-- Rekson Silaban
MEMBURUKNYA nasib buruh sebagai akibat sistem kerja kontrak (outsourcing) telah membuat prioritas utama perjuangan serikat buruh di seluruh dunia kini terfokus pada perlawanan terhadap sistem kerja kontrak.
Semaraknya penggunaan sistem kerja kontrak di berbagai negara tak bisa dilepaskan dari realitas persaingan ekonomi global, yang menganggap peningkatan daya saing dan produktivitas hanya mungkin dicapai apabila ada kebijakan penyesuaian terhadap pasar kerja yang lebih efisien dan murah. Pikiran ini diterjemahkan kaum neo-liberal sebagai sistem hubungan kerja yang memberikan kemudahan melakukan perekrutan dan pemecatan.
Bank Dunia pada akhir 2008 melansir survei kontroversial tentang peringkat negara yang paling efisien dalam perekrutan dan PHK. Semakin sedikit biaya PHK, semakin bagus buat investor asing. Setelah mendapat kritikan besar dari serikat buruh dan ILO, survei diralat. Bank dunia akhirnya hanya menggunakannya sebagai ”internal working paper”, bukan untuk bahan referensi pembuatan kebijakan pasar kerja.
Sistem kerja kontrak telah jadi keniscayaan ekonomi dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi dilema karena masih sangat membutuhkan investor asing, khususnya di industri manufaktur padat karya sebagai pelopor utama dan pelaku paling agresif kerja kontrak, di samping sektor komersial, asuransi, dan perbankan. Respons yang dilakukan negara-negara Skandinavia, misalnya, adalah dengan memperkenalkan kombinasi pasar kerja yang longgar dengan penguatan jaminan sosial. Mereka menyebutnya flexecurity (fleksibility and security), artinya, pasar kerja bisa fleksibel, tetapi buruh harus memiliki jaminan sosial yang kuat.
Lebih fokus
Kampanye serikat buruh Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap sistem kerja kontrak sebaiknya tidak hanya berhenti di kalimat ”tolak sistem kerja kontrak!” karena, selain membingungkan publik, tidak mungkin Indonesia sebagai bagian dari sistem ekonomi global bebas dari sistem kerja kontrak.
Ada beberapa pilihan yang tersedia untuk memperlemah praktik kerja kontrak. Pertama, memperjelas definisi pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan pendukung (non-core business). Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, sistem kerja kontrak hanya diizinkan untuk pekerjaan pendukung, tetapi dalam praktiknya banyak penyimpangan akibat tidak adanya sanksi hukum dan lemahnya pengawasan.
Untuk membendung eskalasi perluasan sistem kerja kontrak ke semua ranah pekerjaan, sudah waktunya gerakan buruh mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan yang menetapkan secara tegas jenis pekerjaan yang dilarang di-outsourcing sesuai kelompok lapangan usaha industri.
Misalnya, di sektor perbankan, harus ada penetapan mana pekerjaan utama dan pendukung. Dengan penetapan ini akan lebih mudah bagi pengusaha, buruh, dan pemerintah daerah memantau penyimpangan sekaligus menghentikan pelanggarannya. Sekarang ini, setiap daerah memiliki tafsir berbeda atas sistem kerja kontrak, diperburuk lagi dengan adanya izin kerja kontrak yang bisa dikeluarkan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota. Pemda sering tak mengetahui berapa banyak perusahaan pengelola kerja kontrak yang beroperasi di daerahnya dan kesulitan mengawasi karena pemiliknya ada di Jakarta atau di ibu kota provinsi.
Kedua, pengawasan tenaga kerja sebaiknya dilakukan secara tripartit, mengingat praktik pengawasan selama ini tidak berfungsi maksimal setelah pengawasan jadi kewenangan pemda. Tak memadainya jumlah tenaga pengawas, kurangnya pendidikan pengawas, masih kuatnya praktik korupsi, dan meluasnya jumlah perusahaan skala kecil dan menengah membuat pengawasan tidak berjalan efektif bila hanya dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, serikat buruh harus lebih fokus dan detail mendefinisikan alternatif sistem pasar kerja yang lebih bagus bagi buruh. Hanya berteriak ”tolak sistem kerja kontrak!” tak menyelesaikan apa pun bila tak memperkenalkan alternatif yang masuk akal.
Keempat, serikat buruh perlu melakukan refleksi serius atas meluasnya fragmentasi gerakan buruh saat ini. Dari pengalaman internasional, gerakan serikat buruh akan memiliki daya tawar politik kuat bila mereka bersatu. Teriakan serikat buruh akan meredup bila diteriakkan secara sporadis, apalagi dengan jumlah massa kecil. Serikat buruh juga terancam kehilangan relevansinya jika tak bisa melakukan perubahan nasib buruh.
Selain keempat hal di atas, Rakernas Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) 2008 juga merumuskan bentuk perlawanan terhadap sistem kerja kontrak, di antaranya praktik kerja kontrak harus diikuti penguatan jaminan sosial dengan memperkenalkan tunjangan pengangguran, jaminan kesehatan seumur hidup, dan jaminan hidup layak. Sistem kerja kontrak tak boleh diberlakukan untuk manusia karena buruh bukan barang dagangan, seperti sejak awal dikumandangkan ILO dalam deklarasi pendiriannya: ”labor is not commodity!”.
Perusahaan sistem kerja kontrak yang bisa beroperasi adalah perusahaan pemborongan pekerjaan. Perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan pendukung kepada pihak lain karena motif lebih profesional bukan karena alasan menghindari pesangon dan jaminan sosial. Perlawanan lain: dengan menetapkan gaji buruh kerja kontrak lebih tinggi ketimbang pekerja permanen.
Alasannya, umumnya pekerja kontrak adalah buruh kontrak yang tak mendapat pesangon. Perbedaan upah setidaknya 8,3 persen/bulan. Angka ini lahir dari logika bahwa 8,3 persen/bulan dikalikan 12 bulan akan menghasilkan gaji 100 persen atau sama dengan gaji sebulan. Selisih satu bulan ini adalah kompensasi pengganti pesangon. Sistem pengupahan seperti ini akan mengurangi minat pengusaha menggunakan pekerja kontrak karena biaya yang dikeluarkan jadi sama besarnya.
Izin yang dikeluarkan dinas tenaga kerja untuk bisnis kerja kontrak harus bisa diakses publik karena banyak izin yang dikeluarkan menyimpang dari isi UU No 13/2003. Dengan keterbukaan ini, serikat buruh bisa melakukan perlawanan lewat hak uji materi di Pengadilan Tata Usaha Negara bila ada penyimpangan.
* Rekson Silaban, Presiden KSBSI
Sumber: Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010
No comments:
Post a Comment