Sunday, August 31, 2008

Buku: Lepas dari Sergapan Klise

-- Anwar Holid*

STEVEN Taylor Goldberry, penulis ”The Writer’s Book of Wisdom”, menyatakan: sebuah buku yang punya kerangka cerita sangat menarik bisa sukses meski ia ditulis dengan buruk, plotnya jelek, dan karakternya mudah ditertawakan. Ujung-ujungnya, kata dia, isi tulisan lebih penting dibandingkan keterampilan.

/ Kompas Images

Kadang-kadang subyek sebuah cerita bisa saja klise karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini; tapi bila formulanya bikin pembaca terpana, berharaplah bahwa ia bakal sukses jadi cerita.

Kunci dari ramuan itu, menurut Harriet Smart, terletak pada pertanyaan: ”Bagaimana seandainya.” Misal dalam film Notting Hill: ”Bagaimana seandainya bintang Hollywood jatuh cinta pada pemilik toko buku bekas?”

Ketika Cinta Tak Mau Pergi, novel debut Nadhira Khalid melahirkan pertanyaan: Bagaimana seandainya seorang pemuda miskin jatuh cinta pada seorang gadis paling cantik dan kaya dari desa sebelah yang secara turun-temurun bermusuhan dengan desanya?

Boleh jadi pembaca langsung terbayang ”Romeo & Juliet” atau ”San Pek-Eng Tay”. Situasinya klise sekali. Tapi, Nadhira mengolah dengan lebih kompleks; alih-alih melahirkan tragedi percintaan semata, dia menghadirkan konflik kelas, pertarungan sosial, dan persoalan ekonomi-politik yang ruwet. Dengan setting di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara, Wawan Eko Yulianto menyatakan novel ini ”mengintip lebih jauh pada masyarakat Sasak”.

Masyarakat Sasak berjumlah lebih dari tiga juta orang, secara tradisional telah beragama Islam, namun kepercayaan terhadap mistik, sihir, dan mantra masih pekat. Meski menghormati guru ngaji, mereka percaya dukun mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan segala sesuatu, termasuk bisa dimintai guna-guna.

Nadhira bercerita tentang Lombok tahun 1970-an. Kisah dimulai dari Desa Presak Bat dan Presak Timuq, tempat orang Sasak waktu itu masih tradisional, miskin, bodoh, diabaikan pemerintahan, tanpa fasilitas umum, sementara aparat setempat korup dan suka suap.

Karena bodoh, penduduk tak tahu bahwa negeri mereka mengandung batu apung dan tambang lain yang bisa diolah sebagai sumber kesejahteraan. Yang mengetahui ialah perusahaan tambang di Jakarta. Menggunakan kaki tangan lokal dan aparat korup yang suka jatah preman, perusahaan berhasil mengadu domba warga dua desa yang awalnya rukun tenteram, meski serba kekurangan.

Warga berhasil dihasut bahwa tetangga mereka kerap mencuri satu sama lain, akibatnya tawuran antardesa pun pecah bertahun- tahun, membuat mereka bermusuhan dan terus saling curiga.

Yang celaka dari permusuhan itu ialah Sahnim dan Kertiaji. Dulu waktu kecil mereka main bareng dan rasa suka mereka tumbuh sejak masa cinta monyet. Sahnim tinggal di Presak Bat, sedangkan Kertiaji di Presak Timuq. Si gadis anak orang paling kaya desa itu, juga paling cantik; sementara si jejaka anak bangsawan yang sudah miskin dan kehilangan kekuasaan.

Meski saling cinta, Kertiaji diusir ketika hendak melamar Sahnim. Lebih parah, niatnya hendak meminang Sahnim malah menimbulkan perang desa. Kerusuhan membuatnya nekat menculik gadis itu, sekaligus hendak kawin lari.

Tapi sayang, upaya itu gagal karena Sahnim berhasil direbut kembali oleh ayahnya. Ayah Sahnim ingin dia menikah dengan lelaki kaya kalau bukan dari keluarga terhormat. Harapan itu tertambat pada Japa, musuh utama Kertiaji, pemuda perlente anak seorang anggota DPRD.

Perlu eksplorasi

Kasih tak sampai itu menyita hampir seluruh buku, bahkan ketika Kertiaji sekeluarga transmigrasi ke Sumbawa hendak memulai hidup baru karena ingin lepas dari kemiskinan. Cintanya pada Sahnim, kenangan, dan kegagalan menyunting gadis itu membuatnya tak betah ada di pulau seberang. Dia memutuskan kembali.

Menyesal, Sahnim kini sudah jadi istri Japa, meski dia didapat lewat guna-guna. Japa, di luar motif mengawini Sahnim, ternyata mau mencuri surat tanah berhektar-hektar milik mertuanya, yang nanti akan dia dagangkan pada ayahnya. Begitulah mereka berkolusi membebaskan tanah penduduk dua desa itu untuk perusahaan di Jakarta; sebagian dengan memalsukan surat tanah, sebagian dengan mengusir penduduk lewat program transmigrasi.

Sayang persoalan seserius itu tertimbun terus di balik drama Kertiaji merebut kembali Sahnim. Padahal gambaran kemelaratan di desa-desa kepulauan, keterbelakangan penduduk, ditambah ancaman malaria dan kejahatan sosial terencana, amat potensial diolah menjadi isu berjangkauan nasional. Intensitas penulis tampak bukan ke sana. Itu membuat persoalan kapitalisme jahat di sana jadi sekadar tempelan yang kehilangan ujung- pangkal di akhir buku, meski ketegangannya sudah ditonjolkan di awal.

Agaknya penulis kesulitan menjalin koherensi satu cerita dengan cerita lain sebagai alur yang utuh, berurutan, dan mempertahankan daya pikat. Memang butuh kemampuan dan persiapan lebih agar cerita terus mampu membetot kepenasaran pembaca.

Kasih tak sampai antara Sahnim dan Kertiaji bukan tipe kisah cinta yang mudah menguras air mata, melainkan pertanyaan, ”Kualitas apa yang membuat sepasang kekasih ini terasa begitu tergila- gila dan setia?” Apalagi Kertiaji juga bukan pria dengan karakter jagoan; dia mudah ragu dan lari dari tekanan yang menghadang. Karakternya bahkan kalah kuat dibandingkan adiknya, Ratmaji. Ratmajilah yang kerap menasihati dan memberi dorongan moral setiap kali Kertiaji bingung mau apa, dia pun amat setia sebagai saudara.

Mungkin, passion (pergolakan emosi) yang terasa kurang dalam novel ini. Soalnya Nadhira sudah berhasil menghadirkan detail setting, suasana sosial etnik Sasak, termasuk gesekan antara nilai Islam dan keyakinan setempat. Drama malapetaka sosial itu menanti eksplorasi penulis lebih lanjut di masa depan.

Dalam konteks industri buku, karena diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang selama ini diakui sukses membangun genre fiksi Islam ke tingkat maksimal, pilihan tema persoalan sosial seperti ini menandai peralihan orientasi yang segar dan patut dipuji. Ketika Cinta Tak Mau Pergi bisa lepas dari sergapan klise tipikal fiksi Islam. Novel ini menandai FLP yang berpandangan lebih luas, terbuka, mau menjelajah subyek baru, berhenti memperlihatkan unsur Islam secara permukaan dan naif.

Alih-alih mengadopsi bahasa atau budaya Arab secara berlebihan sebagaimana sering terjadi, penulis malah memasukkan banyak unsur bahasa dan budaya setempat, termasuk kesulitan lidah melafalkan ’f’ sebagaimana terjadi pada orang Sunda. Ini memperlihatkan upaya FLP merebut pangsa pembaca umum yang selama ini ditinggalkan dan memiliki resistensi tertentu terhadap produk mereka.

* Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Agustus 2008

Oase Budaya: Geliat dari Forum Lingkar Pena

-- Dwi Fitria

Bertopangkan nilai-nilai keagamaan, karya sastra tidak muncul sekadar seni dan hiburan.

DI tengah-tengah booming film-film horor yang marak membanjiri bioskop-bioskop di Tanah Air, muncul sebuah film fenomenal, Ayat-ayat Cinta (AAC) yang dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo. Film ini mengusung sesuatu yang berbeda dari tema horor yang banyak mewarnai film-film seangkatannya. AAC mengangkat tema islami. Kesuksesan film ini masih suatu anomali bagi banyak orang. Di luar semua itu, film itu sukses menyedot jutaan penonton.

Film itu sendiri diangkat dari novel laris karya Habiburahman El Shirazy, yang menjadi semakin laris setelah difilmkan. Per-Juni 2007 lalu, novel ini telah dicetak ulang hingga 24 kali. Kabar terakhir, novel Ayat-ayat Cinta telah terjual sebanyak 700 ribu kopi.

Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta Fahri, seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, dengan pilihan pelik yang ia hadapi ketika keadaan membuatnya harus berpoligami.

Habiburahman El Shirazy sendiri tergabung dalam Forum Lingkar Pena, sebuah forum yang mewadahi penulis-penulis yang sebagian besar punya latar belakang Islam. Habiburahman bukanlah satu-satunya eksponen yang punya nama besar dalam komunitas ini. Helvy Tiana Rosa, motor penggerak Lingkar Pena, dan Asma Nadia yang kini menjadi ketua FLP, adalah dua nama lain yang juga telah meninggalkan jejak tersendiri dalam khasanah Sastra Indonesia.

Pada 2005 lalu, cerpen Helvy, Jaring-Jaring Merah dinobatkan sebagai cerpen terbaik dalam sepuluh tahun terakhir oleh majalah sastra Horison. Helvy baru saja menerbitkan sebuah kumpulan cerpen berjudul Bukavu. Sementara Asma Nadia, kerap menulis buku-buku fiksi seperti Istana Kedua, maupun nonfiksi semisal serial La Tahzan yang laris di kalangan pembaca terutama para pembaca remaja. Forum Lingkar Pena yang berlatar belakang Islam, mau tidak mau kerap membuat keduanya diasosiasikan dengan karya-karya sastra Islam.

Mengolah nilai Islam

Keduanya tidak menolak bahwa karya-karya mereka kental mengusung nilai-nilai islami. Tapi ini tidak berarti bahwa karya yang lahir dari kedua penulis bersaudara itu berisi dakwah per-se dan berusaha dengan vulgar menggurui pembacanya.

“Dakwah pada dasarnya adalah mengajak kepada kebaikan. Tetapi tidak berarti bahwa menulis karya dengan mengangkat nilai-nilai islami akan terjebak menceramahi atau menggurui,” ujar Asma. “Jika biasanya kawan-kawan sastrawan lain berangkat membuat karya sebagai satu bentuk ungkapan kegelisahan, begitu juga dengan kami. Kami juga berangkat dari kegelisahan yang sama.

Asma memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan, hak asasi manusia, dan poligami. Kegelisahannya memandang realitas berhubungan dengan hal-hal ini mewarnai karya-karyanya. Yang membuat berbeda adalah, ia menggunakan kacamata Islam untuk memandang masalah ini dalam karya-karyanya.

“Islam adalah sebuah sistem yang integral. Jadi saat berbicara mengenai karya, sama seperti hal lain yang saya lakukan dalam hidup saya, karya haruslah mengandung nilai ibadah,” ujar Helvy. “Dakwah menurut Islam adalah sesuatu yang baik. Tapi sebagai penulis kita harus bisa membungkusnya dengan estetika sehingga tak serta-merta semata menjadi ceramah. Kuncinya ada pada bagaimana menyampaikan pesan tanpa berdakwah secara verbal. Dakwah itu harus dibungkus dengan estetika, teknik serta komposisi yang menarik,” ujar Helvy.

Baik Helvy maupun Asma sama-sama melihat nilai-nilai Islam sebagai nilai-nilai universal yang humanis. Ini bisa dilihat dari banyak pengarang di luar Islam yang baik secara sadar atau tak sadar mengangkat nilai-nilai Islam dalam karya-karya mereka.

“Sebetulnya harus dibedakan antara sastra Islam dan sastra islami, saya pernah menulis sebuah makalah tentang masalah ini, sastra Islam adalah sastra yang penulisnya memang beragama Islam, dan punya komitmen untuk menyebarkan nilai-nilai, versi ustad-ustadlah,” ujar Helvy.

Sementara sastra islami adalah sastra yang ditulis orang-orang non-Muslim, tapi amat terlihat bahwa nilai-nilai yang disampaikan oleh si pengarang bernuansa Islam. Helvy mengambil contoh Kahlil Gibran. “Ia bukan orang Islam, tapi karya-karyanya sangatlah islami,” ujar Helvy.

Hal ini bisa terjadi karena Islam mengandung muatan yang melintas batas-batas agama. “Berbicara Islam, sama juga artinya berbicara tentang peristiwa sosial, kemiskinan, juga hak asasi manusia,” kata Asma.

Tanggung jawab penulis

Baik Asma maupun Helvy, tidak terlalu ambil pusing soal label sastra Islam yang kerap dilekatkan kepada mereka. “Saya tidak pernah mempermasalahkan apakah karya saya dianggap karya islami atau Sufi, semua tergantung pada pandangan pembacanya,” kata Helvy.

Namun berbeda dengan banyak sastrawan lain yang menganggap bahwa ketika sebuah karya diterbitkan maka pengarangnya tak lagi berhak melakukan apa pun, Helvy mengambil sikap yang berseberangan.

“Pertanggungjawaban penulis tak berhenti sampai di situ. Amat penting bagi penulis untuk memahami bagaimana bukunya akan memberi makna kepada pembacanya. Misi saya adalah menulis buku yang bisa membawa pencerahan dan membuat pembacanya bergerak ke arah yang lebih baik, sehingga mereka menjadi makin baik setelah membacanya. Ada saja karya sastra yang entah mengapa berakibat buruk pada pembacanya, ada keinginan membunuh orang misalnya,” ujar Helvy.

Helvy mengambil contoh pembunuhan terhadap John Lennon. Mark David Chapman membunuh Lennon dengan menembaknya lima kali dari belakang pada 8 Desember 1980. Ketika ditangkap Chapman membawa-bawa buku The Catcher in The Rye karya J.D Salinger. Pembunuh Lennon ini menyatakan bahwa buku itu bisa menjelaskan perspektif dan motifnya melakukan pembunuhan.

“Seorang pengarang tidak bisa lepas tangan setelah buku dilempar ke pasar. Ia masih memiliki tanggung jawab sosial terhadap pembacanya,” kata Helvy.

Baik Asma maupun Helvy sama-sama mengatakan bahwa secara keseluruhan karya-karya mereka mendapatkan sambutan yang amat positif. Dan predikat sastra Islam yang kerap ditempelkan kepada karya-karya mereka tidak menyurutkan antusiasme pembaca.

“Respons yang diberikan kepada karya saya datang dari berbagai kalangan usia, juga berbagai kalangan masyarakat. Ada ibu-ibu berusia 55 tahun dan 65 tahun yang memberikan tanggapan kepada buku saya. Selain itu saya juga mendapatkan respons dari pembaca beragama lain,” ujar Asma Nadia.

Helvy memulai karier kepenulisannya di majalah Annida, dan ia tidak menampik bahwa sebagian besar pembacanya berasal dari kalangan Muslim, sebab memang pembaca beragama Islamlah yang menjadi sasaran konsumen majalah tersebut.

“Tapi ini tak berarti pembaca karya saya terbatas di kalangan Muslim saja. Ada karya-karya saya yang sudah diterjemahkan ke bahasa-bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Swedia. Mungkin ini berarti karya saya juga bisa diterima oleh kalangan di luar Islam,” kata Helvy.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

Oase Budaya: Formalisme dan Simbolisme

-- Theresia Purbandini

BEN Sohib, penulis buku The Da Peci Code, mengatakan prosa Islami karya Hamka dan AA Navis mengandung nilai-nilai luhur, moral, etika yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun sebuah prosa bernapaskan Islam tak melulu hanya berisikan ajaran agama Islam secara simbolik. Selama mengandung nilai-nilai yang sepaham dengan ajaran Islam, maka sebuah prosa dapat saja dikatakan prosa islami.

Menurut Ben, Robohnya Surau Kami karya AA Navis mengandung nilai kemanusiaan yang kuat. Meperlihatkan hubungan antara sesama yang bersifat universal. Di dalam cerita, integritas seseorang yang akhirnya memutuskan bunuh diri dipersoalkan; ketika seorang alim yang taat beribadah bunuh diri, karena lalai dalam kehidupan duniawinya. Melalui prosa ini, kompleksitas moral disampaikan melalui metafora.

Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan dan redaktur di sebuah koran nasional mengatakan, prosa islami lebih bersifat substansial, tidak banyak menceritakan adegan formal keagamaan namun mengedepankan nilai-nilai Islam. ”Melalui tema dan cara penyajiannya yang eksploratif, dapat dibedakan prosa mana yang disebut prosa islami. Nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran agama Islam seperti kasih sayang, keadilan, kemanusiaan, merupakan pendekatan nonformal prosa-prosa islami,” paparnya.

Hal ini didukung oleh Jamal D Rahman, seorang sastrawan kelahiran Madura. “Karya-karya sastra yang banyak menggali nilai-nilai keislaman seperti budaya, tradisi, ajaran dan norma-norma yang sepaham dengan Islam dapat juga dikategorikan sebagai prosa islami secara simbolik.” Menurutnya lagi, nilai-nilai Islam tak hanya dapat didekati secara formal, juga simbolis. Muncul sebagai nilai-nilai yang secara umum mencerminkan spirit Islam. Secara substansial ia mengacu pada nilai-nilai Islam yang lebih abstrak.

Berangkat dari pemahaman sastra Islam melalui dua macam pendekatan. Formal, di mana pengungkapan jalan cerita dengan syariat-syariat agama Islam, nama-nama, bahasa, latar belakang budaya dan sebagainya. Juga pendekatan simbolik dan universal, menceritakan sisi lain kehidupan yang secara implisit mencerminkan ajaran dan nilai-nilai yang berhubungan dengan agama Islam.

Dari pergulatan kedaerahan

Bila ditelusuri ke masa silam, kebudayaan Melayu sangat berpengaruh terhadap kesinambungan perkembangan sastra islami di Indonesia. Sempat terjadinya pergeseran tematik ini sekitar abad ke-17 hingga ke-18. Tema yang sangat kuat mengalir menurut Jamal adalah ajaran tasawuf. Sastra sufistik yang dimunculkan oleh sastrawan seperti, Syeikh Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Haji Hasan Mustafa dan masih banyak lainnya.

Kemudian berkembang pada abad ke-20 hingga tahun 1940-an, tema keislaman yang muncul seputar pergulatan dengan kedaerahan. Jamal mengungkapkan, ”Pergumulan Islam dengan tradisi lokal yang diperlihatkan melalui karya Hamka dan AA Navis, di mana persoalan keislaman di tengah-tengah masyarakat lokal tidak berjalan seimbang. Sehingga muncul ketegangan yang memisahkan dua aliran yakni, Islam Murni dengan Islam Kedaerahan -- yang diadaptasi dari tradisi lokal,” katanya.

Belakangan ketegangan Islam antara dua kubu yang saling tarik menarik ini mulai ditinggalkan dalam sastra muktahir, sehingga mulailah hadirnya kecenderungan Islam secara formalistik yang lebih menonjol.

Beberapa kecenderungan secara formal lahir melalui karya sastra angkatan muda, diperkuat oleh fenomena Forum Lingkar Pena, seperti Habiburahman dengan karyanya Ayat-ayat Cinta (AAC) yang fenomenal hingga diangkat ke layar lebar dan menembus lebih dari tiga juta penonton yang ingin menyaksikan Fahri berpoligami.

Habibburahman atau biasa dipanggil Kang Abik hingga kini telah melahirkan enam novel. Selain Ayat-ayat Cinta, ia juga sudah menelurkan buku: Ketika Cinta Berbuah Surga, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1, Nyanyian Cinta, Ketika Derita Mengabadikan Cinta.

“Habibburahman berhasil menggambarkan latar sosial-budaya Timur Tengah dengan memandang pergaulan tokohnya secara islami dengan pendekatan secara formal, namun tetap menghadirkan konflik di dalamnya dengan perbedaan pandangan dengan agama lain antartokoh Islam sendiri serta dibumbui dengan cinta secara islami pula," ungkap Ahmadun.

Pendekatan secara Islami dalam kisah AAC menurut Ahmadun, diceritakan melalui gaya berpacaran tidak secara vulgar tapi dengan ta’aruf, sebatas perkenalan antardua orang, saling memahami dan menyemangati masing-masing pihak hingga terjadi penyesuian diri menuju jenjang pernikahan.

Mengadaptasi perkembangan zaman

Senada dengan yang dungkapkan Ben Sohib, AAC dianggap sebagai novel islami yang kental dengan mengadaptasi perkembangan semangat zaman. Bisa dikatakan hal ini merupakan suatu strategi cara bertahan. Salah satu segmentasi pembaca sastra islami-remaja, dianggap dapat diidentifikasi sebagai salah satu target yang mengikuti arus perkembangan budaya yang pesat.

Jamal berpendapat, karya Habiburahman menjawab tema sastra remaja yang dapat diangkat secara menarik dan bisa dikaitkan dengan Islam. Hal ini dibuktikan dengan lanjutan gelombang fenomena jilbab yang sempat marak sekitar tahun 80-an.

Tak hanya Habiburachman yang membidik segmen remaja, karya-karya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia sebagai komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) juga mendapat tempat dihati para pembaca sastra Islam.

Diakui oleh para sastrawan ini, Helvy memiliki nilai kelas kesusastraan lebih tinggi daripada Ayat-ayat Cinta, karena ia juga membicarakan masalah relatif berat, misalnya penindasan, pergulatan sosial, peperangan, kewanitaan, tidak terlalu formalistik namun secara implisit, walaupun tak mengacu secara langsung terhadap Islam.

Agak sedikit berbeda dengan Asma Nadia yang cenderung lebih ringan (pop), yang lebih menarik untuk kalangan remaja. “Novel Asma merupakan novel fiksi pop islami, yang romantis namun disajikan dengan pendekatan secara Islam,” kata Ahmadun.

Lebih jauh menurut Jamal, “Kecenderungan penulis seperti Gus tf Sakai, Agus R Sarjono dan beberapa penulis lainnya yang tak pernah menyebut bahwa karya mereka islami, tapi justru kaya akan nilai-nilai Islam yang lebih substansial. Sayangnya kita terjebak dalam fenomena formal ketimbang simbolik,” jelasnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

Oase Budaya: Surau

-- Arie MP Tamba

PROSA Indonesia menjadi ruang penelitian yang kaya dan mengasyikkan, tentang betapa besarnya pengaruh surau di dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Surau adalah sebuah tempat bersembahyang lima waktu (kecuali sholat Jum’at) umat Islam, yang lebih kecil dari masjid. Di pedesaan, keberadaan Surau demikian akrab dengan penduduk, karena di sana juga biasanya diadakan pengajian.

Adalah Kuntowijoyo, melalui cerpennya Sepotong Kayu untuk Tuhan (Horison, 1972), yang memperlihatkan secara eksplisit, bagaimana persoalan religiositas, agama, dan mistisisme disoroti di dalam jalinan kisah yang enak dibaca. Seorang lelaki tua ingin menyumbang kayu nangka (kayu bangunan yang paling mulia bagi orang Jawa) dari kebunnya untuk pembangunan sebuah surau di desanya.

Tapi si tokoh cerita bentukan Kuntowijoyo, demikian rendah hati, dan merasa malu bila sumbangannya untuk pembangunan rumah ibadah itu diketahui orang lain. Maka, ia pun sengaja menghanyutkan kayu itu malam-malam, melalui sungai yang akan melewati samping masjid. Diperkirakan, kayu itu nanti akan tersangkut di antara rimbunan semak tepi sungai di dekat masjid. Lalu, orang-orang desa pun akan menemukan kayu nangka itu dengan gembira dan bersyukur kepada Tuhan, karena mengirimkan gelondongan kayu yang sangat mereka butuhkan.

Dari sinilah religiositas sang tokoh dijabarkan secara samar namun matang. Religio berasal dari istilah Latin relego, yang berarti: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan di kedalaman hati nurani. Sementara secara umum diartikan, manusia religios dengan aman dapat diartikan sebagai manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam pertimbangan bathin. Jadi yang digarisbawahi adalah sebuah kualifikasi moral dan etik, yang diproyeksikan maksimal, bahkan sempurna; tanpa mempersoalan ia menganut agama yang mana (Mangunwijaya, 1982).

Sikap rendah hati si tokoh cerita dalam cerpen Kunto misalnya, bisa juga dipahami melalui pendekatan Kristiani yang menegaskan, ”apa yang kamu dermakan dengan tangan kirimu, kiranya janganlah diketahui tangan kananmu. Niscaya apa yang kau sumbangkan tetap tersembunyi, hanya diketahui oleh Tuhan.” Pilihan sikap pemberi seperti ini, tentu saja membutuhkan pertaruhan ketulusan penyerahan yang luar biasa. Setitik kesombongan pun harus dimusnahkan dari dalam hati.

Tapi, alam ternyata tak selalu bisa dibaca, dan suratan nasib tak bisa ditentukan. Di dalam kenyataan, dan juga di dalam fiksi, kejutan lazim terjadi. Apa yang sudah kita perkirakan secara ketat di dalam perencanaan hidup, hasilnya sering kali muncul berupa sesuatu yang lain. Acap kali, kita menjalani kenyataan hari ini, lari dari perkiraan kemarin. Lain sama sekali. Impian seperti rubuh tak berarti di atas kenyataan yang berbeda.

Pada malam pengiriman kayu nangka itu, terjadi hujan lebat dan kemudian diikuti oleh banjir. Di luar kelaziman selama berpuluh tahun, desa di tepi sungai itu pun kebanjiran. Dan tentu saja, kayu nangka kiriman si orangtua untuk pembangunan surau, hanyut entah ke mana. Desa itu seperti dilahirkan dengan persoalan baru: menunggu surutnya banjir, dengan bahan bangunan surau yang masih harus dicari.

Tapi si orangtua ternyata tidak merasa sedih karena kehilangan kayu nangkanya. Sebab, sebagaimana digambarkan Kuntowijoyo secara cemerlang dan mengharukan, di ujung cerpennya, terdengarlah gumam lirih, ”Telah sampai kepada-Mu-kah Tuhan?” kata lelaki tua itu tersenyum.

Dengan teknik penceritaan yang lebih di permukaan, namun tetap sarat renungan tentang makna agama dan fungsionalisasi surau di pedesaan, AA Navis pernah menuliskan sebuah cerpen yang kemudian mendapat sambutan diskusi para penggemar sastra, yakni Robohnya Surau Kami (Kisah, 1955).

Di dalam cerpen tersebut, AA Navis mempertemukan orang-orang yang bersalah dengan Tuhan dan menjadi pembicaraan ramai di kalangan agama. Di dalam ceritanya, Navis juga menyusun sebuah kisah dialog yang intens antara Tuhan dengan seorang haji bernama Saleh. Haji Saleh yang yang telah merasa cukup beribadah di surau itu, ternyata dimasukkan Tuhan ke neraka, karena kurang berbuat amal praktis di dalam hidupnya. Sebab, apalah arti agama bila tidak memuat kemanusiaan?

Tema religiositas memang melekat dengan kepengarangan Navis. Umar Junus di majalah sastra Horison (1972), pernah menyebut ”Navis dalam Dua Muka”, menyangkut isi kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dengan Datangnya dan Perginya, dalam hubungannya dengan novel Kemarau yang merupakan ’gabungan’ persoalan dari kedua cerpen tersebut.

Ibadat harus disertai dengan pengolahan kehidupan. Itulah yang ditonjolkan cerpen Robohnya Surau Kami dan Datangnya dan Perginya. Sementara, dalam novel Kemarau, Navis seperti muncul dengan formalisme agama yang tertutup – sementara hal itu dibiarkan terbuka – dalam cerpen Datangnya dan Perginya.

Dalam Datangnya dan Perginya, dua kakak beradik yang tidak mengetahui sama sekali hubungan darah mereka, terlanjur jatuh cinta, menikah, dan dibiarkan hidup berbahagia oleh si pengarang. Orang-orang yang mengetahui persaudaraan itu, menutup mulut hingga akhir kisah.

Sementara di dalam Kemarau, dua kakak beradik yang terlanjur menikah, setengah mengetahui hubungan bersaudara mereka, kemudian memutuskan bercerai. Lalu, si pengarang membuka peluang bagi masing-masing tokoh memulai kembali hidup baru dengan rumah tangga masing-masing. Dan tentu saja, semua tokoh Navis itu, sedikit banyak bersinggungan dengan surau di tempat mereka.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

Oase Budaya: Berdakwah Tanpa Mengajari

-- Grathia Pitaloka

WACANA mengenai sastra Islami di Indonesia kembali bergaung ketika novel Ayat-ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy disebut sebagai novel terlaris. Tak lama kemudian menjamur karya-karya serupa yang mengusung bendera sastra Islami.

Tema Tuhan dan religiositas Islami bukan lagu baru dalam ranah sastra tanah air. Sejak lama tema tersebut telah jadi bagian dalam perkembangan sastra di Indonesia. Meski tak secara eksplisit menasbihkan diri sebagai sastra Islami, namun tak dapat dipungkiri sastra pencerahan yang diusung Danarto, sastra profetik oleh Kuntowijoyo, sastra sufistik oleh Abdul Hadi WM serta sastra transenden oleh Sutardji Calzoum Bachri merupakan sari pati dari sastra Islami.

Berbicara mengenai sastra Islami tak genap rasanya jika tak menyebut karya-karya Haji Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Hamka. Karya sastrawan kelahiran Danau Maninjau, 16 Febuari 1908 ini memang dikenal sarat akan nilai-nilai Islami.

Hal itu tak lepas dari kehidupan masa kecilnya yang tumbuh di lingkungan ulama. Hamka juga sempat menimba ilmu kepada tokoh pergerakan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin.

Selain menekuni dunia tulis menulis, Hamka muda juga aktif dalam organisasi pergerakan Islam. Ia merupakan pendiri Majelis Tabligh Muhammadiyah Padangpanjang. Pergerakan menjadi dunia yang Hamka geluti hingga akhir hayatnya.

Dari 118 buah pena yang dihasilkannya semasa hidup, Di Bawah Lindungah Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan dua novel yang mendapat sambutan paling meriah.

Bisa dibayangkan pada 2005 novel Di Bawah Lindungah Kabah telah dicetak ulang sebanyak 30 kali, tak jauh beda dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang telah dicetak ulang sebanyak 29 kali.

Secara implisit

Dalam novel Di Bawah Lindungah Kabah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka meracik nilai-nilai keislaman secara implisit. Jangankan kutipan ayat suci Al-quran, penyebutan kata Islam pun dapat dihitung dengan jari. "Hamka memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam juga tertarik untuk menikmatinya," kata kritikus sastra Jakob Sumardjo kepada Jurnal Nasional, Selasa (26/8).

Jakob mengatakan, Hamka dalam karya-karyanya mengajak para pembaca untuk berpikir serta merenung mengenai konsep Islam. "Hamka lebih mengutamakan substansi keislaman ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit," ujar Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini.

Panasnya situasi politik Orde Lama juga berpengaruh pada karier penulisan Hamka. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sempat dituding sebagai plagiat dari roman sastrawan Prancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi.

Bahkan sejak 5 Oktober 1962, lembaran kebudayaan Lentera pada harian Bintang Timur, yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer dan S. Rukiah, secara bersambung menurunkan tulisan berjudul "Aku Mendakwa Hamka Plagiat!".

Pro dan kontra menyelimuti polemik tersebut, Jika Lekra cenderung memojokkan Hamka maka HB Jassin serta para budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) malah memberikan dukungan.

Sastrawan Minang Haris Effendi Thahar mengatakan, novel karya Hamka memang memiliki kemiripan alur dengan karya Alphonse Karr, namun jika dibandingkan substansinya, keduanya jauh berbeda. "Novel yang ditulis Hamka sangat kental nuansa Minangnya. Mungkin memang Hamka pernah membaca novel tersebut dan ia terinspirasi," kata Haris.

Penyajian serupa juga dapat dinikmati dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami buah karya Ali Akbar Navis. "Hingga saat ini belum ada cerita bertema agama sebaik karya Navis," kata Sastrawan Darman Moenir kepada Jurnal Nasional, Rabu (27/8).

Robohnya Surau Kami bercerita tentang seorang kakek penjaga Surau yang meninggal dengan menggorok lehernya sendiri karena merasa tersindir oleh cerita Ajo Sidi. Kepada si kakek, Ajo Sidi bercerita mengenai Haji Soleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid.

Sama seperti kakek penjaga surau, Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan dengan tekun.Tapi, saat "hari keputusan", hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka.

Haji Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana mungkin Tuhan alpa, maka dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, "kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang."

Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

Menurut Jakob, Navis berusaha mengajak pembaca untuk keluar dari pemahaman tradisional, di mana agama hanya sekadar menjalankan ibadah. "Selain menjalankan hukum-hukum wajib, umat Islam juga tidak boleh melupakan kewajiban sosialnya," kata Jakob.

Senada dengan Jakob, Haris juga berpendapat karya seperti Navis-lah yang dapat disebut sebagai sastra Islami yang sesungguhnya. "Nilai-nilai Islam dalam cerita tersebut terlihat secara aplikatif," ujar Haris.

Sementara Darman melihat, Robohnya Surau Kami sebagai bentuk gugatan Navis terhadap masyarakat di zamannya yang memaknai ibadah semata-mata demi keselamatan diri sendiri di akhirat, tanpa memikirkan hak-hak orang lain. "Keikhlasan beribadah merupakan kesadaran paling dalam untuk mengukur kualitas keimanan seseorang," kata Darman.

Robohnya Surau Kami juga dapat diterjemahkan secara metaforikal terjadinya degradasi institusi keagamaan akibat perubahan sosial. Agama dianggap tak dapat lagi memecahkan persoalan-persoalan riil dalam masyarakat.

Darman mengatakan, Navis menggunakan cerita pendek sebagai media untuk mengkritik masyarakat. "Sastra merupakan cermin untuk melihat kondisi dalam segala rupa dan manifestasi," ujar Darman.

Berbagai perspektif

Menurut Jakob, Navis mendidik pembacanya dengan taburan metafora dalam tulisannya. Ia mengajak para pembacanya untuk melihat segala sesuatu dari berbagai perspektif. "Hidup begitu kompleks untuk dipahami secara literal dan superfisial," kata Jakob.

Selain karya Navis dan Hamka, ada beberapa karya sastra yang kental dengan nuansa Islami meski mereka tak pernah menasbihkan diri sebagai sastra Islam. Misalnya saja, Djamil Suherman yang menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963). Novel tersebut berkisah tentang perjalanan seorang guru di alam barzah yang lantaran kejujurannya, masuk surga, dan istrinya--karena bunuh diri--terlunta-lunta di akherat.

Sebelumnya ada karya Muhammad Ali yang berjudul Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi novel tersebut tidak dikategorikan sebagai sastra Islami.

Sejumlah karya lain juga sarat akan muatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan, sejumlah cerpen kedua sastrawan itu jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi.

Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985) juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen Danarto yang berjudul Lempengen-lempengen Cahaya. Di sana, Danarto menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya.

Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini, Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan lainnya pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas. Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu.

Jika para sastrawan terdahulu lebih memilih menyajikan nilai-nilai Islam secara implisit, tidak untuk generasi setelah reformasi. Mereka tampak lebih "berani" menyajikan Islam dalam tulisan, bahkan tak segan mengutip ayat Al-quran.

Seperti kupu-kupu mereka tampak bangga dengan embel-embel sastra Islam yang tersemat, laksana sayap. Tak seperti generasi sebelumnya mereka lebih tertarik berbicara mengenai hukum-hukum Islam secara blak-blakan.

Pengkotak-kotakan sastra Islami dan non-Islami tersebut, menurut Haris sebenarnya malah merugikan penulis sendiri. "Sebenarnya mereka telah lari dari konsep sastra yang seharusnya bersifat universal," kata Haris.

Kurangnya pendalaman dalam tulisan juga dipermasalahkan Darman sebagai kekurangan penulis yang mengusung label sastra Islam. "Tidak ada pembaharuan dalam penyampaian, mereka serta merta mencantumkan ayat Al-quran. Kenapa mereka tidak menulis dalam bentuk kitab saja?" ujar Darman mengkritik.

Penulis pengusung gerakan sastra Islami saat ini juga dianggap kurang kritis serta kurang peka terhadap gejala sosial di sekitarnya. Mereka cenderung mengangkat hal-hal yang tidak bersentuhan langsung dengan umat. "Padahal masalah yang dihadapi umat muslim sekarang bertumpuk," kata Darman.

Jakob mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan perubahan cara bertutur dalam sastra Islami adalah perkembangan masyarakat sendiri. "Sekarang cara eksplisit yang lebih manjur ke umat, karena banyak yang membutuhkan tulisan mengenai hukum Islam. Buktinya Ayat-ayat Cinta dicetak hingga berkali-kali," kata Jakob.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

Saturday, August 30, 2008

Rumah Puisi Taufiq Ismail

-- Soni Farid Maulana/PR

KESUNGGUHAN penyair Taufiq Ismail menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra di kalangan anak-anak sekolah, dalam hal ini di kalangan anak-anak SMA lewat program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) serta program Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) untuk guru bahasa dan sastra Indonesia tidak diragukan lagi. Program tersebut sejak diluncurkan hingga kini sudah berjalan selama 10 tahun.

"Apa yang dilakukan oleh Taufiq patut kita dukung. Hasilnya bukan untuk siapa-siapa selain untuk kita dan bangsa kita di masa mendatang," ujar novelis Putu Wijaya yang juga dikenal sebagai teaterawan dalam percakapannya dengan "PR" di sela-sela acara Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-anak se-Indonesia di Istana Cipanas Cianjur, Minggu (24/8). Acara tersebut digelar Depdiknas bekerja sama dengan Depdikbud, memperebutkan hadiah dan piala dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kesungguhan Taufiq lewat program yang digelar bersama majalah sastra Horison dan lembaga-lembaga terkait sejak 1998 hingga 2008 ini, memang pantas diacungi jempol, mengingat dalam upaya itu, Taufiq tak tanggung-tanggung mengucurkan sejumlah dana dari koceknya sendiri untuk membangun Rumah Puisi di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Lokasi tersebut berada di pertemuan kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi.

"Uang yang saya kucurkan untuk membangun Rumah Puisi itu saya dapat dari hadiah sastra Habibie Award 2007 senilai 25.000 dolar AS yang setelah dipotong pajak saya terima Rp 200 juta," ujar Taufiq Ismail dalam percakapannya dengan "PR" di tempat yang sama.

Hadiah tersebut diterima Taufiq karena ia dinilai sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang tiada putus-putusnya menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra Indonesia di kalangan anak-anak sekolah dan guru.

**

TUJUAN dibangunnya Rumah Puisi, menurut Taufiq, bukan untuk menjadikan siswa dan guru menjadi penyair, novelis, atau dramawan. Akan tetapi, untuk meningkatkan kemampuan siswa dan guru dalam budaya baca buku dan budaya tulis-menulis.

"Kita bisa menyaksikan saat ini begitu banyak siswa yang kerepotan jika disuruh menulis, apalagi ketika ia jadi mahasiswa harus menulis skripsi atau tesis," kata Taufiq sambil menambahkan bahwa kecintaan membaca karya sastra merupakan awal kecintaan seseorang untuk membaca buku lainnya. Hal itu bisa menambah wawasannya dalam berbagai bidang kehidupan. Jika seseorang sudah demikian gandrung membaca buku maka pada sisi yang lain ia akan segera melirik dunia tulis-menulis untuk mengekspresikan hasil bacaannya.

"Bangsa yang kaya dengan buku yang ditulis oleh anak-anak bangsa tersebut adalah bangsa yang gemar membaca buku. Majunya sebuah bangsa dalam berbagai bidang keilmuan antara lain bersumber dari pesatnya budaya baca. Jadi, sasaran saya ke depan lewat Rumah Puisi adalah ini," tutur Taufiq yang terkenal dengan buku puisi Benteng dan Tirani.

Kedua buku puisinya itu merupakan kesaksian Taufiq atas situasi sosial politik yang terjadi pada 1966 lalu, saat rezim Orde Lama terguling dari kursi kekuasaan yang didudukinya, yang antara lain disebabkan meletusnya G-30-S PKI, selain disebabkan oleh naiknya harga-harga dan maraknya tindak pidana korupsi.

Rumah Puisi yang diharapkan selesai pada 2009 akan dijadikan tempat pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia dalam meningkatkan pemahamannya terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta meningkatkan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis. Tempat itu juga bisa dipakai untuk tempat SBSB, acara-acara pertemuan sastra, dan acara-acara lainnya. Tempat tersebut akan dilengkapi perpustakaan yang tidak hanya diisi buku-buku dari dalam negeri, tetapi juga berbagai buku terbitan luar negeri, baik karya sastra, agama, maupun buku-buku lainnya.

Digagasnya Rumah Puisi sebagai pusat pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia antara lain berdasarkan pengalamannya selama ini bersama majalah sastra Horison dan pihak-pihak terkait yang sejak 1998 lalu hingga 2008 menyelenggarakan MMAS dan SBSB. Hingga kini lebih dari 2.000 guru yang ikut MMAS se-Indonesia yang digelar selama enam hari di 12 kota dengan tim terdiri atas 113 sastrawan dan 11 aktor-aktris yang masuk ke 213 SMA/SMA/MAN. Sedangkan untuk SBSB digelar di 164 kota yang terletak di 31 provinsi.

"Hasil dari digelarnya acara tersebut antara lain bisa dilihat lewat rubrik Kaki Langit, sisipan majalah sastra Horison. Sebagian besar halaman tersebut diisi siswa dan guru. Selain itu, ada juga rubrik yang secara rutin memperkenalkan apa-siapa sastrawan Indonesia berikut karya-karya yang dikreasinya selama ini," kata Taufiq.

**

BEGITULAH, penyair Taufiq Ismail hadir ke hadapan kita saat ini, dengan visi dan misi yang layak didukung semua pihak. Di masa mendatang apa yang dibangun Taufiq Ismail tidak hanya milik keluarga Taufiq Ismail, tetapi akan menjadi aset bangsa dan negara ini yang tak terkira nilainya dalam dunia pendidikan nonformal.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 30 Agustus 2008

Sejarah: Ratusan Benteng Bersejarah Ditelantarkan

JAKARTA, KOMPAS - Banyak benteng bersejarah di Indonesia tidak hanya belum terdata, tetapi juga belum dimanfaatkan. Permasalahan benteng tidak hanya fisik, tetapi juga sosial-ekonomi. Di balik fisik benteng yang sebagian sudah hancur dan rusak, sebenarnya memuat nilai-nilai penting yang perlu dilestarikan.

Hasil penelitian dari 170 benteng di kawasan Indonesia timur dipamerkan di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (29/8). Penelitian itu merupakan kerja sama Pusat Dokumentasi Arsitektur dengan Passchier, konsultan arsitek, serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Demikian benang merah yang mengemuka dalam seminar ”Masa Lalu dan Masa Depan 300 Benteng di Indonesia”, Jumat (29/8) di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Seminar menghadirkan pembicara kunci Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, ahli arkeologi dari Universitas Indonesia Mundardjito, ahli sejarah dan arkeologi Belanda Hans Bonke, planolog Bambang Eryudhawan dan Endy Subijono, arsitek konservasi Belanda Cor Passchier, serta pemerhati pelestarian dan pengembang ekoturism Ella Ubaidi.

Hari Untoro Dradjat mengatakan, ada 274 benteng di Indonesia dan sekitar 170 di antaranya berada di Indonesia bagian timur.

Bambang Eryudhawan yang meneliti tentang konsep pemanfaatan benteng di Indonesia timur mengungkapkan, pembangunan benteng erat kaitannya dengan potensi Indonesia timur pada masa lalu sebagai penghasil rempah-rempah. Benteng Oranje yang didirikan di Ternate tahun 1607 dan Benteng Victoria di Ambon tahun 1605 oleh kongsi dagang Belanda VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) adalah untuk menguasai dan mengendalikan perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk dijual langsung ke Eropa.

”Pertumbuhan ekonomi Indonesia timur yang tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatan benteng-benteng kuno bernilai sejarah,” paparnya.

Mundardjito yang meneliti benteng-benteng dengan cara pandang arkeologi mengatakan, peneliti benteng perlu mengumpulkan data mengenai bentuk denah dan tampak bangunan beserta ukuran-ukurannya. Jika sebagian bangunannya hancur, arkeolog harus melakukan ekskavasi untuk mengetahui secara pasti bentuk denah bangunan dan ukurannya.

Menurut Mundardjito, penelitian mengenai benteng-benteng di Indonesia merupakan medan pertemuan setidak-tidaknya antara para arsitek, sejarawan, dan arkeolog. Sudah tentu para ilmuwan dari bidang lain dapat bergabung, seperti sosiolog, antropolog, ekonom, dan bidang ilmu lainnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008

Arkeologi: Ditemukan, Fosil Kepala Hewan dari Famili Bovidae

Sragen, Kompas - Fosil kepala hewan dari famili Bovidae ditemukan di belakang rumah seorang warga saat menggali lubang untuk tempat pembuangan kotoran atau septic tank di Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Bovidae meliputi hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau, banteng, dan lainnya.

Fosil hewan yang diperkirakan kerbau itu ditemukan di kedalaman dua meter oleh seorang pekerja, Supratikto (40), saat menggali tanah. Oleh pemilik rumah, Sukamdi (45), temuan ini dilaporkan ke Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

”Sebenarnya ada beberapa tulang rusuk yang juga ditemukan, tetapi kondisinya hancur kena gempuran alat karena kekurangtahuan masyarakat tentang fosil,” ujar Gunawan, konservator dari Laboratorium Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMS) yang mendampingi proses penggalian fosil di Sragen, Jumat (29/8). Fosil diperkirakan berasal dari masa Plistosen Tengah atau 700.000-125.000 tahun lalu.

Atas temuan ini, menurut Gunawan, BPSMS akan memberi imbalan kepada warga yang melaporkan dan menyerahkan temuan itu.

Pada saat hampir bersamaan, BPSMS juga melakukan pemindahan 3.000 koleksi fosil dari Museum Miri ke Museum Situs Manusia Purba Sangiran yang lebih representatif. Koleksi ini, menurut arkeolog dari BPSMS Anjarwati Sri Sayekti, berasal dari penggalian tahun 1989-1998 yang antara lain terdiri atas fosil Cervidae (keluarga rusa), Bovidae, dan bola batu. (EKI)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008

Obituari: Pemilik "Kedaulatan Rakyat" Berpulang

SLEMAN, KOMPAS - Direktur Utama Kedaulatan Rakyat Soemadi Martono Wonohito, Jumat (29/8), meninggal dalam usia 71 tahun di Yogyakarta. Soemadi meninggal akibat komplikasi beberapa penyakit, khususnya jantung yang diidapnya beberapa waktu terakhir.

Soemadi Martono Wonohito (KEDAULATAN RAKYAT/EFFY WIDJONO PUTRO)

Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jalan Pringwulung, Depok, Sleman, DI Yogyakarta. Pemakaman akan dilakukan pada Sabtu ini pukul 14.00 di pemakaman keluarga di Pringwulung, Yogyakarta.

Generasi kedua

Almarhum meninggalkan seorang istri serta tujuh putra dan putri. Warisan terbesar Soemadi, menurut Redaktur Pelaksana Kedaulatan Rakyat Muhamad Wafiek, adalah dorongan semangat kepada karyawan untuk senantiasa memajukan Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar yang merakyat dan berkualitas.

Soemadi adalah putra salah satu pendiri SKH Kedaulatan Rakyat, Madikin Wonohito. Sejak kepergian sang ayah pada 1984, pria kelahiran Yogyakarta, 14 September 1936, itu yang memimpin surat kabar tersebut. Selain sebagai dirut, Soemadi juga menjadi pemimpin umum surat kabar yang terbit pertama kali pada 27 September 1945 itu. (ENG)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008

“Ketika Cinta Kembali”, Ramuan Kisah Cinta dalam Bahasa Puisi

Rona jingga ditaburkan/
Kesenduan sinar rembulan ditata/
Untaian berlian di langit ditaburkan/
Kesejukan air diisi sebagai bejana kehidupan.


UNTAIAN puisi semacam itu terselip di antara halaman akhir novel Martha Sinaga. Karyanya yang bertajuk Ketika Cinta Kembali memang ditampilkan dengan bahasa puitik dan cenderung populer.

Novel setebal 146 halaman itu mengisahkan tentang Adinda yang ditelepon cinta masa lalunya, Ari. Kisah kemudian ngelangut, bolak-balik antara dialog masa lalu Adinda dengan Ari dan di masa kini: Adinda yang merenung-renung.

Kendati ringan, kemasan Martha untuk alur cerita yang back-tracking, pengungkapan kata ganti “dia-an” untuk Adinda dengan dialog melalui surat yang tak dicetak miring, sangat berisiko bagi pembaca untuk menarik garis lurus perjalanan cinta si tokoh utama Adinda dengan Ari.

Namun, dengan bahasa yang cukup ringan pula, presenter Meutya Hafid seusai membaca novel ini, mengomentari penulisnya: Martha Sinaga melihat cinta sebagai energi positif yang memadukan rasa dan pikiran dengan seimbang.

Penulis Miranti Abidin mengatakan bahwa “Cinta suatu hal yang ada dalam diri kita semua”. Pendidik Chandra Motik memandang buku ini memberi wawasan bahwa cinta ada “di dalam hati kita, karena itu kita hidup, akan selalu ada dan abadi”.

Kendati begitu, kisah cinta dengan bahasa populer tiba-tiba jadi terasa terlalu berat ketika diselingi pendapat dan teori, misalnya pendapat Fishman dan Viktor Frankl (halaman 134-135). Bahasa itulah yang kemudian ditanggapi perempuan penyair, Diah Hadaning: “Dengan modal cinta semua akan bisa dipetik. Pribadinya, rembulan dan matahari ada di dalam dirinya. Bahwa kau pun akan terus berjuang pasti ingin menjadi yang terkasih.”

Seperti bunga kemboja yang sekali pun diinjak, ujar Martha, dia tetap akan putih bersih tanpa pamrih. Kelopak kemboja sekali pun sudah jatuh di dalam lumpur pun, kecokelatan lumpur akan kalah dengan warna putihnya. Lentur, tak akan bersekutu dengan egoisme. Filosofi cinta tak beda dengan hal itu.

“Target novel ini memang akan memberikan emosi, semakin emosi bagus, tulisannya akan semakin mengalir,” ujar Martha kepada SH, awal Agustus lalu.

Puisi dan Tanah Melayu

Puisi, Tanah Melayu dan biografi penulis, adalah ramuan yang rumit untuk bisa dipaparkan dalam kisah yang ringan. Pada salah satu novelnya yang bertajuk Rembulan di Tanah Melayu, tiga unsur itu semakin kentara.

Kisah yang diangkat sangat erat dengan cerita masa silamnya. Penulis kelahiran Pakanbaru ini kemudian menyinggung soal tali silaturahminya di Tanjungpinang yang sangat erat, sebagai energi untuk idenya saat berkarya.

“Mulai dari cerita tentang kawan-kawan saya, kenangan saat main pingpong. Memori ini jadi flashback. Bagi saya, ini tak hanya silaturahmi dengan kawan-kawan, tapi juga silaturahmi di jiwa saya, ego, dari hati dan ketulusan,” katanya.

Martha Sinaga yang berangkat dari profesi sebagai wartawan menulis dengan metode yang berbeda. Di tengah tulisan feature atau berita, dia tetap meminati sastra.

“Saya juga menulis puisi. Untuk novel, saya buat alur cerita, saya bisa menulis tiga bulan lamanya tapi bisa membuat empat buku lagi. Saya duduk dengan emosi terkontrol baik. Konsisten, saya terbiasa dengan pola jurnalis. Saya tetap dari cara pandang pers, saat ada fakta dia menulis. Sebagai novelis saya pun demikian. Walau ada nuansa imajinatif, tetap ada faktanya,” ujarnya.

Bersama editor sekaligus kawan lamanya, Hasori “Wawi”, terkadang mengontrol juga lompatan memorial yang menyeruak di dalam karya Martha. “Jadi kisahnya ada sinkronnya dengan perjalanan saya ketika masih kecil. Itu nuansa yang barangkali di penulis lain berbeda lagi caranya,” ujar Martha Sinaga.

Ia bisa mengerjakan otobiografi seniman besar. Dia tak ingin dikatakan menulis spesialisasi, karena sebagai wartawan dia mengaku menulis apa saja. “Di mana tanah dipijak, di sanalah kita minum air,” katanya.

“Saya berangkat dari dunia wartawan harian dalam kondisi sosial sesakit apa pun, saya harus tetap bisa menulis. Kejadian (tragedi kereta api, red) di Bintaro, saya harus membuang rasa saya. Dalam emosi itu masih ada cinta,” ujarnya. (sihar ramses simatupang)

Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 29 Agustus 2008

Friday, August 29, 2008

Penyair Berperan dalam Pembangunan Budaya

TANJUNGPINANG, KOMPAS - Keberadaan penyair, seniman, dan sastrawan di Kabupaten Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, dirasakan pemerintah setempat memberikan andil besar dalam pembangunan di bidang kebudayaan. Karena itu, berbagai kegiatan kesastraan selalu mendapat dukungan.

”Para penyair, seniman, dan sastrawan telah memberi arti bagi kemajuan pembangunan. Apalagi, Kota Tanjungpinang telah mencanangkan sebagai Negeri Pantun. Sebagai kota yang kental dengan kebudayaan Melayu,” kata Wali Kota Tanjungpinang Hajjah Suryatati A Manan, Kamis (28/8) di Tanjungpinang.

Pemerintah Kota Tanjungpinang kerap menggelar kegiatan sastra-budaya. Terakhir adalah kegiatan Tarung Penyair Panggung, Rabu (27/8) malam, di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang.

Sepuluh penyair terkemuka yang berdomisili di Kota Tanjungpinang, seperti Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Hoesnizar Hood, Lawen Newal, Teja Alhabd, Bhinneka Surya, Efiar M Amin, Said Parman, Safaruddin, dan Heru Untung Laksono, dipertemukan dalam satu panggung. ”Kemampuan mereka dalam membaca puisi diperlombakan,” kata Ketua Dewan Juri Tarung Penyair Panggung, Hamsad Rangkuti.

Ketua Panitia Pelaksana, Asrizal Nur, mengatakan, Tarung Penyair Panggung dilaksanakan atas apresiasi Pemerintah Kota Tanjungpinang terhadap dedikasi penyair dan sekaligus merangsang giatnya kembali tradisi pembacaan puisi yang atraktif, yang dulu telah dimulai oleh Presiden, penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Agustus 2008

Wednesday, August 27, 2008

IOAA: Kearifan Lokal Astronomi Dilupakan

Bandung, Kompas - Kearifan lokal astronomi masyarakat Indonesia semakin dilupakan karena dianggap merepotkan dan tidak sesuai perkembangan zaman. Padahal, kearifan lokal semula dijadikan pegangan dan tuntunan hidup masyarakat.

Menurut Guru Besar Antropologi Sosial Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja, Selasa (26/8), di sela-sela rangkaian acara Olimpiade Internasional Astronomi dan Astrophysic (IOAA), kearifan lokal astronomi Indonesia semakin dilupakan dan dianggap kuno. Padahal, kearifan lokal astronomi seringkali tetap relevan apabila dilakukan dengan cara yang tepat.

Kusnaka memberi contoh dalam dunia pertanian. Dulu petani memperhitungkan tanda-tanda astronomi untuk mulai menanam hingga panen sehingga hasilnya sangat baik. ”Sekarang hanya berpikir, bagaimana bisa panen sebanyak-banyaknya,” ujarnya.

Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Soepardiono Sobirin mengatakan, kearifan lokal astronomi banyak dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam.

Menurut Sobirin, orang-orang zaman dulu sudah bisa melakukan pengaturan air menghindari banjir atau kekeringan. Mereka sudah memperhitungkan waktu tepat melakukan aktivitas pertanian. Salah satu contoh ketika melihat lintang waluku atau lintang layang-layang. Mereka yakin hanya menanam padi saat lintang waluku atau musim hujan datang. Alasannya, banyak air yang bisa didapatkan petani.

Namun, pada saat musim kemarau, mereka tidak memaksakan menanam padi karena yakin tidak mendapat air. Bukti itu mengatakan, mitos dan keyakinan seperti itu digunakan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Mereka diajari tidak rakus sekaligus peduli daya tahan alam.

Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Marsono, mengatakan, bangsa Indonesia telah mengenal sistem astronomi sejak abad I Masehi lewat sistem tahun Saka yang merupakan perpaduan dari akulturasi Jawa dengan agama Hindu dan Buddha.(CHE)

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008

Buku "The Arts and Craft": Upaya Promosi Budaya Indonesia di Mata Dunia

[JAKARTA] Pengenalan kebudayaan yang dimiliki Indonesia ke masyarakat luar negeri sangat dibutuhkan untuk mendongkrak eksistensi khazanah budaya yang dimiliki selama ini. Indonesia sebagai salah satu negara yang punya kebudayaan dan kekayaan alam melimpah sudah sepatutnya juga mampu menjaga dan mengembangkannya. Semua ini membutuhkan perhatian dan niat seluruh lapisan masyarakat, terutama anak muda sebagai generasi penerus bangsa.

Joop Ave (sp/ruht semiono)

Hal itu disampaikan mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, Joop Ave, dalam peluncuran bukunya berjudul The Arts and Craft of Indonesia, di Jakarta, baru-baru ini. Dia menjelaskan, daerah-daerah penghasil kerajinan tangan yang tersebar di seluruh pelosok nusantara harus bisa memperkenalkan hasil kerajinan tangannya ke masyarakat luas, terutama masyarakat luar negeri, karena efek jangka panjangnya mampu menyedot turis asing yang akan masuk ke Indonesia.

Oleh karena itu, sebagai salah satu orang mempunyai komitmen kuat memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke luar negeri, dia akan selalu membantu melalui buku yang ditulis dalam bahasa Inggris ini.

"Saya sengaja menulisnya dalam bahasa Inggris, karena memang sasaran utamanya adalah masyarakat luar negeri. Penyusunan buku ini juga didorong rasa keprihatinan saya karena di luar negeri sedikit sekali buku yang berisi pengenalan kebudayaan Indonesia," ucapnya.

Menurut Joop, dalam buku tersebut lebih banyak menceritakan cara membuat berbagai macam kerajinan tangan khas Indonesia, dari yang sederhana sampai yang rumit. Sebagai contoh, dia memperkenalkan bagaimana cara membuat gerabah yang sederhana, sampai pembuatan wayang dan ukiran yang agak rumit. Selain itu, tidak ketinggalan pengolahan kain-kain tenun.

"Melalui buku ini, saya kupas habis berbagai macam kerajinan dari daerah-daerah di Indonesia. Saya harap bagi orang asing yang tinggal di Indonesia dan membaca buku ini akan semakin mencintai Indonesia, dan bagi orang asing yang tinggal di luar negeri akan mau datang ke Indonesia untuk mempelajari sendiri lebih jauh," tambahnya.

Tugas Setiap WN

Menurut Joop, usia bukanlah menjadi halangan bagi siapapun untuk tetap semangat mengenalkan kebudayaan bangsa Indonesia. Semua itu sudah menjadi tugas setiap warga negara untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia luar. Di samping punya banyak kebudayaan yang unik, Indonesia juga mempunyai kekayaan alam yang melimpah.

Joop Ave menegaskan, justru saat ini yang sedang terjadi adalah tarik menarik kebudayaan antar bangsa. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk saling menuding kepada negara-negara tetangga menyangkut asal kebudayaan yang dimiliki.

"Bila kebudayaan kita seperti batik, reog, dan banyak lagi yang diakui oleh negara lain tidak sepatutnya kita marah. Semua itu sudah terlambat. Biarkan orang lain yang menilai apakah itu milik Indonesia atau bukan. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kejadian tidak berulang dibutuhkan peran semua pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri untuk segera memperkenalkan kebudayaan yang sudah dimiliki," katanya.

Joop juga mengaku sengaja turun langsung ke daerah-daerah industri kecil pusat kerajinan tangan di Indonesia untuk mempelajari apa yang saat ini dibutuhkan oleh perajin.

"Ternyata keadaan pasar kita lemah. Itu yang membuat industri kerajinan tangan lokal sulit untuk maju. Coba bayangkan, untuk satu buah wayang kulit, yang proses pengerjaannya cukup rumit dan lama hanya dihargai beberapa ribu rupiah," tuturnya.

Keadaan pasar yang tidak sesuai harapan itu, menurutnya banyak disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kurangnya penghargaan atas hasil karya bangsa sendiri. Saat ini, kita lebih mengagung-agungkan kebudayaan bangsa lain, yang dianggapnya lebih baik dari kebudayaan sendiri.

"Yang patut dicatat, bila awalnya bukan kita sendiri yang bisa menghargai kebudayaan kita, lantas bagaimana bangsa lain mau menghargai kebudayaan Indonesia? Intinya sangat kurang appreciate bangsa kita terhadap kebudayaan sendiri. Persepsi itulah yang harus kita ubah. [YRS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Agustus 2008

Tuesday, August 26, 2008

Monumen Sejarah: Bangun Kembali Rumah Bung Karno

-- Susanto Zuhdi*

TIDAK banyak bangsa di dunia ini yang mendapatkan kemerdekaannya melalui perjuangan panjang dan berat untuk melepaskan diri dari penjajah asing. Satu di antara yang sedikit itu adalah Indonesia.

Bung Karno didampingi Bung Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi) Jakarta. Gedung yang terlihat di belakang sudah dirobohkan, padahal jadi saksi sejarah. (Ipphos/Kompas Images)

Bagi bangsa Indonesia, perjuangan itu harus dengan pengorbanan besar. Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang bangsa melepaskan diri dari belenggu penjajah asing.

Akan tetapi, dalam perspektif kekinian, bagaimana harus dijawab, kalau ada siswa—atau siapa pun—yang bertanya di mana tepatnya di Jakarta ketika Soekarno dan Mohammad Hatta—atas nama bangsa Indonesia—membacakan proklamasi kemerdekaan?

Bagi mereka yang pernah melewati Jalan Proklamasi (dahulu Jalan Pegangsaan Timur), Jakarta Pusat, pastilah melihat dua patung besar kedua tokoh nasional itu. Lalu, akankah kita menjawab, di tempat itulah mereka memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tentulah tidak benar kalau dijawab di situlah tepatnya (in situ). Proklamasi kemerdekaan dibacakan di halaman rumah Soekarno, yang letaknya beberapa puluh meter dari kedua patung tersebut. Sebagai pengganti memang kemudian dibangun tugu peringatan, yang di atasnya digambarkan seperti petir.

Mengapa tidak dibangun kembali rumah tersebut? Apakah perbuatan itu melanggar etika kerja arkeolog dalam kaitan pemugaran yang memiliki persyaratan tertentu?

Tulisan singkat ini tidak bermaksud membicarakan hal terakhir, tetapi akan tertuju pada bagaimana ’mengukir sejarah’ ke depan. Jadi, pembangunan rumah itu semata-mata untuk tujuan pembelajaran sejarah bangsa.

Menjelang proklamasi

Dalam sejarah Indonesia, periode antara tahun 1942 dan 1945 dianggap kesempatan baik bagi penduduk di negeri ini untuk meningkatkan tercapainya kemerdekaan. Kekalahan Jepang oleh Sekutu pada Perang Dunia II memberi kesempatan luas bagi bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Akan tetapi, masalah pertama yang harus dihadapi justru adalah tentara Jepang itu sendiri. Jepang diberi tugas oleh Sekutu untuk memelihara status quo di wilayah jajahan Hindia Belanda, sampai terjadi pengambilalihan kekuasaan wilayah itu oleh sang pemenang perang. Itu artinya tidak diperbolehkan terjadinya suatu bentuk perubahan kekuasaan di wilayah tersebut.

Tiga hari menjelang hari bersejarah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, situasi di Jakarta memperlihatkan ketegangan antara golongan pemuda dan tua tentang waktu dan cara memproklamasikan kemerdekaan.

Bagi pemuda, proklamasi harus dilaksanakan saat itu juga tanpa campur tangan Jepang. Oleh karena itu, proklamasi harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Akan tetapi, di pihak lain, golongan tua masih menunggu berita resmi tentang kekalahan Jepang.

Hari-hari yang menegangkan pun dimulai. Pada 15 Agustus, kira-kira pukul 20.00, beberapa pemuda berkumpul di salah satu ruangan Laboratorium Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur. Mereka berunding untuk menentukan sikap dan bagaimana cara menyatakan kemerdekaan di luar semangat ”Kemerdekaan Hadiah” dan sikap terhadap Soekarno-Hatta (Adam Malik, 1982: 42).

Pertemuan yang dipimpin oleh Khaerul Saleh itu dihadiri Darwis, Johar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit, Sunyoto, Abubakar, Eri Sudewo, Wikana, dan Armansyah. Keputusan perundingan tersebut adalah mendesak Soekarno untuk secepatnya memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Malam itu juga, sekitar pukul 22.00, Wikana dan Darwis pergi ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56 untuk menyampaikan kehendak pemuda.

Adalah Ahmad Soebardjo yang mengajak Mohammad Hatta pada malam hari tanggal 15 Agustus untuk mengunjungi rumah Soekarno. Kedatangan mereka berdua tampaknya membuat perasaan lega Soekarno karena saat itu ia sedang didesak Wikana dan Darwis untuk memintanya memproklamasikan kemerdekaan malam itu juga. Kedua belah pihak menunjukkan perbedaan tajam soal bagaimana melaksanakan pernyataan kemerdekaan bangsa.

Untuk mengatasi konflik tersebut, Hatta mengajak Soekarno, Soebardjo, dan Buntaran ke bagian tengah rumah. Mereka berempat akhirnya mengambil keputusan untuk menawarkan kepada pemuda, apabila mereka tetap berkeinginan memproklamasikan kemerdekaan malam itu juga, dipersilakan cari pemimpin lain, yang belum pernah bekerja sama dengan Pemerintah Militer Jepang. Mereka akan berdiri di belakang pemimpin itu, sebagai penyokong revolusi (Hatta, 1981: 32-33).

Jelas merupakan kausalitas antara fakta sebelum dan apa yang kemudian terjadi dengan peristiwa Rengasdengklok. Begitulah, pada dini hari tanggal 16 Agustus, para pemuda ’membawa’ Bung Karno dan Bung Hatta ke tempat tersebut.

Namun, versi pemuda yang berkehendak memaksa Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan di Rengasdengklok dalam kenyataan tidak terjadi. Malam harinya, Soebardjo yang berhasil mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta membawanya kembali ke Jakarta untuk membahas pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

Naskah proklamasi memang tidak dirancang di rumah Bung Karno, tetapi di kediaman Admiral Tadashi Maeda, di Jalan Imam Bonjol No 1 (pada masa kolonial bernama Nassau Boulevard, sedangkan pada masa Jepang bernama Myakodoori). Maeda adalah seorang perwira penghubung angkatan laut yang berkuasa di wilayah Indonesia timur dan bermarkas di Makassar.

Akan tetapi, rumah Bung Karno kembali berperan penting dalam pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Suatu pilihan yang kondisional mengapa akhirnya proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di halaman rumah Bung Karno.

Fakta historis ini haruslah diterangkan dalam konteks masa ketika itu. Jadi, memang tidak mungkin dilakukan dengan cara demonstratif.

Seperti dalam rencana semula, terutama oleh keinginan pemuda, proklamasi hendak (-nya) dilaksanakan di Lapangan Ikada. Proklamasi dengan cara ini hanya akan mengundang pasukan Jepang memberondongkan peluru atau tusukan bayonet, atau setidaknya poporan gagang senapan terhadap rakyat yang menghadirinya.

Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, rumah Bung Karno berfungsi sebagai tempat penting bagi kegiatan pemerintahan awal Republik Indonesia. Di halaman depan rumah Bung Karno pula Kabinet Pertama Republik Indonesia berfoto. Konferensi pers pertama mengenai berdirinya Republik Indonesia dengan wartawan luar negeri pun diselenggarakan di beranda depan rumah Bung Karno.

Situs sejarah

Dalam masa revolusi kemerdekaan, keluarga Presiden Soekarno menempati rumah tersebut sampai awal 1946. Mengingat situasi keamanan di Jakarta semakin buruk, terutama setelah kedatangan pasukan Sekutu dan tentara NICA Belanda, Presiden dan Wakil Presiden hijrah ke Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat, pemerintahan Republik Indonesia (Serikat) baru kembali lagi ke Jakarta pada akhir 1949.

Betapa pun mau disesali, hilangnya rumah Bung Karno sudah merupakan kenyataan yang tidak bisa diubah. Sekali suatu bangunan bersejarah (di-) hancur (-kan), maka hilang untuk selamanya.

Hapusnya situs sejarah yang otentik sebagai media untuk mengenang kembali peristiwa masa lampau yang begitu bermakna kini tidak ada lagi. Yang ada hanya ingatan bahwa di sekitar itu dulu merupakan tempat proklamasi dibacakan.

Mengapa tidak dibuat kembali rumah Bung Karno? Dari seorang mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya memperoleh informasi seputar rencana pembangunan rumah tersebut. Rupanya, presiden kedua Republik Indonesia tidak ”berkenan” mengizinkan rencana tersebut.

Ucapan halus yang berupa penolakan itu terungkap dari perkataannya ”itu sudah menjadi sejarah”. Artinya, pembongkaran atas bangunan itu sudah terjadi, maka biarkanlah ia jadi sejarah.

Akan tetapi, bukankah belajar sejarah dapat juga dengan melestarikan atau membangun monumen dari masa lampau yang bermakna? Ketika monumen historis itu telah hilang-lenyap, tidak bisakah dibangun kembali?

Dalam kaitan ini pula, tidakkah sebaiknya dibangun saja sekaligus sebuah museum beserta dioramanya. Ataukah kita masih harus menunggu ”dihakimi” oleh sejarah karena mengulangi kekeliruan yang sama?

* Susanto Zuhdi, Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Agustus 2008

Monday, August 25, 2008

Cagar Budaya: Hanya 5 Persen Benteng Masa Kolonial yang Masih Utuh

Sawahlunto, Kompas - Pusat Dokumentasi Arsitektur mencatat, hanya 5 persen dari 257 benteng peninggalan masa kolonial di Indonesia yang masih dalam kondisi utuh. Mayoritas kondisi benteng-benteng tersebut tinggal sisa bangunan dan reruntuhannya saja. Indonesia bisa belajar dari India yang mampu merestorasi serta mengonservasi benteng masa kolonial untuk kemudian dimanfaatkan secara ekonomis.

Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) yang melakukan pendataan dan inventarisasi benteng peninggalan masa kolonial menyebutkan angka 45 persen benteng yang dalam kondisi tinggal reruntuhan. ”Sebanyak 50 persen lainnya hanya berupa sisa-sisa bangunan benteng,” ujar Endy Subijono, Pimpinan Proyek Pendokumentasian Benteng kerja sama PDA dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Sawahlunto, Minggu (24/8).

PDA, lanjut Endy, baru menginventarisasi benteng-benteng di Indonesia bagian timur. Dalam waktu dekat, pendataan dan inventarisasi benteng masa kolonial akan dilakukan di Pulau Jawa dan Sumatera.

”Jumlah 257 benteng peninggalan bangsa asing di Nusantara ini bisa jadi bertambah banyak. Jumlah itu di luar benteng yang dibangun raja-raja di Nusantara. Saat kami melakukan pendataan di Indonesia timur, data awal kami ada 100 benteng, tetapi saat pendataan di lapangan, kami menemukan ada 107 benteng. Jumlah itu saja masih mungkin bertambah karena kami sempat kesulitan mencapai beberapa lokasi yang disurvei,” ujar Endy.

Menurut Endy, kerusakan benteng-benteng peninggalan masa kolonial lebih banyak disebabkan oleh pembiaran yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya.

Endy mengatakan, pendataan dan inventarisasi benteng tak cukup berhenti pada upaya perlindungan dan konservasi. ”Indonesia perlu belajar dari negara lain, seperti India, yang mampu merestorasi benteng-benteng masa kolonial menjadi hotel hingga obyek wisata yang menarik dan bernilai ekonomis,” ujarnya.

Corpasschier, praktisi konservasi warisan sejarah dari Belanda, mengatakan, kalau melihat potensi benteng di Indonesia, nilai ekonomisnya bisa melampaui India. Ini disebabkan arsitektur benteng sangat beragam akibat banyaknya bangsa asing yang pernah melakukan ekspansi ke Indonesia. (BIL)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Pesanggrahan Daendels Rusak, Terancam Hilang karena Kayunya Akan Dilelang

Gresik, Kompas - Jejak bangunan pesanggrahan, tempat peristirahatan bagi para pengguna Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg, ditemukan di Desa Sembayat, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Sabtu (23/8). Namun, bangunan yang berusia 200-an tahun itu sudah rusak.

Satu-satunya pesanggrahan atau brak berusia sekitar 200 tahun yang tersisa sebagai tempat peristirahatan dan penggantian kuda pada Jalan Daendels kini sudah dibongkar dan kayunya akan dilelang di Desa Sembayat, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Sabtu (23/8). Brak atau pesanggrahan tersebut panjangnya sekitar 15 meter dengan lebar 5,5 meter dan dibangun di setiap 8-9 kilometer jalan di sepanjang 1.100 kilometer Jalan Daendels Anyer-Panarukan. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Tumpukan genteng atap pesanggrahan teronggok di pojok jalan, sementara tiang-tiang kayu penyangga akan segera dilelang.

Padahal, pesanggrahan atau brak dalam bahasa setempat ini bersejarah. Setelah memulai pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer mulai tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels juga memerintahkan pembangunan pal batas dengan jarak setiap 1,5 kilometer dan pesanggrahan.

Menurut peneliti senior Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mona Lohanda, pesanggrahan dibuat berjarak 8-9 km di luar kawasan kota yang berfungsi sebagai peristirahatan dan pergantian kuda pos.

”Saat saya kecil, masih bisa melihat brak masih bisa dilalui dua mobil. Mobil yang menyeberang dari sisi lain sungai masih bisa lewat brak ini. Setelah dibongkar belum dibangun lagi,” kata Rokhma (80), warga Desa Sembayat.

Tertutup ”paving”

Semasa masih berdiri kokoh di Jalan Daendels, pesanggrahan tersebut memiliki panjang 12-15 meter dengan lebar mencapai 5,5 meter. Fungsi pesanggrahan ini mulai berkurang setelah transportasi semakin berkembang dan Jalan Raya Daendels semakin ditinggalkan setelah pembangunan jembatan dan jalan baru yang lebih lebar akhir tahun 1970.

Pantauan tim Kompas, lokasi bekas pesanggrahan yang letaknya sekitar 20 meter dari tepi Sungai Bengawan Solo ini sudah rata tertutup jalan paving.

Menurut penuturan sejumlah warga, pesanggrahan itu mulai dibongkar lima tahun lalu karena menyulitkan alat berat melintas saat pembangunan sisi turap Sungai Bengawan Solo. Kayu-kayu yang terpasang melalui sambungan siku-siku dilepas satu per satu dan pengembang berjanji akan kembali membangun pesanggrahan ini.

Namun, hingga kini 10 balok pilar dan puluhan kayu serta siku penyambung kayu sudah berada di gudang salah satu pengusaha pembuatan mebel di desa tersebut.

Kepala Desa Sembayat Bambang Adipranoto mengatakan, berdasarkan kesepakatan warga setempat, kayu-kayu bekas pesanggrahan tersebut akan dilelang dan uang hasil penjualan dipergunakan untuk pengadaan mebel tempat bimbingan belajar bagi siswa SD hingga SMA.

”Paling tidak kami perkirakan hasil lelang bisa mencapai Rp 15 juta. Namun, sampai saat ini kayu masih belum dilelang. Kami masih menunggu itikad baik pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk melestarikannya karena warga di sini tidak mampu membangun tempat bimbingan belajar, terutama dari segi biaya,” kata Bambang.

Benteng ”mangkrak”

Selain pesanggrahan yang kondisinya rusak, sekitar 10 kilometer dari lokasi tersebut juga terdapat sisa benteng Belanda yang sudah hancur. Lokasi tepatnya di Pulau Kuypeer di Tanjung Widoro, Kecamatan Bungah. Untuk mencapai benteng tersebut harus menggunakan perahu dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari Pelabuhan Tanjung Widoro.

Benteng tersebut diyakini warga setempat merupakan benteng Belanda yang dibangun tahun 1800-an untuk pertahanan dari serangan Inggris. Benteng ini membentang mengelilingi pulau sepanjang hampir satu kilometer. Namun, abrasi dan terpaan ombak perlahan mengikis benteng sehingga kini hanya tersisa sekitar 10 persen.

”Benteng sudah mulai hancur setelah tahun 1965. Beberapa waktu lalu sempat ada peneliti dari Yogyakarta yang mengumpulkan sisa keramik dan guci dari sisa benteng. Namun, sepertinya belum ada usaha pelestarian,” kata Solikhin (55), penduduk Tanjung Widoro. (gal/nel/aci)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan

Bukittinggi, Kompas - Sebagian besar kota pusaka di Indonesia saat ini tengah menuju kehancuran sistematis akibat ketidakpedulian pengelola kota. Hanya di Surakarta, Jawa Tengah, dan Sawahlunto, Sumatera Barat, yang pengelolanya mampu merevitalisasi warisan sejarah dan mempertahankannya dari ancaman kehancuran.

Kota Sawahlunto di Sumatera Barat menjadi salah satu kota di Indonesia yang cukup memiliki kepedulian terhadap pelestarian warisan sejarah atau pusaka (heritage). Gedung-gedung sekolah maupun rumah ibadah di Jalan Imam Bonjol, Sawahlunto, yang dibangun pada masa kolonial saat kota ini dibuka pertama kali oleh Belanda sebagai kota pertambangan batu bara, masih tetap utuh dan terjaga. (KOMPAS/KHAERUDIN/ Kompas Images)

Demikian hal yang mengemukakan dalam ”Temu Pusaka 2008” di Bukittinggi, Sumatera Barat, Sabtu (23/8).

Pengajar dan peneliti Center for Heritage Conservation, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Laretna T Adhisakti, mengatakan, kota yang didirikan dan didesain pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun sultan dan raja lokal Nusantara jumlahnya sangat banyak. ”Meski demikian, saat ini belum ada data yang pasti tentang jumlah kota pusaka di Indonesia,” katanya.

Tentang penyebab kehancuran kota pusaka, Laretna mengatakan, ”Ada satu masa yang tidak nyambung. Saat pengelola kota membangun kotanya, tetapi tidak pernah mengidentifikasi cagar budaya yang ada di kota tersebut. Kepala daerah membangun kotanya tanpa melihat masa lalu kota tersebut.”

Klasifikasi

Di Indonesia, kata Laretna, sebenarnya cukup banyak kota yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka (heritage). Namun, pemerintah belum pernah menetapkan klasifikasi kota pusaka secara formal. ”Itu pula sebabnya, kehancuran kota-kota pusaka dengan mudah terjadi di negeri ini,” ujarnya menambahkan.

Penghancuran yang dimaksud antara lain pembiaran pemerintah daerah terhadap hancurnya gedung-gedung bersejarah dan keengganan mengonservasi pusaka kota, baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).

Laretna lebih lanjut mengatakan, tidak seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia yang pemerintahnya cukup sadar untuk melestarikan kota- kota pusaka, di Indonesia pemerintah daerah yang peduli pada upaya konservasi kota-kota pusaka masih sangat sedikit. Berdasarkan catatan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), katanya, baru Surakarta dan Sawahlunto yang pemerintah daerahnya cukup peduli melestarikan pusaka kota.

Soehardi Hartono dari Badan Warisan Sumatera berpendapat, ketidaksiapan pemerintah daerah memahami kegiatan pelestarian pusaka kota mengakibatkan kepala daerah cenderung mengabaikan ancaman kehancuran kota pusaka. ”Kegiatan pelestarian bukan sekadar membuat peraturan daerah tentang perlindungan benda cagar budaya, tetapi lebih dari itu. Bagaimana memanfaatkan benda cagar budaya, bagaimana mengembangkannya agar bisa mendatangkan manfaat ekonomi,” katanya.

Kasus di Medan

Soehardi menambahkan, kehancuran gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah tinggi di hampir semua kota di Indonesia membenarkan sinyalemen adanya kehancuran sistematis dari kota-kota pusaka. Contoh konkretnya antara lain yang terjadi di Medan, Sumatera Utara. Sejak tahun 1988, kata Soehardi, Medan sebenarnya memiliki peraturan daerah yang melindungi kawasan, seperti Kesawan, yang bisa dianggap sebagai pusaka kota.

”Di dalam peraturan tersebut, jelas dilarang mengubah bentuk bangunan yang ada di sepanjang Jalan Kesawan. Namun, Dinas Tata Kota Medan tetap menerbitkan izin membangun bangunan untuk ruko (rumah toko) yang jelas-jelas mengubah bentuk asli bangunan di Jalan Kesawan. Ini kan pembiaran dari pemerintah daerah. Upaya menghancurkan pusaka kota secara sistematis,” ujarnya. (BIL)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Masih Mencari, Adakah Sastra(wan) Kalteng

-- Willy Ediyanto*

MENARIK sekali perdebatan antara Udo Z. Karzi dengan Puji Santosa yang dimuat di harian ini selama bulan Agustus tahun 2008. Menarik bagi penulis karena penulis bekerja sebagai seorang guru yang berijazah dan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Menarik karena penulis ikut membidani Komunitas Awan Senja di Kumai, Kotawaringin Barat. Menarik juga karena penulis pernah menanyakan sebuah lomba penulisan sastra akan tetapi tidak diketahui siapa dan di mana panitianya.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia sastra, penulis berkarya dalam bentuk seni sastra namun tidak mempublikasikannya secara umum. Penulis lebih suka mempublikasikannya melalui blog yang penulis miliki. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa penulis melakukan hal semacam itu.

Sebelum terbitnya surat kabar ini, kesulitan penulis untuk mengikuti surat kabar yang ada di Kalimantan Tengah telah menjadi salah satu alasannya. Biasanya surat kabar baru sampai ke tangan penulis keesokan harinya. Itu pun tidak ada agen surat kabar yang mau melayani untuk berlangganan dan mengantarnya sampai ke tempat tinggal penulis. Di samping itu, redaksi surat kabar di Kalteng umumnya tidak mengirimkan bukti pemuatan untuk penulis-penulis yang tidak terjangkau pelayanan berlangganan. Itu pula yang menyebabkan penulis lebih asyik menulis di blog dan di surat kabar ini.

Udo Z. Karzi menurut hemat penulis lebih menyorot pada keberadaan sastrawan pada saat ini, pada tahun 2008. Sementara itu, Puji Santosa membeberkan keberadaan penulis yang sudah tidak ada. Puji Santosa menelusuri jejak sastrawan Kalteng dengan menyodorkan nama Fridolin Ukur, HABSU, dan J.J. Kusni yang sudah meninggal atau sudah tidak berada di Kalimantan Tengah. Itu bagus sebagai sebuah dokumentasi. Masalah yang ingin penulis soroti adalah sastrawan yang berada di sini dan pada saat ini.

Sayang sekali, dalam tulisannya, Puji Santoso tidak menyebutkan siapa saja sastrawan yang tergabung dalam Ikatan Sastrawan Sastra Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah yang disertakan dalam Dialog Borneo-Kalimantan yang ikut serta mengumpulkan karyanya. Selain itu hanya disodori beberapa kegiatan yang diadakan oleh Balai Bahasa Kalimantan Tengah. Sementara itu kegiatan sastra seperti kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya yang dimotori oleh Taufik Ismail tidak terdokumentasikan. Begitu pula kegiatan apresiasi sastra di luar Palangkaraya.

Sepengetahuan penulis, kegiatan berkesenian biasanya tumbuh di lingkungan kampus atau sekolah yang dimotori oleh mahasiswa dan guru. Tidak selalu kampus yang memiliki fakultas sastra, karena fakultas sastra lebih banyak menyibukkan diri dalam teori, aliran, dan sejarah sastra, dan bukan pada proses kreatif. Artinya fakultas sastra bukanlah tempat untuk melahirkan sastrawan. Seorang sarjana sastra belum tentu seorang sastrawan. Bahkan harus diakui bahwa lebih banyak sastrawan yang tidak sarjana dan bukan sarjana sastra.

Kawan-kawan penulis ketika masih kuliah dulu, cukup banyak yang berasal dari fakultas dakwah dan fakultas tarbiah yang memanfaatkan sastra dan bergelut dalam bidang sastra. Di samping itu masih lebih banyak lagi yang berasal dari fakultas-fakultas lain atau bahkan yang drop out. Akan tetapi, penulis tidak melihat sastrawan yang muncul dari perguruan tinggi di Kalimantan Tengah. Tidak pula penulis temukan volunter yang mau menyibukkan diri dalam pengembangan sastra, atau paling tidak dalam kepenulisan seperti yang terjadi di kota-kota lain.

Sebagai sesama satu tanah, Kalimantan Selatan jauh meninggalkan adik kandungnya, Kalimantan Tengah. Kehidupan sastra dan kepenulisan di daerah ini berkembang karena adanya volunter yang menyerahkan waktunya untuk sastra dan kepenulisan. Dalam beberapa tulisan, penulis menyodorkan nama Ersis Warmansyah Abbas, seorang dosen yang kebetulan pula berasal dari tanah Sumatra. Baginya, belajar menulis adalah dengan menuliskannya. Ersis bahkan menyediakan rumahnya, beberapa komputer, dan jaringan internet untuk dimanfaatkan penulis-penulis muda. Silakan kunjungi blognya, kita akan menemukan karya penulis-penulis pemula yang baru berkarya di sana.

Kegelisahan Udo Z. Karzi mungkin bisa dijadikan satu contoh. Sastrawan yang berasal dari Lampung yang belum lama ini mendapatkan penghargaan nasional atas puisi-puisi berbahasa daerahnya ini lahir dari kegelisahan seorang sarjana ilmu politik. Jalur yang tidak ada sangkut pautnya dengan sastra, telah nyata mampu melahirkan seorang sastrawan dengan penghargaan nasional.

Di luar kampus, kehidupan sastra bisa pula berkembang dengan adanya komunitas-komunitas sastra. Kumpulan anak-anak muda yang dimotori oleh beberapa orang penulis atau sastrawan yang sering berkumpul dan mendiskusikan karya sastra atau jenis tulisan yang lain. Pada kesempatan yang lain mereka memamerkan tulisannya, atau membacakan karyanya. Bisa juga dengan mengadakan pertunjukan pembacaan atau penampilan karya mereka.

Memang perlu jalan panjang untuk menghidupkan sastra dan untuk melahirkan sastrawan. Di lingkungan pendidikan pun, tidak banyak guru yang sempat atau tahu mengajarkan bagaimana cara mengirimkan tulisan ke sebuah surat kabar atau majalah. Masalah teknis bagaimana mengirimkan karya sastra ke surat kabar atau ke majalah dan bagaimana mengecek karyanya dimuat atau tidak memerlukan jaringan. Tidak semua orang mampu mengikuti berbagai surat kabar atau majalah yang beredar di Kalimantan Tengah.

Mengenai kemiskinan, menurut hemat penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kreativitas. Banyak orang miskin yang kreatif di samping orang miskin yang tidak kreatif. Begitu pula banyak orang kaya yang tidak kreatif di samping orang kaya yang kreatif. Sastra lebih banyak lahir dari adanya waktu luang atau kesempatan. Lingkungan tentu saja sangat berpengaruh dalam hal ini.

Adanya waktu luang yang banyak merupakan salah satu peluang untuk lahirnya berbagai kegiatan kesenian termasuk sastra. Kesibukan bekerja menghilangkan waktu luang. Akan tetapi, waktu luang yang tidak dimanfaatkan akan menyebabkan orang membuang-buang waktu dengan kegiatan yang tidak berguna. Selanjutnya tinggal bagaimana orang memanfaatkan waktu luang itu.

Mahasiswa dan pelajar adalah kelompok yang memiliki waktu luang paling banyak. Hanya saja sering kali lingkungan tidak memberi kesempatan mereka untuk mengembangkan potensinya dalam bidang kepenulisan. Keluar masuknya orang dalam dunia sastra demikian cepat secepat perubahan waktu. Anggota komunitas sastra di mana pun mengalami perputaran yang cepat. Waktu pula yang menyeleksi mereka.

Akan halnya di Kalteng, adakah komunitas sastra yang sedang hamil sastrawan atau bahkan sudah melahirkan sastrawan? Karena yang terdokumentasikan oleh Puji Santosa adalah sastrawan angkatan 66 yang diorbitkan oleh H.B. Jassin. Apakah dalam waktu 40 tahun tidak lahir seorang pun sastrawan di Kalimantan Tengah?

Harapan Puji Santosa agar media massa membuka ruangan seni budaya itu bagus. Masalahnya adalah adakah yang menjadi penulisnya? Siapa yang akan mengisi ruang seni budaya itu? Apakah kita akan berharap kepada tiga orang sastrawan yang sudah disebutkan oleh Puji Santosa?
Penulis sebagai seorang guru sastra, selalu mengalami kesulitan jika ingin memberikan contoh-contoh karya sastra penulis Kalimantan. Koleksi di perpustakaan sekolah tidak memasukkan karya-karya mereka.

* Willy Ediyanto, Praktisi Pendidikan
http://willyedi.wordpress.com

Sumber: Borneonews, Senin, 25 Agustus 2008

Sunday, August 24, 2008

Wacana: Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F Rahardi

-- Hamsad Rangkuti*

DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, yang tidak dihadiri F Rahardi, saya menganjurkan—dan ini memang tugas saya karena saya diundang untuk itu—agar para pengarang muda tidak menghabiskan perhatian dan waktunya untuk main akrobat dengan kata-kata karena ada kecenderungan pada kaum muda—seperti saya waktu muda—untuk cenderung berakrobat dengan kata-kata (Kompas, 15/7). F Rahardi kemudian menulis tanggapan di media ini berdasarkan potongan ucapan saya yang dia ramu dengan imajinasinya sendiri. Tanggapan jenis itu pernah juga dia tulis mengenai pernyataan saya bahwa ”Sastra = kebohongan”. Nada kedua tulisannya sama, yaitu nada seorang penilik sekolah atau pertanian dengan fatwa-fatwa tegas: ”ini salah, itu kurang bagus, begini, begitu” kepada para guru atau petani yang keringat dan darahnya menjadi satu dengan pendidikan dan tanah pertanian. Sebagaimana guru dan petani Indonesia yang sopan dan rendah hati (boleh juga rendah diri) di hadapan pejabat penilik, saya pun hanya manggut-manggut takzim. Itu saya lakukan pada tindakan F Rahardi untuk ”meluruskan” saya (ini istilah Rahardi sendiri). Kini sang penilik itu dengan lantang menulis lagi di koran ini untuk kembali ”meluruskan saya”. Tapi, karena ini era reformasi dan para petani atau guru tidak selalu harus takzim pada teguran mereka yang gemar menjadi penilik, saya kemukakan beberapa jawaban. Jawaban ini sama sekali bukan tindakan untuk ”meluruskan”: F Rahardi, karena berbeda dengan Rahardi yang dengan gaya penilik berfatwa saya ”jelas salah” dan jenis-jenis itu, saya tidak begitu yakin apakah saya salah atau benar dan Rahardi salah atau benar. Toh, pembaca lebih cerdas dari yang sering kita duga.

Pengarang muda (atau tua) memang tidak sepatutnya main akrobat kata-kata. Entahlah kalau pengarang itu memang mau jadi politikus yang ahli dan gemar akrobat kata-kata. F Rahardi mengatakan bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style. Lepas dari benar tidaknya ucapan dia, para pengarang sejati tidak ada urusannya dengan tren. Apakah Marguez ikut-ikutan tren? Kalau Chairil Anwar ikut-ikutan tren yang ada waktu itu, saya kira sastra Indonesia tidak akan mencatat nama Chairil Anwar sebagai sastrawan hebat. Kalau Rendra juga ikut-ikutan tren tahun 50-an, buat apa kita semua membaca dan menghargai Rendra. Salah satu saran saya buat pengarang muda, juga buat pengarang tua seperti F Rahardi kalau dia masih mengarang, jadilah diri sendiri dan jangan ikut-ikutan tren.

Tren mengutamakan style tentu tidak ada hubungannya dengan akrobat kata-kata. Lagi pula F Rahardi hanya menyederhanakan saja waktu mengatakan bahwa tren dunia mengutamakan style. Dunia atau bukan, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil pergulatan pengarang sejati dengan hidup. Novel Jelinek dan novel-novel Orhan Pamuk adalah novel-novel hebat dan tidak ada pada mereka aksi genit akrobat kata-kata dan mengutamakan style. Begitu juga dengan Naipaul. Semua novel ini sudah beredar terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jadi gampang dicari. Mungkin saya salah contoh karena mereka memang bukan pengikut tren alias kurang trendy.

Ada pernyataan menarik lain dari F Rahardi, yaitu ”Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”. F Rahardi yang menyebut-nyebut Iwan Simatupang tentu ingat esai terkenal Iwan yang berjudul ”Mencari Tokoh bagi Roman” dan pentingnya tokoh bagi sastrawan. Justru soal tokoh inilah yang paling gawat pada sinetron-sinetron kita. Semua tokoh dalam sinetron tidak ada yang kuat dan mengesankan maka plotnya pun membosankan. Sinetron kita mungkin style-nya ikut tren, tapi tokoh-tokohnya payah sampai-sampai hal dasar tokoh pun tidak jelas (latar belakang, pekerjaan, etnik, pendidikan, hobi, dsb) sampai sinetron berakhir.

Mengenai fatwa Rahardi bahwa saya di Palangkaraya itu, seyogianya cukup bercerita bagaimana proses kreatifnya berlangsung, tentu saya terima dengan takzim. Tentu dia berfatwa begitu karena saya bukan orang sekolahan dan hanya otodidak. Lain kali kalau ada undangan untuk cerita proses kreatif, saya akan cerita proses kreatif. Saya tahu diri hanya akan bicara proses kreatif saja. Di luar itu pasti salah. Dan kalau ada undangan dari sana-sini untuk membicarakan urusan di luar proses kreatif, saya akan menolak dan menyarankan panitia untuk menghubungi F Rahardi saja. Karena, meskipun F Rahardi sama seperti saya sama sekali bukan orang sekolahan (saya hanya sampai SMP), dia jauh lebih pandai daripada saya, lebih canggih, lebih teoretis, dan lebih trendy.

Yang paling membuat saya kagum dan takjub dalam tulisan Rahardi adalah pernyataannya bahwa saya cemburu kepada sastrawan muda, khususnya Triyanto dan Afrizal. ”Cerpen Triyanto dan esai Afrizal Malna, inilah, dugaan saya, (saya = F Rahardi) yang membuat Hamsad melontarkan ‘Akrobat Kata-kata‘ itu.” Untuk urusan ini, mohon janganlah F Rahardi suka menduga-duga. Afrizal dan Triyanto menulis bukan baru kemarin sore. Sewaktu saya masih menjadi Pemimpin Redaksi Horison, saya berkali-kali memuat tulisan mereka, jadi mengapa saya harus cemburu dan mengapa baru sekarang saya buka suara! Kalau F Rahardi menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal Malna hanya akrobat kata-kata, itu sepenuhnya urusan dia dan tak perlu membawa-bawa saya. Kalau F Rahardi menganggap Afrizal dan Triyanto pengarang muda, lantas siapa pengarang tua selain dia dan saya? Atau Rahardi juga masih mau mengaku muda?

Apakah Rhoma Irama kebakaran jenggot karena cemburu kepada Inul atau karena memang ada yang membakar jenggotnya, itu urusan dia dan saya juga tidak tahu apa penyebabnya karena tidak bertanya. Apakah F Rahardi kebakaran jenggot (saya bohong—istilah F Rahardi berimajinasi—karena Rahardi tidak punya jenggot) pada pernyataan saya karena cemburu kepada saya yang cuma bakat alam, atau karena mencari simpati alias cari muka Triyanto yang sekarang menjadi pengurus Pena Emas, itu tak mau saya bahas. Buat apa bergunjing kalau kita bisa berkarya. Tapi, mengatakan saya jealous alias cemburu kepada Afrizal Malna atau Triyanto? Please dong ach (pakai bahasa Inggris juga dong). Pertama, saya tidak pernah menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal akrobat kata-kata (ini sepenuhnya anggapan Rahardi); kedua, karena anggapan itu anggapan pribadi F Rahardi, maka kecemburuan juga boleh jadi kecemburuan pribadi Rahardi yang seolah-olah mau ditimpakan kepada saya.

Apakah kekuatan novel Ayu Utami tentu masih bisa diperdebatkan. Apakah kekuatannya ada pada style (seperti kata Rahardi), pada bagian Prabumulih (seperti kata saya), pada politik propaganda terpadu (seperti kata Katrin Bandel), atau pada urusan seksnya (seperti dibicarakan banyak orang). Saya kira pembahasan masalah ini urusan orang sekolahan atau urusan F Rahardi meski dia bukan orang sekolahan.

Saya berpendapat dan saya yakini bahwa sastra yang baik bukanlah akrobat kata-kata. Boleh saja F Rahardi punya pendapat berbeda. Adapun akrobat atau cari perhatian tentu tergantung dari konteksnya dan tergantung dari kualitasnya. Ketika ada acara gamelan atau konser musik klasik, dan orang-orang sedang menikmatinya, bisa saja F Rahardi mencoba datang dengan kelompok drumband melagukan mars lalu melintas di sana. Kadang-kadang kita bisa saja berakrobat dengan kata-kata seperti dilakukan F Rahardi dalam tulisannya menjelaskan ini dan itu. Sebatas akrobat kata-kata mungkin belum terlihat. Tapi, coba dipraktikkan dan ha ha ha setelah itu mari kita bicarakan lagi hasilnya.

Terakhir, dan ini penting, adalah soal kebohongan dalam sastra. Saya pernah mengemukakan bahwa ”sastra = kebohongan”. F Rahardi sebagaimana dia katakan pernah ”meluruskan” (sumpah, kata ”meluruskan” ini dari Rahardi sendiri lho). Maka, ketika penerbit meminta saya memasukkan tulisan Rahardi di buku saya, saya setuju saja agar semua orang bisa membaca tindakan ”meluruskan” itu yang tentu saja tidak ada gunanya. Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.

Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu. Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting. Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta. Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”. Itu sebabnya, saya tidak pernah menganggap F Rahardi seorang germo karena toh karya sastra = kebohongan. Entah kalau Rahardi sendiri menganggap bahwa dia tidak berbohong dan dirinya memang benar-benar germo.

Sudah ah, saya mau kembali berbohong, eh menulis karya sastra, kebohongan yang indah.

* Hamsad Rangkuti, Cerpenis, Pemenang Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB