Judul : The Journal of A Muslim Treveler
Penulis : Heru Susetyo
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 394 Hlm
INI bukan sekadar catatan plesiran. Ini adalah potret identitas kaum muslim di berbagai belahan dunia dengan segala kekhasannya. Melalui buku The Journal of A Muslim Traveler, Heru Susetyo menuliskan perjalanannya dengan sebuah pemahaman spiritual sekaligus senantiasa melibatkan profesionalitasnya sebagai praktisi hukum dan HAM. Saat ia singgah di sebuah kota, ia tak hanya menikmati kunjungannya sebagai pelancong, tetapi berusaha memahami kondisi sosial masyarakat setempat dengan segala permasalahannya.
Kisah-kisah di dalam buku ini sebenarnya tidak akan begitu asing bagi sebagian orang yang kerap mengikuti perkembangan dunia Islam. Sebab, catatan yang penulis suguhkan dalam buku ini relatif telah popular oleh pemberitaan dari berbagai media. Coba saja cermati, untuk kawasan Asia, penulis memberi perhatian yang cukup luas terhadap keberadaan masyarakat muslim Filipina. Daerah tersebut mencakup keberadaan Bangsa Moro yang berkonflik dengan pemerintah Filipina.
Begitu pula saat penulis menyoroti muslim di Thailand, Pattani. Konflik di Pattani ini juga sudah berlangsung cukup lama, yakni sejak masa kerajaan Siam membentuk tiga daerah; Pattani, Yala, dan Narathiwat, menjadi satu provinsi. Dan konflik di daerah perkampungan muslim melayu ini semakin memburuk pada pascatragedi 9/11, dengan adanya pemisahan tegas wilayah kependudukan antara warga muslim dan nonmuslim yang diawali dengan ratusan insiden berdarah.
Bila dikatakan buku ini sebagai catatan perjalanan, memang tak salah. Penulisnya mengalami perjalanan tersebut. Namun, bila buku ini dijadikan sebagai panduan perjalanan yang renyah dan menghibur, sepertinya sulit untuk diharapkan. Dari seluruh catatan yang ada, pembaca akan dibawa ke dalam hawa dan rasa prihatin akan nasib umat muslim yang ada di berbagai belahan dunia ini.
Begitu pun saat penulis memotret masyarakat yang hidup di dalam surga hiburan, Paman Sam. Penulis lebih menghadirkan getirnya kehidupan seorang muslim di negara sekuler tersebut, seperti: sulitnya mendengar kumandang azan dan lirihnya doa, sulitnya mendapatkan ke lapangan melakukan salat, dan perlakuan diskriminatif lainnya.
Sesungguhnya buku ini dapat lebih menarik. Bila penulis memosisikan diri dan mengambil sudut pandang sebagai warga muslim pribumi atau imigran yang telah lama berdomisili di daerah setempat, menuturkan kehidupan sosialnya sehari-hari dengan lugu, baik saat masa konflik maupun masa damai. Dengan begitu, meskipun tetap akan muncul nada kecaman terhadap ketidakadilan yang mengemuka. Suara yang terdengar akan lebih lirih. Tak terbebani dengan pesan ideologis, tetapi suara humanisme yang universal.
Hal ini pernah dilakukan Dina Y. Sulaeman dalam bukunya Pelangi di Atas Persia. Dalam bukunya itu, Dina tidak mengisahkan konflik antara sunni-syiah dan konflik politik yang terjadi di Iran. Melainkan hanya menuturkan realitas sosial masyarakat Iran yang cenderung belum diketahui masyarakat luas. Materi yang disampaikan Dina itu memang ringan, tapi penuh dengan pesan sosial dan budaya.
Sesungguhnya belum banyak buku-buku catatan perjalanan yang ditulis penulis lokal saat ini, yang memiliki kedalaman informasi budaya, penggalian kebiasaan sosial lahiriah dan batiniah, serta sejarah tradisi unik yang dimiliki daerah setempat. Buku-buku catatan perjalanan karya penulis lokal saat ini cenderung hanya bersifat panduan, ringan, dan praktis.
Buku ini lebih tepat dikatakan sebagai catatan refleksi seorang muslim "di luar kampung halaman spiritualnya". Seperti judulnya, The Journal of A Muslim Traveler, sesungguhnya buku ini ingin mengungkapkan kondisi masyarakat muslim minoritas dan masyarakat muslim di negara-negara sekuler. Catatan seperti ini senantiasa diharapkan dapat menjadi pemantik kepedulian seorang muslim terhadap agama dan nasib kaumnya.
Buku catatan perjalanan yang diikat dengan obsesi penyampaian pesan tertentu, biasanya cenderung menjadi terbatas pembacanya. Obsesi seperti ini pernah dilakukan Sigit Susanto dalam bukunya Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, yang telah terbit dua jilid. Dengan pemahaman sejarah sastra Sigit yang begitu baik, materi yang dituliskan dalam buku tersebut justru kental dengan informasi artefak kebudayaan dari para sastrawan. Dengan demikian, buku tersebut menjelma buku panduan wisata budaya bagi kalangan peminat sastra saja. Bukankah hal demikian sebuah pembatasan diri terhadap pembaca.
Namun demikian, sebagai sebuah dokumentasi dan pengingat kepedulian sosial kita kepada sesama muslim, buku The Journal of A Muslim Traveler ini patut dihargai. Tragedi kemanusiaan dan perlakuan diskriminatif yang menimpa kaum muslim di berbagai negara di dunia ini memang sudah semestinya menjadi tanggung jawab seorang muslim di mana pun ia berada. []
* Ratno Fadillah, pecinta buku, tinggal di Depok
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Agustus 2009
1 comment:
Salam Udo Z KArzi...
Saya sependapat dengan resensi buku ini...
Buku perjalanan katanya akan menjadi tren dua tahun ini. Walaupun buku sejenis sudah ada sejak dulu, seperti buku Gola Gong... atau lebih jadul lagi bukuny aiBnu Batutah (Rihlah).
Ternyata sudut pandang penulisan buku perjalanan tergantung darimana profesi, minat, ataupun kegemaran travelernya.
Marina K. Silva cenderung ingin kontemplatif dalam bukunya. Karena dia seorang anak muda yang mau mengajak kita mencari jati diri di dunia penuh aneka ragam manusia.
Sigit Susanto lebih sastrawan seperti Udo bilang... Saya sudah baca jilid 2. Jilid 1 baru saja ketemu di toko buku (berdebu dan kusam).hehehe
Saya ingin membaca buku Agustinus Wibisono, seorang traveler sekaligus blogger dan potografer yang perjalanannya banyak di Asia selatan dan Tengah.
Terima kasih...
Kunjungi juga blog saya untuk melihat resensi ini.
Post a Comment