Tuesday, October 06, 2009

[Sosok] Eko Teguh, "Pemburu" Bencana Alam

-- Irene Sarwindaningrum

EKO Teguh Paripurno tak pernah menduga, ”kegemarannya” berburu bencana mengantarnya ke ajang penghargaan internasional. Juni 2009, geolog itu menerima Sasakawa Award for Disaster Reduction dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penghargaan itu diberikan atas komitmennya menanggulangi dampak bencana dan membangun kesiagaan masyarakat di tingkat komunitas.

Eko Teguh (KOMPAS/ IRENE SARWINDANINGRUM)

Bagi Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta itu, penghargaan dari PBB tersebut bukan miliknya sendiri. Penghargaan itu lebih sebagai pengakuan terhadap kerja banyak komunitas penanggulangan bencana yang selama ini kurang dihargai.

”Saya tak bekerja sendiri. Ada banyak pihak yang telah bekerja sama untuk penghargaan ini,” ujar Eko di Kampus UPN, Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu.

Eko memang akrab dengan komunitas di berbagai kawasan rawan bencana. Ayah dua anak kembar ini terlibat dalam lebih dari 12 komunitas masyarakat di kawasan rawan bencana, terutama di kawasan gunung berapi sesuai dengan bidang ilmunya, vulkanologi.

Kedekatan dengan masyarakat membuat dia belajar bahwa dampak bencana tak hanya berupa kerusakan fisik. Kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat merupakan parameter yang tak bisa disepelekan.

Oleh karena itu, pendekatan Eko dalam penanggulangan bencana juga menyertakan aspek sosial dan budaya, sesuatu yang kerap dikesampingkan. Pemikiran ini dia tuangkan dalam peta kerawanan bencana Gunung Merapi yang disusun bersama beberapa rekan.

Berbeda dengan kebanyakan peta bencana yang ada, peta tersebut memasukkan parameter sosial dan budaya masyarakat sekitar, di antaranya tingkat pendidikan, jenis mata pencarian, dan jumlah warga cacat.

Menurut Konsultan DPR untuk Penyusunan UU Penanggulangan Bencana pada Januari 2005 hingga Juni 2007 itu, kondisi sosial dan budaya menentukan kesiapan masyarakat dalam menyelamatkan diri dari bencana dan kemampuan mereka untuk pulih.

”Inilah yang kerap dilupakan dalam penanganan bencana. Kebanyakan tim penanggulangan bencana datang dengan uang dan program yang lalu diterapkan, tanpa memahami kondisi sosial budaya masyarakat. Karena itu, banyak program kurang tepat sasaran,” ujar Pak ET, panggilannya.

Bertanya dan terbuka

Pemahaman karakter masyarakat adalah kunci dalam penanganan dampak bencana. Untuk itu, dibutuhkan kedekatan dengan masyarakat. Kedekatan itu tak terbangun dengan instan. Dua resep yang dia pegang teguh saat ”berburu” bencana adalah awali dengan banyak bertanya dan menjaga keterbukaan.

”Saya hanya pencinta alam yang datang dengan banyak pertanyaan,” katanya.

Hasilnya, Eko memahami karakter dan permasalahan masyarakat di hampir semua tempatnya bergiat. Kerjanya tak hanya pada penanganan bencana, tetapi juga membantu pemecahan masalah lain di kawasan itu.

Di sebuah desa di kawasan Gunung Semeru, misalnya, ia mewariskan sistem ”simpan pinjam bibit”. Sistem ini mirip simpan pinjam di bank, tetapi bibit digunakan sebagai pengganti uang. Gagasan ini muncul karena banyak petani bawang tak mampu membeli bibit karena miskin.

Selain di Semeru, Eko kerap bolak-balik ke daerah bencana. Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Cilacap, Jawa Tengah, adalah daerah yang belakangan kerap dia datangi untuk penguatan masyarakat di bidang pengurangan risiko bencana.

Mengusik batin

Bermula sebagai pencinta alam, Eko ”berburu” bencana saat Gunung Merapi yang sebelumnya sering dia daki meletus pada 1994. Saat itu, tercatat korban tewas 64 jiwa. Ikatan batin yang kuat dengan penduduk setempat dan banyaknya korban jiwa mengusik batinnya.

”Saya bertanya-tanya, mengapa banyak korban jiwa? Seharusnya korban jiwa bisa dicegah. Banyak gunung meletus di negara lain dengan kekuatan dahsyat, tapi korban jiwanya sedikit,” tuturnya.

Eko lalu mendirikan Perkumpulan Komunitas Pencinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala) Indonesia. Organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah pencinta alam yang tak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga peduli pada lingkungan dan masyarakat setempat. Segenap aktivitas itu membuat Kappala dikenal dan memperoleh tawaran kerja sama.

Eko pun mulai rajin mendatangi daerah bencana. Setelah gempa Yogyakarta (2006), dia dipercaya sebagai konsultan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Seusai bencana tsunami di Papua (2004), ia menjadi salah satu fasilitator Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nabire.

Minatnya pada alam mengantar Eko memilih kuliah di jurusan geologi dan mendalami vulkanologi. Dia juga ikut di berbagai organisasi pencinta lingkungan, hingga menikahi sesama ”orang gunung”, Retno Raras.

Ia juga aktif dalam berbagai komunitas masyarakat di kawasan yang kelestarian lingkungannya terancam aktivitas industri. Kegiatannya ini mengundang banyak risiko. Surat somasi dari sebuah perusahaan besar pernah melayang ke mejanya. Namun, ancaman tak membuatnya gentar. Ini adalah jalan hidup yang dia pilih dengan segala risikonya.

• Nama: Eko Teguh Paripurno • Lahir: Malang, 3 Juni 1962 • Istri: Retno Raras (47) • Anak: - Galih Prabaswara (16), Gandar Mahojwala (16) • Pendidikan:- Doktor MIPA di Universitas Padjadjaran, 2009- Magister Teknik Geologi ITB, Bandung, 1998- Sarjana Teknik Geologi di UPN Veteran, 1987- SMAN Trenggalek, 1981- SMPN Trenggalek, 1978- SDN Bendorejo Trenggalek, 1975 • Pelatihan:- Emergency Networking Management, Kuala Lumpur, Malaysia, 2003- Natural Disaster Reduction, Kobe, Jepang, 2002- Natural Resources Management, Assam, India, 2001 • Pekerjaan:- Pengajar Jurusan Teknik Geologi dan Teknik Lingkungan Fakultas Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta - Ketua Pusat Studi Manajemen Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat-Bencana UPN Veteran Yogyakarta • Penghargaan:- Ashoka Fellowship, The Global Association of Leading Social Entrepreneurs, 2000 - United Nations Sasakawa Award for Disaster Reduction, United Nations-International Strategy for Disaster Risk Reduction, 2009 • Penulis dan penyunting buku, antara lain: - Membaca Merapi (PSMB UPN Veteran, 2004)- Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat (SLGR GTZ–MPBI, 2005)

Sumber: Kompas, Selasa, 6 Oktober 2009

No comments: