Monday, May 03, 2010

Pembatalan UU BHP: Konsep Dulu, Baru Peraturan

-- ST Sularto

PASCA-PEMBATALAN Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan tanpa payung hukum. Benarkah? Pertanyaan itu dijawab beragam reaksi. Salah satunya, Kementerian Pendidikan Nasional akan mengusulkan peraturan pengganti perundang-undangan (perppu) dan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 sebagai pengganti.

Yang mau dilakukan ibarat membunuh lalat dengan bom. Yang mau dibereskan sebenarnya payung hukum untuk tujuh perguruan tinggi negeri badan hukum milik negara (BHMN), tetapi yang dilakukan adalah membuat payung hukum sebagai turunan UU Sisdiknas yang mencakup penyelenggaraan pendidikan yang dikelola swasta. Pembatalan UU BHP mengakibatkan tujuh PT BHMN tidak memiliki payung hukum. Tetapi, apakah dengan demikian penyelenggaraan pendidikan (swasta) tidak punya payung hukum?

Kerancuan cara berpikir berawal dari cara melihat kehadiran yayasan. UU Yayasan dianggap tidak memenuhi syarat menyelenggarakan kegiatan pendidikan. UU BHP yang dikonsep sebagai pengesahan korporasi pendidikan bertentangan dengan maksud dasar kegiatan sosial dan kemanusiaan yayasan. Karena itu, perlu payung hukum yang bentuknya bukan UU Yayasan No 28/2004 tentang Perubahan atas UU No 16/2001 tentang Yayasan.

Sementara dalam masyarakat, setidak-tidaknya ada lima jenis pendidikan yang diselenggarakan yayasan. Kelima jenis itu meliputi (1) yang didirikan pengusaha dengan modal besar; (2) yang didirikan masyarakat untuk melayani pendidikan umum; (3) yang didirikan sejak zaman penjajahan; (4) yang didirikan sejak proklamasi kemerdekaan; dan (5) yang didirikan masyarakat murni untuk melayani masyarakat yang tidak diterima oleh negeri dan kelompok masyarakat tidak mampu. Kelima jenis itu dalam UU BHP dikelompokkan atau sebaliknya digeneralisasi dalam jenis yayasan yang pertama, yakni penyelenggara pendidikan yang didirikan kelompok modal besar dengan sasaran korporatif.

Membongkar cara berpikir

Kita tidak ingin mengulang-ulang kelemahan UU BHP yang sudah dibatalkan itu. Sebaliknya, kita ingin mencegah agar cara berpikir keliru tidak kembali terjadi dengan upaya terbitnya pengganti pasca-pembatalan UU BHP. Masih adanya yayasan-yayasan penyelenggara pendidikan swasta belum menyesuaikan diri dengan UU Yayasan tidak serta-merta berarti tidak ada payung hukum.

Pembatalan UU BHP menjadi kesempatan membongkar cara berpikir tentang penyelenggaraan pendidikan. Dari yang menempatkan kegiatan pendidikan sebagai usaha dagang menjadi sebagai sosial-kemanusiaan dengan penyederhanaan kelima jenis pendidikan swasta di atas. Saat ini sudah ratusan yayasan penyelenggara pendidikan swasta yang menyesuaikan diri dengan UU Yayasan, sebaliknya memang masih banyak yang belum, apalagi yang didirikan dengan semangat penyelenggaraan pendidikan jenis pertama.

Kondisi itu tidak serta-merta membenarkan pendapat, kegiatan pendidikan belum ada payung hukum. Dengan konsep korporatif UU BHP, benar belum ada payung hukum, tetapi untuk keempat jenis pendidikan swasta lain sudah ada payung hukum, yakni UU Yayasan.

”UU Yayasan sudah memadai menyelenggarakan kegiatan pendidikan, jangan dikutak-katik,” kata Thomas Suyatno dari Yayasan Atma Jaya, Jakarta.

Pembatalan UU BHP membuat tujuh PT BHMN tidak punya payung hukum. PP yang menjadi dasar hukum eksistensi mereka perlu diperbarui karena memang mereka disiapkan sebagai embrio perwujudan penyelenggaraan pendidikan tinggi pasca-UU BHP. Ketujuh PTN itu, diikuti persiapannya oleh PTN-PTN lain, dengan modifikasi nama Balai Layanan Umum pun tidak punya lagi payung hukum. PP yang menjadi dasar hukum mendirikan pun tidak sesuai. Perlu PP baru sesuai dengan PP tentang perguruan tinggi sebagai turunan dari UU Sisdiknas.

Tidak gegabah

Wacana ini mengajak kita tidak gegabah. Jangan sampai gampang membuat perppu, sementara peraturan apa pun, termasuk undang-undang, adalah terjemahan dan kelanjutan dari konsep. Konsep kita adalah pendidikan itu bukan usaha bisnis. Karena itu, dalam konteks penyelenggaraan kegiatan pendidikan, yang perlu dilakukan adalah bagaimana perundangan dan peraturan yang sudah ada dijadikan payung hukum kegiatan pendidikan.

PP yang mengatur dan menjadi dasar berdirinya tujuh PTN jelas perlu diperbaiki atau diganti karena mereka perlu payung hukum dalam konteks non-UU BHP. Untuk payung hukum lembaga pendidikan swasta sebenarnya jelas, yakni UU Yayasan; sedangkan untuk penyelenggaraan pendidikan kedinasan tanpa keluar dari rel UU Sisdiknas sebagai legalisasi kegiatannya agar memperoleh payung hukum dilakukan dengan nota-nota kesepahaman kerja sama antar-kementerian.

Catatan ini tidak mendetail ke persoalan hukum yang teknis, tetapi sekadar ajakan mengubah pola pikir kita tentang penyelenggaraan pendidikan. Yang utama, mengubah cara gegabah reaktif menyikapi pembatalan UU BHP yang bisa menimbulkan guncangan, bahkan gesekan dan benturan, dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku.

Ketika Kementerian Diknas mengusulkan pengganti payung hukum kegiatan pendidikan, lebih dulu perlu dibuang cara berpikir niatan UU BHP yang korporatif. Kita diajak kembali pada maksud dasar kegiatan pendidikan sebagai usaha sosial dan kemanusiaan. Dalami konsep dan baru peraturan, bukan dibalik, peraturan dulu baru konsep menyusul! Biasanya kita kuat di konsep, tetapi lemah di implementasi dan eksekusi. Kali ini konsep harus menyeluruh, strategis, sekaligus terperinci!

Sumber: Kompas, Senin, 3 Mei 2010

No comments: