SENJA di selasar Masjid Salman ITB. Sekumpulan orang duduk melingkar. Seorang di antaranya duduk dekat white board. Sementara seorang lagi membacakan sepenggal kisah dari cerita pendek. Pembicaraan tentang semiotika pun dimulai.
Begitulah bila anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Bandung mengisi kegiatan rutinnya setiap Kamis, pukul 16.00-18.00 WIB di selasar Masjid Salman ITB, Bandung. FLP Cabang Bandung hanyalah satu dari 80 cabang FLP yang terdapat di berbagai kota/kabupaten di Indonesia.
Organisasi yang semula hanya beranggotakan 30 orang ini, berdiri pertama kali 22 Januari 1997 di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Kampus UI Depok. Diskusi pertama seputar membaca, menulis, dan menyepakati dibentuknya wadah bernama Forum Lingkar Pena yang kemudian sangat populer dengan sebutan FLP.
"Sejak itulah kegiatan kita mulai terarah. Selain kegiatan rutin pekanan dan bulanan, ada juga bengkel penulisan kecil-kecilan sambil merekrut anggota," ujar Ketua Umum FLP Pusat M. Irfan Hidayatullah, mengisahkan awal lahirnya FLP.
Pada 1998 Muthi Masfufah mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan kemudian Sangata. FLP Kaltim inilah yang merupakan kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP.
Setahun kemudian banyak permintaan dari daerah untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap provinsi. Hingga pada tahun 2000 melalui majalah Annida yang saat itu dipimpin Helvy Tiana Rosa, diadakan rekrutmen terbuka. Sekitar 2000 orang mengajukan diri menjadi anggota.
Ibarat musim bunga, FLP terus bermekaran di berbagai wilayah dan daerah. Malah, FLP juga berdiri di luar negeri seperti di Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Sudan, Jepang, Korea, dan Pakistan. Terakhir FLP juga berdiri di Hongkong dan menurut rencana akan dibuka pula di Singapura.
Habiburahman Saerozy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) bahkan membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang) Mesir.
"Jadi, kalau ditotalkan jumlah FLP ada 28 kepengurusan wilayah (provinsi), 80 kepengurusan cabang (kota/kabupaten), dan 8 kepengurusan wilayah luar negeri. Dengan jumlah anggota mencapai lebih kurang 5.000 orang," kata Irfan.
Pengurus dan anggota FLP adalah pelajar Indonesia yang sedang studi di negara-negara tersebut dan bersedia membuka cabang FLP di negara itu. Seperti FLP Amerika, Kanada, Jepang, dan negara lainnya. Yang unik, hampir sebagian besar anggota FLP Hongkong adalah para pekerja migran.
"Pada dasarnya, FLP itu organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama. Mayoritas anggotanya memang Muslim, tetapi ada juga non-Muslim yang bergabung. Sebab, niat FLP adalah membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah," ungkap Irfan.
FLP juga tidak mensyaratkan anggotanya sebagai penulis yang sudah jadi. Ada tiga kriteria anggota FLP yakni anggota dengan kemampuan dasar nol, anggota dengan kemampuan dasar minimal, anggota yang sudah terbiasa menulis, dan anggota yang sudah menjadi penulis.
"Ibu Pipiet Senja itu merupakan anggota FLP yang sudah jadi penulis. Tapi banyak juga anggota FLP yang awalnya tidak bisa menulis tetapi kemudian bisa menjadi penulis," ujar Irfan.
Semangat kepenulisan
FLP mengusung visi membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. Berdasar pada visi tersebut, kegiatan bulanan FLP diisi dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis, atau cendekiawan.
Kegiatan rutin penulisan digelar setiap minggu. FLP juga bergiat mengadakan diskusi dan seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer. Digelar pula bengkel-bengkel penulisan, aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa, menerbitkan buletin dan majalah, membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya.
Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kampanye gemar membaca dan menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren, dan universitas di seluruh Indonesia. Selain itu, secara berkala FLP mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum. FLP juga memberikan FLP Award dan membuka program Rumah Cahaya (rumah baca dan hasilkan karya) di berbagai daerah di Indonesia, serta mengadakan "Kampanye Sastra untuk Kemanusiaan".
"Dengan semua program tersebut FLP ingin mendorong agar setiap anggotanya bergiat menulis dan melahirkan karya. Sampai-sampai FLP juga memasang target harus bisa menerbitkan buku minimal 5 karya para anggota per bulannya," ujar Irfan.
FLP juga organisasi yang mengutamakan transfer ilmu antarsesama anggotanya. Sesuai dengan poros dasarnya yakni organisasi pengaderan, para anggota FLP rajin berbagi ilmu, mengadakan pelatihan, berdiskusi, juga kontribusi terhadap masyarakat dalam bentuk kampanye membaca dan menulis.
"Pendeknya, FLP hadir mengobarkan semangat kepenulisan yang kemudian hasil dari penulisan tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat," ujar Irfan menambahkan.
Sampai saat ini terdapat sekitar 5 ribu anggota dan telah menerbitkan 600 karya. Sebagian besar karya-karya mengusung tema cinta dan kekuatan Ilahi dalam berbagai ruang gerak kehidupan sehingga banyak kritikus sastra dan novel mengategorikan karya-karya penulis FLP sebagai karya sastra Islami.
Buku-buku karya FLP tersebut booming di masyarakat dan menempati rak-rak buku bestseller Indonesia. Malah, novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburahman Saerozy (FLP Mesir) disebut-sebut sebagai karya monumental anggota FLP dalam "meruntuhkan" paradigma novel-novel beraliran cinta.
"Meski demikian, kita tetap tidak ingin keberhasilan AAC itu membuat penulis maupun anggota FLP lainnya bersikap jumawa. Oleh karena itu, pada Munas dan Silnas 11 Juli ini kita akan membedahnya dengan sangat kritis. Termasuk kelemahan-kelemahan AAC agar terlahir kembali karya-karya yang lebih bagus," tutur Irfan.
Kerja sama
Untuk jaringan, FLP menjalin kerja sama dengan berbagai penerbit. Bahkan, semakin banyak penerbit yang meminta anggota FLP untuk bekerja sama. Terutama untuk memenuhi ketersediaan buku-buku baru. Biasanya, bagi anggota yang berhasil menerbitkan buku, 10-15 persen dari royaltinya diberikan untuk pengembangan komunitas. Sementara untuk lebih menguatkan eksistensinya kepada masyarakat dan industri perbukuan, FLP mensyaratkan penerbitan yang menerbitkan karya-karya anggota FLP harus selalu mencantumkan logo FLP pada buku tersebut.
Namun, sama halnya dengan komunitas lain, FLP yang sudah "menggurita" pun tetap terkendala dana. Terutama bila akan mengadakan kegiatan-kegiatan besar seperti silaturahmi nasional (silnas) dan musyawarah nasional (munas) yang akan digelar pada 11 Juli ini. Anggaran yang dibutuhkan mencapai puluhan juta dan ini sedang diupayakan terus oleh panitia Silnas 2008.
Silnas dan munas merupakan tradisi FLP sejak tahun 2002. Kegiatan ini diisi dengan pertemuan wakil dari pengurus FLP wilayah/cabang di seluruh Indonesia dan perwakilan luar negeri. Hadir pada waktu itu, kata Irfan, sekitar 100 orang termasuk pengurus dari Mesir dan Belanda.
Sementara itu, Munas dan Silnas 2005 di Yogyakarta, hadir sekitar 200 pengurus dari seluruh Indonesia, dan perwakilan dari Mesir, Jepang, dan Sudan. Saat itu juga disahkan AD/ART FLP dan pemilihan ketua umum baru. Terpilih M. Irfan Hidayatullah, mantan Ketua FLP Jawa Barat, menggantikan Helvy Tiana Rosa yang telah menjabat sebagai ketua umum dari tahun 1997-2005.
Dari semua perjalanan FLP ini, penyair Indonesia Taufik Ismail mendefinisikan FLP sangat fenomenal. Menurut Taufik, FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia. Nah, siapakah yang ingin menjadi pemberi hadiah bagi Indonesia? Bergabunglah dengan FLP. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 2 Juli 2008
No comments:
Post a Comment