Saturday, January 02, 2010

Pluralisme: Pemikiran Gus Dur Harus Dilanjutkan

Jakarta, Kompas - Keberlangsungan ide dan pemikiran yang ditinggalkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu gigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme, menjadi tanggung jawab para pengikutnya.

KH Mustofa Bisri (PRI)

”Sekarang bergantung kepada yang mengaku sebagai pengikutnya,” kata anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, seusai mengikuti pemakaman Gus Dur di Maqbarah (Pemakaman) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Kamis (31/12).

Gus Mus menilai pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan, khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan besar bagi perjalanan bangsa.

Praktik yang dilakukan Gus Dur mengenai sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis harus diteladani. ”Konsep kebangsaan Gus Dur itu kini menghadapi banyak tantangan dan hambatan,” ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Syalafiah As-Syafiiyah, Asembagus, Situbondo, KH Fawaid As’ad Samsul Arifin, mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur adalah melawan bibit-bibit perpecahan bangsa. Munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama yang membahayakan persatuan perlu terus diwaspadai. ”Generasi muda harus dibentengi dengan pemahaman tentang pemikiran Gus Dur agar terhindar dari aliran keagamaan yang merusak,” ujarnya.

Pimpinan pesantren di sejumlah daerah juga menilai sosok Gus Dur sebagai inspirasi bagi ulama dan santri. Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu dinilai telah mengajarkan pentingnya penghormatan atas perbedaan agama, suku, bangsa, dan nilai-nilai demokrasi.

Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang, M Yusuf Chudlori, menilai Gus Dur adalah sumber motivasi dan inspirasi bagi pesantren. Gus Dur yang pernah menjadi santri di pesantren Tegalrejo itu telah menebarkan nilai-nilai demokrasi kepada ulama dan santri. Gus Dur mampu membuka mata hati mereka tentang keterkaitan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Bisri Adib Hatani, menganggap Gus Dur sebagai sosok ideal negarawan produk pendidikan pesantren. Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana ber-Islam dalam konteks keindonesiaan. ”Gus Dur memandang dan meyakini perbedaan adalah rahmat, sunnatullah (telah digariskan Allah). Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia menjadi bangsa yang terhormat, mandiri, dan merdeka lahir batin,” katanya.

Wakil Ketua Yayasan Buntet Pesantren, Cirebon, KH Wawan Arwani, mengungkapkan, salah satu nilai yang ditularkan Gus Dur adalah keterbukaan terhadap penganut agama atau kepercayaan lain. Cara hidup bersama di negara multikultural itulah yang juga disebarkan kepada santri Buntet Pesantren. Santri diajarkan untuk tidak menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan menegaskan terorisme yang mengatasnamakan jihad adalah haram.

Juru bicara Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Abdul Chobir, menilai pemikiran dan terobosan Gus Dur yang bisa menerima nilai-nilai baru dari sebuah perubahan akan tetap hidup dan dilanjutkan oleh warga NU. Gus Dur menekankan perbedaan bukan menjadi sumber perpecahan, tetapi justru menjadi modal persatuan.

Bapak pluralisme

Mengantarkan kepergian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, mendiang sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Gus Dur merupakan pejuang reformasi yang melembagakan penghormatan pada kemajemukan ide dan identitas.

Presiden menyampaikan hal itu pada sambutannya dalam upacara kenegaraan apel persada pemakaman Gus Dur, Kamis. ”Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan. Disadari atau tidak oleh kita, sesungguhnya beliau adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia,” ujar Presiden.

Almarhum Gus Dur, lanjutnya, adalah salah satu pemimpin dan pemikir Islam yang sangat dihormati, baik di Indonesia maupun di dunia. Gus Dur meyakini Islam sebagai sumber universal bagi kemanusiaan, keselamatan, perdamaian, keadilan, dan toleransi.

Gus Dur menetapkan berbagai kebijakan untuk mengakhiri diskriminasi dan untuk menegaskan bahwa negara memuliakan berbagai bentuk kemajemukan. ”Selamat jalan bapak pluralisme kita, semoga berada tenang di sisi Allah SWT,” ujar Presiden.

Doa bersama

Doa terus berkumandang di Masjid Agung Al-Barkah, Kota Bekasi, selama kegiatan istigasah dan tablig akbar yang diselenggarakan Pengurus Cabang NU Kota Bekasi, Kamis malam.

Selain mendoakan Gus Dur, istigasah dan tablig akbar itu digelar serangkaian dengan momentum Tahun Baru Hijriah 1 Muharam 1431.

Di Kota Semarang, Kelenteng Besar Tay Kak Sie menggelar doa bersama untuk Gus Dur, dipimpin tokoh setempat, Thio Tiong Gie. Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata itu menilai keislaman Gus Dur yang sangat kuat bukan hal menakutkan bagi minoritas, tetapi meneduhkan mereka. Jasa besar Gus Dur bagi masyarakat Tionghoa adalah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Warga berdatangan memenuhi lokasi di sekitar Pondok Pesantren Tebuireng. Muhammad Syuaib, misalnya, merasa perlu berziarah ke makam Gus Dur dengan keluarganya. ”Ini untuk tarbiah (pendidikan) bagi anak-anak untuk mengetahui dan meneladani kiai-kiai sebelumnya, termasuk Gus Dur yang jasanya besar,” katanya.

(INK/HEN/NIT/ADH/APO/TIF/COK/ILO/UTI/WHO/MZW/NTA/NAL/DAY)

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010

No comments: