Tuesday, September 01, 2009

Seni Budaya: Tak Ada Perlindungan secara Internasional

Jakarta, Kompas - Dalam persoalan seni budaya rakyat yang diklaim negara lain, pemerintah tidak dapat berbuat banyak karena perlindungan terhadap folklor di tingkat internasional (international legally binding instrument) tidak ada.

”Upaya pemerintah untuk berinisiatif mendorong terbentuknya perjanjian internasional belum membuahkan hasil meski sudah didorong sejak sembilan tahun lalu,” kata Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Andy Noorsaman Sommeng dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (31/8).

Dalam jumpa pers itu, Andy didampingi mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati dan Direktur Hak Cipta Arry Ardanta Sigit.

Meski tidak ada perlindungan secara internasional, Andy membantah bahwa pemerintah dikatakan lamban dalam melakukan pendataan folklor. Menurut Andy, instansinya sudah mencatat adanya 2.058 folklor yang terdapat di 15 provinsi. Hanya saja, produk-produk budaya warisan/peninggalan sejarah itu tidak bisa dipatenkan karena tidak terkait dengan hak cipta seseorang.

Folklor yang sudah dicatat antara lain yang tersebar di Jawa Tengah (575 produk), Jawa Barat (312), Jawa Timur (201), Yogyakarta (196), Lampung (65), Riau (39), Sulawesi Selatan (27), Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan lainnya.

Berbeda dengan hak cipta

Menurut Andy, folklor memang berbeda dengan hak cipta. Hak cipta memberikan perlindungan kepada ciptaan yang diketahui penciptanya dan ada jangka waktu perlindungannya (seumur hidup ditambah 50 tahun setelah penciptanya meninggal). Sementara hak cipta folklor dikuasai oleh negara mengingat tidak diketahui siapa pencipta sesungguhnya. Penguasaan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari pemanfaatan secara berlebihan atau eksploitasi.

Secara terpisah, sejumlah aparat dinas kebudayaan di sejumlah daerah sedang menginventarisasi seni budaya yang ada di daerah.

”Petunjuk teknis dari pemerintah pusat untuk pendaftaran HKI (hak kekayaan intelektual) masih sangat minim, begitupun prosedurnya. Ketidakjelasan prosedur dan biaya menyebabkan banyak pelaku seni yang akhirnya bersikap masa bodoh,” kata Kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah Agus Dono Karmadi.

Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X meminta pemerintah pusat lebih serius dalam melindungi kekayaan seni budaya bangsa, antara lain dengan mempermudah proses hak kekayaan intelektual.

”Sekarang pemerintah mau tidak mempersingkat waktu. Saya sudah mengajukan HKI batik sejak lima tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum selesai,” kata Sultan.

DIY, menurut Sultan, sudah mendaftarkan 300 dari sekitar 1.500 desain batik gaya Yogyakarta. (ANA/SON/RWN/ART)

Sumber: Kompas, Selasa, 1 September 2009

No comments: