-- Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti
ANAK-ANAK sekolah dasar berseragam pramuka terlihat ceria dalam perjalanan pulang dari sekolah, Sabtu, 1 Agustus 2009. Pagi itu, mereka mengobrol, bersenda gurau, dan tertawa lepas di jalan aspal yang di sana-sini sudah terkelupas dan penuh lubang. Saat kamera dijepretkan ke arah mereka, mereka lari pontang-panting, berbalik arah. Air yang diusung beberapa anak di antaranya bahkan tumpah.
Adik, tak usah takut. Selamat... selamat...,” bujuk Kompas melalui kaca jendela mobil yang dibuka.
Anak-anak itu pun akhirnya menghentikan langkah. ”Selamat pagi, Bapak...,” kata mereka.
Anak usia sekolah yang menjinjing jeriken ukuran 5 liter berisi air bersih merupakan pemandangan umum di perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT)-Timor Leste.
Oleh karena itu, iklan layanan masyarakat di televisi, ”Sekarang sumber air su dekat, beta tak perlu ambil air lagi”, bisa dibilang tak sesuai kenyataan. Setidaknya, di empat kawasan perbatasan Haumeniana dan Wini (di Kabupaten Timor Tengah Utara), Motaain, serta Turiskain (di Kabupaten Belu).
Di daerah Turiskain dan sekitarnya, pada musim kemarau seperti sekarang, beberapa sungai memang masih mengalirkan air cukup banyak. Tapi, sebagian besar masyarakat tetap saja harus mengambil air ke sumber air yang jauh. ”September sampai Desember, kami harus jalan ke mata air jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumah. Air di sini (sekitar rumah mereka) sudah tipis. Sekarang saja kami harus antre tiga jam untuk mengisi 10 jeriken yang kami bawa,” kata beberapa warga Asumanu, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, yang sedang mengantre air. Desa itu letaknya sekitar 1 kilometer dari Turiskain.
Daerah-daerah perbatasan di NTT pada umumnya gersang. Pada musim kemarau ini tanah mengeras seperti batu. Karena itu, saat mengolah lahan atau ladang, umumnya warga menggunakan linggis, bukan cangkul seperti di Pulau Jawa.
Itu sebabnya, mulai dari anak-anak hingga kaum ibu, mereka semua setiap hari disibukkan pekerjaan mencari air bersih sekadar untuk masak dan minum. Pengetahuan di bidang kesehatan pun sangat minim.
Air bersih dan pengetahuan kesehatan yang minim, juga kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan kurang, membuat sebagian besar penduduk perbatasan hanya bisa mengenakan pakaian berwarna kumal dan lusuh.
Beras bagi mereka merupakan barang mewah. Seperti diceritakan Petrus Naif (43) dan Tobias Bifel (47), dalam seminggu biasanya mereka hanya dua kali makan nasi. Selebihnya, makan apa saja pengganjal perut: ubi, kacang hutan (yang disebut koto), labu kuning, atau jagung.
Sabtu pagi itu, Petrus dan Tobias sedang jongkok di dekat pasar ”perbatasan” Haumeniana. Keduanya asyik mengunyah kacang hutan—bentuknya seperti kacang merah, tetapi pipih—yang dilengkapi cabe rawit bulat, garam kasar, serta bawang merah mentah. Mereka bak membuat sambal kacang di dalam perut. ”Kami lapar sekali. Dari tadi belum makan,” kata kedua lelaki tanpa alas kaki tersebut.
Petani jeruk dan kemiri itu menambahkan, untuk mencapai Pasar Haumeniana, mereka harus berjalan kaki 10 kilometer dari Oetulu, kampung mereka. ”Kami masing-masing bawa uang Rp 20.000 untuk belanja. Saya beli daun bawang, tomat, beras, dan sedikit bahan bangunan untuk rumah,” ujar Petrus, menunjukkan isi kantong keresek hitam yang dipegangnya.
Bahan makanan yang mereka beli ternyata hanya untuk makan sehari. ”Hari lain, ya makan apa yang ada saja. Ada ubi ya makan ubi, ada jagung ya makan jagung,” kata keduanya dengan tawa lemah.
Dengan kondisi perekonomian keluarga minim, anak sulung Petrus saat ini ke Malaysia setelah lulus SMA di Kupang. Ia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Seorang lagi kini putus sekolah di tingkat SMA karena tak ada biaya, sedangkan tiga lainnya masih di SD dan SMP. ”Keuangan kami sangat terbatas. Sekalipun dapat BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin, semua itu hanya cukup untuk makan dua minggu,” ujarnya.
Tak hanya Petrus dan Tobias yang mengeluh seperti itu. Sejumlah ibu yang ditemui di Desa Oelneke—tak jauh dari Pasar Haumeniana—juga mengungkapkan hal serupa. ”Hidup kami ini keras, mama.... Tais (tenunan) yang kami buat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, kami juga harus mencari pekerjaan lain, seperti mencari kayu bakar untuk dijual atau membersihkan ladang orang lain agar mendapat upah dua,” kata mereka kompak.
Di desa itu, demikian pula di sejumlah desa lain di kawasan perbatasan, kaum perempuan pada umumnya mengisi waktu dengan membuat tais (dalam bentuk selendang, hiasan dinding, atau sarung). Harga jualnya beragam, bergantung pada bahan dasar yang digunakan. Selendang sederhana yang dibuat dalam waktu satu minggu, misalnya, dijual seharga Rp 70.000. Kaum lelakinya sebagian besar adalah petani.
Masyarakat perbatasan terkesan merupakan orang-orang yang pasrah pada keadaan. Mereka perlu terus dimotivasi untuk bangkit dan maju.
Di daerah itu memang ada SD, SMP, serta SMK yang dimanfaatkan penduduk. Tapi, pengelolaannya belum optimal. Beberapa anak SD berangkat ke sekolah pada jam pelajaran sudah dimulai. Beberapa lainnya sudah pulang pada pukul 09.30 Wita.
Karena itu, tak perlu kaget jika Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Haumeniana Letnan Dua Ahmad Hady menceritakan, ada anak kelas II SD belum bisa membaca. ”Kami di sini kadang-kadang membantu mengajar anak-anak SD dan SMP pada malam hari. Beberapa anak kelas II SD belum bisa baca,” ujarnya.
Lutfiah, pengawas di Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang, mengatakan, mendidik anak-anak di daerah yang demikian memang butuh ketelatenan. ”Saya pernah mencoba mengajar di salah satu desa yang gurunya mengaku sudah kewalahan. Pada hari pertama, saya undang orangtua murid. Apa yang mereka katakan? ’Yang menyuruh anak saya sekolah kan pemerintah. Jadi, biar saja kalau mereka tidak mau pergi ke sekolah’,” cerita Lutfiah.
Pemahaman tentang sekolah gratis juga sangat beragam. Sebagian besar mengartikannya dengan sekolah tanpa biaya sama sekali. ”Jadi, mereka juga tidak mau membeli buku (pelajaran),” paparnya. ”Tapi, setelah diberi pemahaman bahwa sekolah itu merupakan bekal hidup anak-anak mereka, orangtua murid dengan senang hati memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak mereka,” ujar Lutfiah.
Saat ini jalan utama menuju kawasan perbatasan Indonesia-Timor Leste di NTT pada umumnya sudah mulus. Perjalanan dari Kota Kupang menuju Kefamenanu berjarak 300-an kilometer, misalnya, cukup nyaman. Tak banyak hambatan. Tapi, jalan dari ibu kota kabupaten—seperti dari Kefamenanu atau Atambua, ibu kota Belu—menuju tapal batas, sebagian besar rusak. Ini merupakan kendala dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menanggapi kondisi wilayah dan masyarakat perbatasan yang demikian, Yos Mamulak, Asisten Tata Praja Setda NTT, mengatakan, NTT bak orang yang memiliki nafsu besar tenaga kurang.
”Bagaimana kami bisa cepat berkembang jika APBD kami sedikit, hanya sekitar Rp 1 triliun per tahun,” ujarnya.
Menurut dia, perhatian pemerintah daerah selama ini sebenarnya sudah cukup baik. ”Penyuluhan pertanian, kesehatan, pembangunan masyarakat desa, terus digalakkan. Tapi, hasilnya ya... seperti itu. Ada BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin (beras untuk rakyat miskin), penduduk malah jadi malas bertani. Mereka menganggap sudah ada gaji dari pemerintah,” kata Yos dengan tawa prihatin.
Soal keamanan tapal batas, menurut Yos dan Kepala Polda NTT Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi serta Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno, relatif aman. Meski ada wilayah daratan yang diperdebatkan. ”Katanya, ada sejumlah wilayah adat warga kita yang masuk Timor Leste,” kata Yos.
Batas kedua negara yang begitu fleksibel—berupa sungai yang kering pada musim kemarau dan tanah tak berpagar—juga kerap membuat aparat keamanan repot. Penyebabnya, ternak peliharaan warga ”bertamu” ke negara tetangga sehingga aparat harus berkunjung ke pos lintas batas Timor Leste meminta tolong mencarikan ternak yang ”nyelonong” itu.
Masyarakat perbatasan bisa dibilang tidak pernah tahu permasalahan yang dihadapi pemerintah untuk memajukan bangsa dan bagaimana mengisi kemerdekaan ini. Sebut misalnya warga di Wini, Napan, dan Haumeniana (Kabupaten Timor Tengah Utara) dan Oepoli (Kabupaten Kupang), yang berbatasan dengan Distrik Oekusi di Timor Leste. Begitu juga warga di Motaain dan Turiskain (di Kabupaten Belu) yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, juga di Motamasin (di Kabupaten Belu), yang berbatasan dengan Distrik Sana. Mereka hanya tahu bagaimana mengisi waktu untuk bertahan hidup.
(Iwan Setyawan)
Sumber: Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009
1 comment:
Your report is very interesting indeed. I invite You to see a great collection of views of borders (riigipiirid) in my Italian-Estonian site http://www.pillandia.blogspot.com
Helping text in Bahasa Indonesia too.
Best wishes from Italy!
Post a Comment