-- Rose Emmaria Tarigan*
SEJAK ditayangkan, iklan Sekolah Gratis, Pasti Bisa sudah menuai berbagai kritikan dari elemen masyarakat. Iklan ini sangat gencar menjelang pemilihan legislatif April 2009 dan menjelang Mei 2009. Pertanyaannya, mengapa tidak pada saat menjelang pendaftaran sekolah iklan tersebut ditayangkan? Itu akan lebih efektif untuk menjangkau masyarakat bawah yang menjadi sasaran.
Pesan iklan biasanya disesuaikan dengan karakteristik konsumen yang akan dijadikan sasaran. Dari isi iklan tersebut jelas bahwa sasarannya adalah masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya atau masyarakat yang tingkat ekonominya lemah. Sekaitan dengan iklan tersebut, pemerintah sebagai pihak pengiklan, dalam hal ini Mendiknas, pasti menyadari betul kalau target atau sasaran jumlahnya cukup besar sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai sasaran iklan alias kampanye terselubung. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 32,53 juta atau 14,15% dari total jumlah penduduk, 230 juta jiwa.
Selain isinya, gempuran iklan tersebut dari segi frekuensi dan intensitas juga cukup tinggi. Per hari terdapat kurang lebih delapan slot dan ditayangkan di 11 stasiun televisi nasional. Iklan prime time mencapai Rp 30-an juta per satu slot (30 detik). Bisa dibayangkan jumlah rupiahnya berkisar miliaran dalam seminggu beriklan dan belasan miliar bila dihitung per bulannya. Jadi, logikanya, akan sangat berdampak positif kalau dana yang besar ini digunakan untuk perbaikan sekolah-sekolah yang sudah tidak layak pakai. Juga untuk beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu. Rakyat akan spontan memberikan apresiasi yang tinggi dengan mendukung capres incumbent untuk melanjutkan pemerintahannya.
Pelayanan
Kegiatan komunikasi lewat iklan yang dilakukan pihak pemerintah sejatinya untuk menyampaikan informasi, sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada rakyat. Sebagaimana fungsi iklan itu sendiri, yakni fungsi sosial untuk menggerakkan perilaku khalayak dan fungsi komunikasi, yakni memberikan penerangan dan informasi. Terlepas dari esensi iklan itu sendiri di mana pesannya wajib dikemas dengan menarik agar khalayak sasaran tertarik, pengiklan juga wajib mematuhi etika beriklan atau swakrama (self-regulation) yang sudah diserap oleh kebanyakan kode etik periklanan di mancanegara. Prinsip-prinsip ini, pertama, jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara. Kedua, sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Ketiga, mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat.
Kenyataannya, ada ketidaksetujuan dari banyak kalangan dengan isi iklan khususnya kata "gratis" yang dianggap sebagai pesan yang penuh dengan kebohongan alias tidak jujur.
Apalagi, target atau sasaran iklan tersebut jelas adalah masyarakat yang tidak mampu dan diyakini tidak akan banyak tanya tentang detilnya iklan tersebut. Mereka tidak tahu kalau yang digratiskan itu hanyalah SPP, sedangkan masih banyak lagi pungutan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional sekolah dengan biaya yang relatif besar. Betapa ironisnya, pemerintah seakan-akan tidak mengenal, bahkan mungkin tidak memiliki empati terhadap kondisi rakyatnya.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo ketika diwawancarai oleh reporter Metro TV terkait dengan iklan Sekolah Gratis tersebut, pengertian gratis bukan menurut rakyat, tetapi menurut pemerintah. Ini menjadi gambaran pemerintah suka bermain-main dengan penderitaan rakyat. Pemerintah mudah bersilat lidah demi mempertahankan citranya. Dalam hal ini jelas, kalau pemerintah yang diwakili oleh Mendiknas tidak dapat mempertanggungjawabkan isi iklan tersebut.
Apa yang kemudian terlihat dalam realitasnya adalah bahwa terbukti banyak warga yang terpengaruh dengan isi iklan tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian berpartisipasi dalam pemilu dan memilih kandidat yang diyakini akan menjadi penolong. Tetapi, pada saat pendaftaran sekolah dimulai semua menjadi kecewa dengan pilihannya. Janji yang manis tersebut hanya mimpi indah. Harapan mereka untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah pemerintah dengan gratis
tinggal harapan. Ternyata, iklan yang menyatakan sekolah gratis tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak orangtua terpaksa pulang dengan kecewa saat mendaftarkan anaknya.
Pelajaran
Kontroversi Iklan Sekolah Gratis, Pasti Bisa sebaiknya menjadi pelajaran penting, khususnya bagi pemerintah, agar jujur, berhati-hati, dan bijaksana dalam semua bentuk komunikasinya. Apalagi, sejauh ini pemerintah menyadari kalau iklan layanan masyarakat lebih banyak ditujukan kepada masyarakat bawah yang sumber informasinya terbatas. Terlebih ketika kegiatan komunikasi dilaksanakan pada momen-momen tertentu (pemilu) di mana sulit untuk memisahkan antara kepentingan rakyat, pemerintah, dan kelompok atau golongan. Sering harus ada yang menjadi korban. Dalam hal ini, rakyat kecil yang selalu menjadi korban. Iklan sekolah gratis ini telah membuat jutaan rakyat kecil tertipu. Ini disebabkan konten yang tidak menggunakan bahasa rakyat sehingga dapat membuat timbulnya kesalahan persepsi.
Membuat iklan yang efektif, biasanya, terikat pada prinsip-prinsip iklan yang dikenal dengan AIDA (attention, interest, desire, dan action). Kata "gratis" tentunya mejadi kata yang ampuh untuk menarik perhatian dan keinginan khalayak.
Bandingkan dengan iklan-iklan komersial lainnya, yang menggunakan kata-kata yang menarik dan mengusik perhatian. Maka iklan sekolah gratis menjadi sangat efektif bukan saja mempersuasi masyarakat, tetapi juga membentuk citra positif tentang pengiklan yang adalah pemerintah, yang berkuasa pada saat itu.
Seperti yang dikatakan Robert dalam bukunya The Nature of Communication Effects, "bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Alter Lippman (1965) menyebutnya pictures in our head". Jadi, citra positif akan terbentuk dalam benak khalayak tentang si sumber iklan yang tidak lain adalah pemerintah yang diwakili oleh mendiknas. Wujud perilakunya, selain akan mendaftarkan anaknya bersekolah juga akan mencontreng siapa yang ada di balik iklan tersebut.
Inilah yang menjadi persoalan penting. Agar lembaga pemerintah bisa dipercaya, maka kemasan iklan layanan masyarakat atau bentuk komunikasi lainnya sebaiknya menggunakan bahasa rakyat, yakni bahasa yang apa adanya. Sehingga, rakyat tidak merasa dibohongi ketika pesan yang diyakininya ternyata tidak sama dengan sumbernya.
* Rose Emmaria Tarigan, Dosen UPH
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 30 Juli 2009
1 comment:
Atau, sebenarnya iklan tersebut hanya digunakan untuk menaikkan pamor pemerintah sebelum pemilu?
Post a Comment