Saturday, May 01, 2010

[Teroka] Sastra dan Wisata Bibliopolis

-- Muhidin M Dahlan*


IMAGINED PLACES. Tempat-tempat imajiner. Sudah lama buku karya Michael Pearson ini saya kenal tampangnya. Sekadar kenal angin. Tepatnya sekira 1997 sewaktu disebut-sebut oleh Zainal Arifin Thoha (alm) dalam zikir dan salawatan.

Dalam bacaan yang lebih khusyuk belakangan, terpetik dari buku ini kesimpulan awal sekaligus akhir bahwa setiap penulis dan pengarang pastilah, selain waktu khusus, memiliki tempat dan sekotak ruang di mana tali pengembaraan imajinasi terpacak dan terulur. Di situ ada pilihan untuk berhenti dan merekam. Rekaman tentang penggambaran rinci dan tubrukan dari serpihan peristiwa yang ditransendensikan menjadi cerita.

Dan, demikianlah saya kemudian mendengar ada orang yang suka sekali menjadikan bak mandi sebagai kubangan imajinasi, seperti yang dilakukan Archimedes di kota Syracuse, melahirkan proklamasi pengetahuan terpenting: Eureka! Dan, Karl Marx dengan dingin membiarkan satu per satu keluarganya mati kelaparan lantaran bertahan dalam tempat pemujaan, Perpustakaan London, untuk tujuan agung menuntaskan Das Kapital.

Tapi, Michael Pearson bukan pengarang. Bukan pencipta. Ia ”hanya” pembaca. Tapi, ia ingin lebih dari pembaca yang umum. Pearson mencoba keluar dan meloncat dari bacaan tentang apa yang diceritakan pengarang dalam karya-karyanya.

Bagi Pearson, buku-bukulah yang membuatnya selalu tergoda mendengar suara-suara lain yang tak selamanya seragam. Buku yang memperkenalkannya dengan orang-orang yang selalu baru dan tempat-tempat yang tak dikenal.

Pengarang dan kota

Langkah pertama yang dilakukannya adalah menyeleksi beberapa karya pengarang dan tempat-tempat di mana ingatan dan mitos terekam. Ia mencermati secara serius karya yang mana dari pengarang siapa yang menjadi ”juru kunci” sebuah kota.

Maka, muncul kemudian nama Foulkner dan Missisipi, Robert Frost dan Vermont, Hemingway dan Key West/Florida, Steinbeck dan California, Mark Twain dan Hanibal/Missouri, serta Flannery O'Connor dan Georgia.

Pearson adalah pembaca yang daya tahannya lebih. Ia jelajahi semua kota, tempat, mitos-mitos diciptakan oleh pengarang-pengarangnya. Pearson tidak ingin seperti yang dikatakan anaknya ketika ditanya temannya, apa pekerjaan ayahnya dan menjawab: ”pekerjaan ayahku adalah membaca buku”.

Pearson ingin lebih dari anggapan anaknya sebagai pembaca klangenan, seperti kebiasaan bangsawan atau elite baru (membaca sebagai kerja sampingan membuang penat). Ia berusaha menjelajahi, menapaki jalanan berbatu, mencium udara kota, mencecap ulang percakapan-percakapan tokoh-tokoh cerita, mencicipi makanan, dan yang lebih penting dari itu menemukan kehidupan yang nyata dari sebuah fantasi.

Berbeda dengan petualang biasa yang dipandu oleh peta wisata, Pearson memercayakan sepenuhnya karya fiksi sebagai pembimbing langkahnya menyusuri seluruh ceruk kota yang pernah digambarkan oleh pengarang pilihannya. Sungguh, Pearson percaya tanpa syarat bahwa pengarang besar selalu membaca ”sejarah kecil dengan wawasan universal”. Dan, tanpa disadarinya, metode membaca urakan dan kadang aneh yang dipilihnya, telah membuat Pearson menjadi pembaca buku sekaligus pemandu wisata bibliopolis.

Ia memberikan pemaknaan lain dari apa yang disebut ”Amerika”. Ia menuntun dunia untuk melihat ”Amerika” dari mata hati para pengarangnya yang dengan segala jerihnya menghidupkan cerita-cerita kehidupan kota dari sebuah zaman yang silam. Dan, setiap kota selalu memiliki penutur yang lihai; penutur yang membangun batu bata kota dengan sihir kata-kata, intensitas percakapan, tokoh-tokoh fiktif yang hidup, serta mitos-mitos yang mengelilingi pengarangnya.

Mencari Indonesia

Jika Amerika memiliki Pearson, Indonesia belum menemukan bibliopolisnya. Memang ada penulis catatan perjalanan di Indonesia yang mumpuni, mulai dari Adi Negoro dengan Melawat ke Barat, Gerson Poyk dengan Catatan Perjalanan dari Padang Sabana Timor dan Sumba dan Catatan Perjalanan Daendels.

Ada juga nama Jassin. Tapi ia semata pembaca, walau sebagian membaptisnya sebagai paus sastra Indonesia. Jassin bukanlah tipikal pejalan yang keras.

Indonesia punya setumpuk karya yang intens merekam hiruk-pikuk kehidupan sebuah kota dalam masa tertentu. Bila berjalan mengelilingi Surabaya, misalnya, bisa merujuk ke beberapa prosa yang menjadi ”juru kunci”, antara lain: Surabaya-nya Idrus, Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, dan Kembang Jepun karya Remi Silado.

Untuk mendapatkan suasana malam yang menggairahkan di Banyumas bisa meminta panduan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dan, jangan lupa, untuk memasuki Rangkasbitung bawalah serta Max Havelaar karya Multatuli.

Kita masih bisa merinci dengan cermat dan selektif daftar karya mana saja yang dianggap menjadi ”juru kunci” sebuah kota yang bisa dijadikan pandu wisata bibliopolis; sebuah penjelajahan kota dari pandangan fiksi.

* Muhidin M Dahlan, Kerani di www.indonesiabuku.com Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010

1 comment:

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) said...

[I read in Kompas about "sastra bibliopolis" (I found it online in a blog named Cabik Lunik, it is in Bahasa Indonesia)]