ARKEOLOGI Indonesia memang dunia yang sepi dari ”tepuk tangan”. Tak banyak orang yang mau mengapresiasinya. Tapi, bukan itu yang mendorong Bambang Sulistyanto (50) melakukan semacam reaktualisasi atas penelitian-penelitian kearkeologiannya.
Ketika kebanyakan arkeolog Indonesia sibuk sendiri dengan dunia kecil mereka, dunia yang antara lain dicirikan oleh temuan-temuan artefak dan benda-benda warisan budaya masa silam, Bambang mencoba berdiri di sisi yang lain. Tiap kali berhadapan dengan kelampauan, lelaki kelahiran Madiun, 17 Desember 1958, ini berusaha menafsir, memaknai, dan merekat hasil-hasil temuannya dengan problematika kehidupan hari ini.
Semangat untuk memaknai itu terlihat jelas jejaknya dalam tulisan-tulisannya di majalah Intisari pada tahun 1990-an. Selama satu dasawarsa (1990-1999), tulisan-tulisanya ikut mewarnai majalah berita bulanan yang merupakan cikal bakal kelompok Kompas-Gramedia ini. Di sana, Bambang Sulistyanto—biasa disingkat B Sulist—membuat laporan khas dalam bentuk reportase yang dipadukan kegiatan survei ataupun penelitian-penelitian tentang dunia arkeologi dan antropologi yang ia geluti.
Jejak itu bermuara pada tesis S-2-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM, 1999), yang menguak hasil penelitian tentang mitos balung buto (tulang raksasa) dalam kaitannya dengan pemaknaan benda cagar budaya di situs Sangiran, Jawa Tengah. Belakangan, hasil penelitiannya itu diterbitkan sebagai buku dengan judul Balung Buto: Warisan Budaya dalam Perspektif Masyarakat Sangiran (Kunci Ilmu, 2003).
Buah dari serangkaian upaya pemaknaan itu berpuncak pada disertasi doktornya di Universitas Indonesia (UI), yang diujikan di Kampus UI Depok, Selasa (8/7). Dengan promotor Profesor Mundardjito dan Daud Aris Tanudirjo selaku ko-promotor, Bambang berhasil melewati batu ujian dari tim penguji dan berhak atas gelar doktor di bidang arkeologi.
Lewat disertasi berjudul ”Resolusi Konflik dalam Manajemen Warisan Budaya Situs Sangiran”, B Sulist mengingatkan semua pihak bahwa pengelolaan warisan budaya haruslah menempatkan masyarakat sebagai unsur penting. Tanpa pemberdayaan masyarakat di sekitarnya, eksploitasi sumber daya budaya hanya akan melahirkan konflik tak berkesudahan.
Lewat penelitiannya di Sangiran, B Sulist tak sekadar mengidentifikasi penyebab konflik kepentingan dalam pengelolaan situs warisan budaya. Ia juga berhasil mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat pengelola warisan budaya dalam memaknai benda cagar budaya, sekaligus cara-cara mereka bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang dimiliki tersebut.
”Penelitian mengenai sistem pengetahuan seperti ini sangat penting karena dapat mengungkapkan nilai-nilai utama yang mereka anut. Dengan begitu, kita mengetahui perasaan dan pikiran mereka dalam mempresentasikan kebudayaan terhadap lingkungan sosial, budaya, dan lingkungan alam sekitar mereka,” kata Bambang.
Menurut dia, konsep pengelolaan warisan budaya selama ini lebih berorientasi pada kepentingan negara. Model pengelolaan yang dimonopoli oleh pemerintah (baca: negara) hanya akan menimbulkan situasi yang tidak kondusif. Rawan konflik! Sebab, kebijakan sepenuhnya berada di tangan pemerintah dan kurang memerhatikan kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Model pengelolaan semacam ini tak bisa terus dipertahankan. Pengelolaan warisan budaya di masa depan haruslah didasarkan pada semangat untuk kepentingan publik.
