...Inilah sajakku//pamflet masa darurat/Apakah artinya kesenian/bila terpisah dari derita lingkungan/Apakah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan...//
Penggalan puisi WS Rendra berjudul ”Sajak Sepasang Lisong”, yang ditulis tahun 1978, tadi seolah menjelaskan seluruh kerja kesenian yang ditekuni lelaki berjuluk ”Si Burung Merak” ini sejak masih sangat belia.
Seni tidak berhenti pada bentuk estetika, tetapi ia menjadi seruan hati nurani yang berfungsi kritis, profetik. Seni, apa pun bentuknya, harus selalu berpikir kontekstual dan terlibat. Tidak hanya dalam puisi, karya drama pendiri Bengkel Teater Rendra ini juga menunjukkan kecenderungan serupa. Ia misalnya melahirkan SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, serta Perjuangan Suku Naga.
”Tidak berlebihan jika dikatakan pada sosok Rendra kesenian setiap kali berfungsi sebagai nurani peradaban. Orang menjadi merenung, berefleksi, atau becermin pada karya Rendra,” kata guru besar filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto.
Tak jarang prinsip berkesenian yang terlibat itu membawa konsekuensi pada Rendra dan kelompoknya. Saat mementaskan Mastodon di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1974, pementasannya diberangus rektor. Saat pementasan akan dipindahkan ke Institut Teknologi Bandung, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro bahkan merasa perlu berunding dengan Rendra.
Akibat pementasan dan aksi-aksi baca puisinya yang banyak menyuarakan hati nurani rakyat itu, 1 Mei 1978, Rendra dipanggil ke Komdak (Komando Daerah Kepolisian) Metro Jaya. ”Dan Mas Willy ditahan selama enam bulan,” tutur Edi Haryono, anggota Bengkel Teater Rendra.
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, waktu itu, tidak pernah menyangkal Rendra ditahan dengan tuduhan telah menyebarkan hasutan yang dapat menyebabkan orang lain berbuat melawan hukum.
Bukan politikus
Penangkapan dan pemberangusan pentas-pentas Rendra justru telah menempatkannya pada kutub ”oposisi” dengan pemerintahan Orde Baru.
Budayawan dan anggota awal Bengkel Teater Rendra saat bermarkas di Yogyakarta, Bakdi Soemanto, melihat posisi yang melawan kekuasaan itu membuat Rendra menjadi besar. ”Ia bukan politikus,” kata Bakdi.
Menurut Bakdi, Rendra menganggap seni bukan art, tetapi juga masalah bangsa, manusia, dan kehidupan. ”Ia sangat perhatian pada soal-soal hidup manusia, masyarakat, ketertindasan, dan ketersingkiran,” ujar Bakdi.
Pilihan pada jalan seni yang terlibat itu sebenarnya telah disadari Rendra ketika dilatih dan diajar ilmu kebatinan oleh pembantu rumah tangganya, Janadi. Penyair yang memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah RI tahun 1970 ini dilatih prinsip manjing ing kahanan (berada dalam konteks situasi sosial). Menurut bahasa Rendra sendiri, prinsip ini diterjemahkan sebagai semangat untuk hadir dan mengalir.
”Hadir itu berada di tengah masyarakat, mengalir mengikuti perkembangan. Hidup itu adalah universitas kehidupan bagi Rendra,” kata Bakdi.
Satu hal yang sebenarnya dirindukan Rendra adalah keseimbangan, adil, merdeka, punya banyak pilihan, membela kehidupan dan memiliki banyak harapan, serta tak ada penindasan.
Pekerjaan besar yang ”diwariskan” Rendra kepada kita adalah penyadaran harga diri bangsa, keberpihakan kepada hidup, keberanian, dan menolak menjadi koma.
Kini ”Si Burung Merak” itu terbaring abadi di tempat ia mengonkretkan cita-citanya membentuk komunitas yang berpikir bebas, disiplin, penuh kreativitas berpikir, dan sederhana.
Penyair Sitok Srengenge mengakui Bengkel Teater Rendra adalah universitas sejati, tempat ia belajar hidup. ”Kami diajar berani menghadapi hidup,” ujar Sitok.
Rendra kini boleh tiada, tetapi semangatnya tetap hidup. Di Bengkel Teater Rendra, misalnya, semalam masyarakat spontan bertahlil, sementara keluarga bertahlil di rumah putri Rendra, Clara Shinta, di Depok.
Karyanya mungkin tidak dinilai dari pentas ke pentas, tetapi pada kelahiran seniman dan intelektual yang kini mendorong gerbong kebudayaan kontemporer di mana kita hidup. (CAN/NMP/XAR/IAM)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment