Tuesday, May 04, 2010

Refleksi Kebijakan Ujian Nasional: Tengoklah Ruang-ruang Kelas Anak-anak Kita

-- Elin Driana

HATI saya miris menyaksikan reaksi siswa-siswa SMA dan sederajat yang gagal ujian nasional melalui tayangan stasiun-stasiun televisi di Tanah Air. Beberapa siswa tampak histeris, bahkan hingga menangis berguling-guling di tanah. Ada pula yang merusak sekolah mereka sebagai bentuk luapan kekecewaan. Yang lebih menyedihkan lagi, masih ada siswa yang mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri karena dinyatakan tidak lulus salah satu mata pelajaran (Kompas.com, 28/4/2010).

Apakah hal ini semata-mata terjadi karena lemahnya mental para siswa dalam menghadapi kenyataan gagal dalam ujian? Ataukah ada hal-hal lebih mendasar yang semestinya dipahami dan dibenahi agar sebuah kebijakan pendidikan tidak lagi merenggut nyawa peserta didik meskipun tidak secara langsung?

Sepintas memang tampak ada perbaikan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini. Pemerintah akhirnya mengakomodasi tuntutan untuk memberikan kesempatan UN ulang bagi siswa yang gagal. Pada tahun-tahun yang lalu, pejabat-pejabat yang berkepentingan menolak seruan untuk mengadakan UN ulang, antara lain dengan dalih UN ulang tidak mendidik dan merugikan siswa yang telah lulus. Padahal, UN ulang merupakan suatu keharusan untuk kriteria kelulusan yang menggunakan conjuctive model seperti yang diadopsi saat ini, di mana siswa harus lulus keempat kriteria kelulusan yang ditetapkan.

Oleh karena itu, pernyataan bahwa UN bukan penentu kelulusan ataupun pihak sekolah yang menentukan kelulusan siswa, sebagaimana kerap disampaikan oleh para pejabat, merupakan pernyataan yang menyesatkan. Ketidaklulusan siswa akan ditentukan juga oleh ketidaklulusan UN karena conjunctive model yang digunakan saat ini bersifat saling memveto.

Mulai berkembang pula dugaan-dugaan bahwa ketidaklulusan tahun ini meningkat karena menurunnya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Apabila pernyataan tersebut dipandang benar, hal ini menegaskan bahwa memang telah terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun yang lalu. Kenyataan yang kerap dipandang sebagai kasus-kasus khusus saja tanpa evaluasi lebih lanjut.

UN kredibel

Dengan adanya UN ulang dan perbaikan-perbaikan lain dalam pelaksanaan UN apakah menandakan bahwa pembahasan UN cukup dibatasi pada aspek-aspek teknis pelaksanaannya saja? Apakah perbaikan-perbaikan pelaksanaan UN dalam upaya meningkatkan kredibilitasnya mengharuskan kita untuk berhenti mengkritisi UN di tataran kebijakan?

Kita jangan hanya terjebak pada peningkatan nilai rata-rata siswa dari tahun ke tahun ataupun peningkatan angka ketidaklulusan yang dikait-kaitkan dengan kredibilitas pelaksanaan UN. Sudah saatnya kita menelaah pengaruh UN lebih jauh dan lebih dalam lagi ke ruang-ruang kelas tempat anak-anak kita menuntut ilmu. Apakah kebijakan UN mampu menumbuhkan kecintaan siswa pada ilmu pengetahuan, memupuk rasa ingin tahu, mengembangkan kemampuan-kemampuan berpikir tingkat tinggi dan menggali kreativitas?

Dalam perbincangan yang saya lakukan dengan beberapa kepala sekolah dan guru sering muncul keluhan bahwa pelaksanaan UN menghambat terselenggaranya proses-proses pembelajaran yang lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan berbagai potensi kecerdasan mereka. Adanya UN akhirnya memaksa guru-guru untuk kembali pada model pembelajaran yang mengutamakan latihan-latihan soal sehingga proses belajar menjadi tereduksi. Keluhan-keluhan ini semestinya diteliti lebih jauh untuk mengetahui apakah memang ada kontradiksi antara kebijakan UN dan model-model pembelajaran yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka.

Evaluasi kebijakan UN juga perlu dilakukan dengan melibatkan pihak perguruan tinggi dan dunia kerja untuk mengetahui apakah dengan adanya UN siswa semakin memiliki kesiapan untuk menghadapi dunia kampus ataupun dunia kerja ataukah sebaliknya. Apakah dengan adanya UN guru-guru tetap memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan pikiran dan gagasan dalam bentuk lisan ataupun tulisan?

Rendahnya kemampuan mahasiswa, guru, bahkan dosen dalam menulis yang kadang berbuntut pada kasus-kasus plagiat, misalnya, tentunya berakar dari proses-proses pembelajaran yang dilalui sejak di pendidikan dasar.

Sekali lagi, ruang kelas

Di samping meneliti pengaruh UN terhadap proses-proses pembelajaran yang berlangsung di ruang-ruang kelas, kualitas guru-guru pun perlu senantiasa dicermati. Apakah guru-guru kita telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang mengembangkan potensi anak-anak didiknya? Atau masih terjebak pada pembelajaran yang berpusat pada guru?

Bagaimana dengan model-model penilaian hasil belajar yang dilakukan? Telahkah dirancang dengan baik? Apakah masih banyak bergantung pada model-model pilihan ganda? Kalaupun menggunakan pilihan ganda, apakah guru-guru tersebut benar-benar telah mampu membuat soal-soal pilihan ganda yang sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan soal? Apakah guru-guru selalu mengembalikan berkas-berkas pekerjaan rumah (PR), ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester disertai dengan komentar-komentar sehingga siswa mengetahui kesalahan dan kekurangannya?

Dengan beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu sebagaimana tercantum pada Pasal 35 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, apakah guru-guru memiliki waktu yang memadai untuk merencanakan dan menilai hasil pembelajaran dengan baik?

Kegiatan perencanaan dan penilaian hasil pembelajaran sering dianggap remeh sehingga tidak terlalu diperhitungkan dalam komponen beban kerja guru. Kenyataannya, kedua kegiatan tersebut dapat memakan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Seimbangkah tuntutan terhadap guru dibandingkan dengan penghargaan yang diberikan?

Bagaimana dengan kondisi ruang-ruang kelas anak-anak kita? Apakah mereka sudah merasa aman dan nyaman berada di ruang kelas mereka? Ataukah masih dihantui kekhawatiran akan tertimpa atap ataupun tembok yang roboh?

Banyak hal yang semestinya dijadikan bahan evaluasi terhadap kebijakan UN. Evaluasi itu dapat dimulai dari ruang-ruang kelas anak-anak kita agar kita dapat mengetahui permasalahan sesungguhnya yang dihadapi dunia pendidikan di Tanah Air. Kemudian, secara bersama-sama mencari dan merumuskan solusi yang lebih tepat. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru mengorbankan anak-anak kita.

* Elin Driana, Praktisi Pendidikan; Mendalami Bidang Riset dan Evaluasi Pendidikan; Salah Seorang Koordinator Education Forum

Sumber: Kompas, Selasa, 4 Mei 2010

No comments: