”WHO can describe, what linear expansion means?” tanya Riska (30), sarjana lulusan Institut Pertanian Bogor, yang tengah menjelaskan pemuaian kepada siswanya. Riuh sekelompok anak-anak di bangku depan sebelah kanan menjawab, ”Memuai lurus, Bu.”
Belasan anak jalanan mengikuti proses pendidikan informal di Sekolah Otonom Sanggar Anak Akar di Kalimalang. Kesadaran bagi anak-anak ini untuk meninggalkan kehidupan jalanan dan mengikuti proses pendidikan dan pengembangan kreativitas sepatutnya didukung dengan langkah nyata pemerintah. (KOMPAS/DANU KUSWORO)
Dengan bantuan simulasi komputer yang diproyeksikan ke layar putih, ia menunjukkan animasi batang besi yang memanjang setelah dipanaskan. ”Oh, memanjang, ya, Bu,” seru mereka.
Ada rasa bangga, ada harapan, saat melihat anak-anak SMP Negeri 11, Jakarta Selatan, yang sejak tahun lalu berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Kepala Sekolah SMP Negeri 11 Haryadi mengatakan, pihaknya berusaha mendorong para siswa lebih berani. ”Hal itu sesuai dengan poin keunggulan internasional yang menjadi kelebihan RSBI selain delapan standar nasional yang harus dipenuhi,” ujar dia.
Meski begitu, semua itu tidak diraih anak dengan mudah. Meski banyak penyelenggara RSBI atau SBI mengatakan uang tidak menjadi pertimbangan, tetap saja prasarana untuk menjamin kenyamanan belajar siswa tidak murah. Kelas berpendingin ruangan, punya perlengkapan belajar multimedia, kunjungan guru dari luar negeri, peningkatan kapasitas guru, hingga koneksi internet tak terbatas.
Samidi, Kepala SMP Negeri 49 Jakarta yang juga berstatus RSBI dan menandatangani nota kesepahaman dengan SIGLAP Secondary School di Singapura, mengatakan, masalah uang tidak menjadi pertimbangan dalam penerimaan. ”Tetapi, yang mau masuk kan mikir juga, apa iya nanti saat kunjungan ke luar negeri minta biaya dari orang lain? Tidak semua bisa dibantu dana pemerintah,” kata Samidi.
Bagi penyelenggara RSBI atau SBI, biaya tinggi yang dibayarkan siswa sebanding dengan keunggulan yang ditawarkan, yaitu lulusan diakui secara nasional dan internasional karena beberapa mata pelajaran, terutama sains, diberikan dengan pengantar bahasa Inggris.
Penanggung jawab RSBI SMP Negeri 11 Jakarta, Tri Kartewi, mengungkapkan, selain uang pangkal Rp 7 juta, siswa juga dibebani SPP antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per semester, sesuai kemampuan siswa. Bantuan dari pemerintah, Rp 50 juta pada tahun pertama dan Rp 300 juta pada tahun kedua dan ketiga setelah sekolah memperoleh status RSBI, digunakan untuk peningkatan kapasitas guru dan prasarana sekolah.
Menurut Hariyadi, bantuan pemerintah dan dana yang besar dinilainya wajar karena terkait kualitas, daya saing, dan stimulus untuk maju. Namun, sebagaimana pernah dialami SMA Negeri 10 Melati Samarinda, Kalimantan Timur, ketika bantuan dari pemerintah dikurangi, sekolah yang sebelumnya terbuka untuk semua kalangan itu menjadi elitis.
”Sekolah ingin memberi beasiswa gratis. Dari sekolah ini diharapkan lahir pemimpin Kaltim, karena itu terbuka untuk siswa berpotensi. Tetapi, ada pergantian pemerintah di daerah, misinya belum nyambung lagi,” kata Hidayat, Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Melati, Samarinda.
Meskipun demikian, baik Tri Kartewi maupun Hidayat mengatakan, sekolah mereka tetap memberi tempat kepada siswa dari kalangan tidak mampu. Di SMP Negeri 11 ada lima siswa angkatan pertama dibebaskan dari beban uang SPP dan tahun ini 100 siswa di SMA Negeri 10 Melati, Samarinda, memperoleh beasiswa penuh.
Orientasi pendidikan
Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, menegaskan, pentingnya pemerintah mencermati kembali orientasi dan substansi penyelenggaraan pendidikan nasional. Menurutnya, para pemangku kepentingan pendidikan nasional jangan terjebak atau ditipu gelombang zaman.
Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan membentuk sekolah berstandar internasional, menurut Herry, adalah salah. Di banyak negara yang telah mapan dan sistem pendidikannya matang, SBI tidak dibiarkan mengacak-acak sistem pendidikan yang ada,” kata Herry.
Alasannya, sistem pendidikan nasional sangat terkait dan menjadi bagian keterarahan proses hidup berbangsa dan bernegara. Ia menjadi bagian integral proses politik, kebudayaan, dan kultur bangsa.
Ia mencontohkan, Pemerintah Swedia meletakkan pendidikan nasional sebagai bagian dari pembentukan etos sebagai warga negara, menjadi bagian proyek berbangsa.
”Itu memengaruhi semua cuaca pendidikan. Di Indonesia, saya khawatir itu tidak terjadi karena pendidikan nasional terjebak menjadi komoditas privat,” kata Herry.
Pembentukan etos itulah yang menurut Kepala SMA Kanisius Jakarta Heru Hendarto menjadi pilihan dan misi utama sekolah berusia 83 tahun itu. Bagi dia, status bertaraf internasional tidak signifikan, apalagi setiap tahun hanya 25-30 persen dari kurang lebih 200 lulusan sekolah tersebut melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.
”Secara akademis, kemampuan mereka mencukupi. Dengan proses adaptasi kurang lebih setahun mereka dapat mengikuti pendidikan di luar negeri,” kata Heru.
Dengan kondisi seperti itu, ditambah mahalnya biaya mengelola SBI—karena kalau mau serius, harus ada guru berbahasa ibu bahasa Inggris—Heru memilih lebih mengarusutamakan pembentukan karakter anak didik.
”Agar mereka menjadi pribadi bermartabat, memiliki kedalaman, dengan sikap kepemimpinan yang solider, peduli pada Tanah Air, antikorupsi, mampu bertindak adil dan jujur,” kata Heru.
Karena itu, di Kanisius, menyontek tidak ditoleransi. ”Orientasi kami mengembangkan nilai-nilai itu, tanpa mengabaikan kualitas akademik,” kata Heru lagi.
Pilihan serupa juga diambil Yayasan Insan Mandiri, Denpasar, Bali. Yayasan itu antara lain mengelola TK-SMA Santo Yosep di Denpasar dan SMA Katolik Kesuma di Mataram, NTB. Sekretaris Badan Pelaksana Kegiatan Yayasan Insan Mandiri Wayan Sarjana mengatakan, sumber daya yang dimiliki yayasan untuk menjadi RSBI, terutama di dua sekolah itu, mencukupi.
”Kami belum tertarik menjadikan sekolah kami RSBI apalagi SBI. Kami lebih tertarik menyusun program pendidikan karakter dan pemenuhan kecapakan hidup para siswa dengan melihat lingkup sekolah itu berada,” kata Wayan.
Dengan itu Wayan yakin bekal pendidikan karakter maupun kecakapan hidup tersebut lebih terinternalisasi dan menambah nilai guna pendidikan formal di sekolah.
Apa yang dipilih dua sekolah tadi oleh Herry Priyono disebut membangun hasrat anak didik. Itu dibentuk dalam idiom nasional dengan konsep komprehensif, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga budaya.
Keutuhan itu dibutuhkan untuk membentuk habitus anak didik, yaitu ke arah mana hasrat tersebut ingin dibangun. Rasa perasaan, cara bersikap, mengenali dan mengarahkan kehendak dan membangun keberpihakan adalah substansi yang hanya dapat dibentuk melalui pendidikan.
Bagi Herry, semua nilai itu agaknya sulit tumbuh dalam sistem yang cenderung diarahkan melayani kebutuhan pasar global. ”Memang mereka akan menjadi CEO perusahaan asing, tetapi tidak untuk Indonesia,” kata Herry Priyono.
(DOT/ELN/BEN/JOS)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Mei 2010
No comments:
Post a Comment