-- Abdul Munir Mulkhan*
PERNYATAAN yang sering dipakai Gus Dur untuk mengomentari persoalan, sikap seseorang, atau lembaga, ”Gitu aja kok repot”, mengesankan sikap permisif. Mungkin itu pula komentarnya terhadap ribuan pelayat dan penziarah yang ingin mendekap makamnya.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, orang seperti Gus Dur tentu mulus melewati berbagai sensor malaikat di alam kubur. Boleh jadi seloroh penuh makna itu merupakan kunci suksesnya juga di alam pascaduniawi ini.
Menjelang malam tiba saat matahari melangkah ke pintu peraduannya hari Rabu, 30 Desember 2009, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI, berpulang ke haribaan Allah, meninggalkan kita semua dalam labirin kehidupan tanpa ujung. Namun, seloroh dan canda guraunya yang selalu membuat pendengarnya tertawa lepas tercerahkan sehingga tak pernah lupa lelucon segarnya, bukan hanya karena lucu, tetapi juga karena penuh makna, akan selalu menyertai kita pada hari- hari menyusuri lorong tersebut. Tampak samar, tetapi jelas secercah cahaya di ujung labirin yang disulut Gus Dur itu bagaikan Sang Guru di depan ruang kelas yang sedang mengajar tentang kemanusiaan dan kebangsaan.
Begitulah, kenyelenehan Gus Dur sering melahirkan beragam tafsir yang keliru atau sama-sama benar ketika kata dan kalimat yang beliau pakai menerobos pemaknaan konvensional. Orang sering itu sebut sebagai perilaku ”wali” yang nyulayani adat (unik) atau tampilan manusia bukan hanya di maqam (tahapan sufi) tertinggi, tetapi juga melampaui maqomat.
Gus Dur dengan penuh percaya diri mengaku sebagai memiliki darah China, Dayak, Pasundan, Batak, darah segala suku dan etnis yang terasa aneh dan tidak masuk akal bagi banyak orang. Namun, itulah cara Gus Dur berempati dengan segala ragam budaya dan etnisitas, juga religiusitas. Tokoh puncak NU ini dengan enteng menyatakan kekagumannya kepada tradisi organisasi Muhammadiyah, akan mengembangkan tradisi itu saat berhadapan dengan aktivis gerakan ini tanpa kehilangan ke-NU-annya.
Syekh Siti Jenar
Wafatnya Gus Dur menyentak kita semua meski sudah cukup lama beliau sakit. Suasana itu membawa penulis menerawang ke masa pertama bertemu di sebuah hotel di kawasan Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, sebelum Gus Dur menjabat Ketua PB NU. Kenangan ini menuntun penulis ke masa-masa bercanda di sekeliling meja kerja Gus Dur di kantor PB NU bersama Ahmad Dhani, Holland Taylor (CEO LibForAll), dan beberapa wartawan.
Cengkerama sesaat setelah LibForAll Foundation memberi penghargaan kepada si Raja Dewa, Ahmad Dhani, tiba-tiba disela pernyataan seorang teman, ”Gus, inilah orang yang memopulerkan kembali Syekh Siti Jenar!” sambil menunjuk dan menyebut nama penulis. Gus Dur berkata, ”Mas Mulkhan!” begitu Gus Dur memanggilku, ”dari garis ayah, saya ini keturunan Syekh Siti Jenar lho!” Saya pun segera menimpali, ”Wau, kalau begitu Gus Dur sesat!” setengah menghardik walaupun jujur saya sedikit khawatir menunggu reaksinya. ”Biar saja, gitu aja kok repot,” kata Gus Dur seperti tak peduli yang membuat kami semua tertawa lepas. Inilah keunikan sikap Gus Dur yang sulit dicari padanannya di negeri ini.
Beberapa tahun kemudian, penulis bertemu kembali dengan Gus Dur dalam seminar tentang Pancasila di Universitas Parahyangan, Bandung. Tiba gilirannya, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya adalah keturunan raja-raja Pasundan. Ketika seorang ahli sejarah Pasundan meragukan dan meminta informasi tentang referensi kebenaran pernyataan Gus Dur tersebut, dengan enteng Gus Dur menjawab bahwa sumbernya ialah Ki Juru Kunci. Mendengar penjelasan tersebut, peserta seminar pun tertawa lepas. Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya merupakan keturunan Kiai Kasan Besari dari Tegalsasi Ponorogo, guru sang pujangga Ronggowarsito.
Tak mau kalah dengan Gus Dur, penulis segera berkata, ”Jelek-jelek Gus, saya ini adalah cucu buyut Kiai Kasan Besari.” Mendengar itu, Gus Dur hanya berdehem kecil. Penulis melanjutkan, ”Jika Gus Dur bertanya apa buktinya, buktinya adalah Ki Juru Kunci.” Spontan Gus Dur berkata, ”Wah, yen ngono awake dewe iki sih sedulur, sih sedulur! (Wah, kalau begitu kita ini masih saudara/ keluarga!).”
Beberapa minggu kemudian muncul tulisan Gus Dur di sebuah harian ibu kota tentang Islam kebangsaan dan kemanusiaan. Dari Kiai Kasan Besari itu, urai Gus Dur dalam artikel itu, lahir generasi Islam kebangsaan dan kemanusiaan melalui dua alur, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dari alur NU lahir beberapa ulama besar yang menurunkan tokoh seperti Gus Dur sendiri. Sementara dari alur Muhammadiyah, menurut Gus Dur, menurunkan elite gerakan seperti Kahar Muzakkir, Syafii Ma’arif, dan penulis sendiri. Begitulah gaya Gus Dur menjelaskan nilai-nilai Pancasila dan Islam yang rumit menjadi sebuah kisah yang yang mudah dicerna, diingat, dan dipahami oleh semua kalangan.
Nasionalisme Islam yang humanis, toleran, dan pluralis, menurut Gus Dur, bisa dilacak dari kisah sejarah dan legenda tentang Kiai Kasan Besari tersebut. Itulah barangkali salah satu warisan paling berharga Gus Dur yang perlu dicermati dan dikembangkan.
”Selamat jalan, Gus!” Semoga kelak kita dipertemukan dalam perjamuan Tuhan di kampung surgawi. ”Gitu aja kok repot!”
* Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Mantan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Anggota Komnas HAM
Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010
1 comment:
Pribadi yang sulit dicari bandingannya.
Post a Comment