Konsekuensi atas perubahan model dan konsep pengelolaan ini tentu saja menuntut perubahan paradigma para aparatur negara yang terlibat di dalamnya. Bukan saja mereka tidak lagi memosisikan sebagai ”abdi negara” dan beralih ke ”abdi masyarakat”, tetapi juga me- nuntut perubahan sikap pemerintah dari legislator menjadi mediator.
Model kajian Bambang yang membenturkan konsep pengelolaan warisan budaya yang lebih berorientasi pada kepentingan negara dengan arkeologi untuk masyarakat (public archaeology), melengkapi ”pemberontakan”-nya (meminjam istilah Mundardjito) sebagai ”abdi negara”. Akan tetapi, ”Ini semacam pertanggungjawaban sosial seorang arkeolog terhadap warisan budaya bangsa,” katanya.
Sosok bersahaja
Bambang Sulistyanto adalah sosok peneliti yang amat bersahaja. Pilihan hidup sebagai arkeolog ia putuskan begitu lulus SMA Negeri 3 Madiun (1977) dengan pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di Jurusan Arkeologi, UGM.
Begitu merampungkan pendidikan S-1 (1985), kegiatan penelitian yang sudah ia geluti semasa kuliah makin mendapat ruang setelah diterima bekerja sebagai tenaga peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta. Belum setahun bekerja, Bambang bahkan sudah dipercaya menjadi ketua tim peneliti dalam suatu penelitian arkeologi klasik di daerah Tulungagung, Jawa Timur.
Sejak itu, sudah tak terhitung jumlah situs arkeologis yang ia kunjungi untuk diteliti, lebih dari 30 di antaranya tercatat sebagai ketua tim. Hasil-hasil penelitian itu pun sudah dipublikasikan lewat berbagai media.
Forum pertemuan ilmiah arkeologi yang diselenggarakan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) tiap dua kali setahun, di mana ia pernah menjabat sebagai wakil ketua, hanyalah ruang kecil tempat Bambang memublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Masih ada pertemuan- pertemuan antarkalangan sejawat, seperti analisis hasil penelitian arkeologi, diskusi ilmiah arkeologi, rapat evaluasi hasil penelitian arkeologi, serta seminar-seminar yang dilakukan berbagai pihak.
Keterampilan Bambang menuliskan laporan penelitian dalam bentuk feature ataupun reportase, dan dimuat di media cetak untuk pembaca umum, oleh sejumlah rekan seprofesinya dipandang sebagai bagian dari upaya pemasyarakatan bidang arkeologi bagi masyarakat luas. Dengan begitu, hasil- hasil penelitian arkeologi tidak berdiri di atas menara gading keilmuan semata. Arkeologi juga bisa dinikmati—dalam arti sempit dan luas—oleh bidang ilmu lain dan masyarakat pada umumnya.
Ketika dipercaya menduduki jabatan struktural sebagai Kepala Balai Arkeologi Banjarmasin (1996- 2000), Bambang tetap rajin turun ke lapangan untuk berbagai kegiatan penelitian. Wilayah Kalimantan yang sebelumnya hampir-hampir tak tersentuh penelitian arkeologi, ia jelajahi, hingga ia ditarik ke Jakarta (2000) untuk menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Puslitbang Arkeologi Nasional.
”Menduduki jabatan struktural sungguh mengungkung,” katanya sekali waktu. ”Sudah 13 tahun saya hidup terpisah dari anak dan istri. Mereka tetap di Yogya, sementara saya selalu dipindah-pindah,” tambahnya.
Setelah menyelesaikan studi doktornya di UI, Bambang berharap bisa kembali bertugas di Yogyakarta, dekat dengan istri dan tiga anaknya. ”Saya ini peneliti,” katanya bangga dengan status ”fungsional”-nya itu, meski dunia yang ia geluti tersebut tak banyak dilirik orang, kurang diperhatikan, dan sepi dari ”tepuk tangan”.... (kum/ken)
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Juli 2008
1 comment:
mau tanya kalo tulisannya pak bambang tentang perkebuan teh di sumatera adagak yah???mohon bantuannya
Post a Comment