjukan teater mutakhir, tak bisa lagi dibuat kategori-kategori diametral abtara protagonis dan antognis. Teater kini bukan lagi kendaraan untuk integrasi sebuah lakon atau diskursus konfliktual antar karakter.

"Antagonis kontemporer dalam teater lateral tidak dimunculkan lewat representasi sosok," tambah Benjon.

**

SEMENTARA itu, Bambang Sugiharto lebih berangkat dari pemikiran-pemikiran reflektif ihwal teater mutakhir hari ini seraya mengemuka sebuah pertanyaan, untuk apa berteater? Mengapa teater? Dan teater macam apa yang kiranya dituntut dalam situasi seperti sekarang?

"Dalam rangka refleksivitasnya, teater dapat menggunakan aneka jenis bahasa. Tetapi semua itu hanya akan berefek eksistensial bila ia tampil menjadi metafor baru yang bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap hidup dan dirinya sendiri," ujar Bambang Sugiharto.

Dalam pandangannya, metafora yang tepat haruslah lahir dari kesadaran dialektik antara sense of apotheosis dan sense of derision, atau antara aspirasi tinggi lahiriah dan kesadaran bahwa mungkin itu kekonyolan dan sia-sia belaka.

Di bagian lain uraiannya, Bambang Sugiharto juga mencoba menengok pemaknaan teater dalam masyarakat kebudayaan di era pramodern, sebagai apa yang disebutnya dengan teater-ritual tradisonal. Jenis teater ini berhasil menampilkan kofigurasi Yang Suci (the Holly) dengan berbagai cara.

"Sedangkan teater modern adalah upaya untuk menemukan kembali dimensi transedental yang hilang itu. Rute pencariannya memang sama sekali berbeda. Teater modern tidak mencarinya ke luar, ke ranah metafisik transenden, melainkan menyuruk ke ke lapisan paling gelap dalam kedalaman diri manusia yang paling misterius," katanya.

STeater, kata Bambang, memang bekerja secara "magis", dan efektivitasnya harus muncul dari penghayatan kedirian yang otentik, yang mampu menyelami jeroan kenyataan. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: