Thursday, July 31, 2008

Minat Orang Jepang Belajar Bahasa Indonesia Tinggi

-- Rusdy Setiawan Putra

MINAT masyarakat Jepang untuk mempelajari bahasa Indonesia cukup tinggi dan tiap tahun jumlahnya terus meningkat karena mereka ingin lebih mengenal Indonesia di samping untuk urusan pekerjaan.

"Sejak 1992 dimulainya ujian kemampuan Bahasa Indonesia, sampai kini tercatat 11.943 peserta yang telah mengikuti tes kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai level atau tingkatan," kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, Prof Dr Edison Munaf MEng, Rabu (30/7).

Edison mengatakan, dari 11.943 peserta yang mengikuti test itu, lulus 4.584 orang dengan kategori lima penerjemah ahli (minimal belajar bahasa Indonesia enam tahun lebih).

"Sebanyak 57 orang lulus pada level A dengan lama belajar lebih dari lima tahun, dan lainnya sebanyak 237 orang untuk level B lama belajar antara 3-5 tahun," katanya.

Menurut Edison, masyarakat Jepang banyak yang tertarik mempelajari bahasa Indonesia untuk lebih mengenal keragaman budaya Indonesia. Selain itu, untuk lebih mengenal Indonesia dan untuk urusan pekerjaan yang berhubungan dengan Indonesia.

Kini, katanya lagi, diyakini minat masyarakat Jepang belajar bahasa itu lebih meningkat terkait telah ditandatanganinya EPA (Economic Patnership Agreement), satu kerja sama pelindungan lingkungan antara kedua Negara Indonesia dan Jepang yang berlaku efektif 1 Juli 2008.

Yang lebih menggembirakan lagi, tambah Mantan Pembantu Rektor II Unand itu, 84 persen peserta yang mempelajari bahasa Indonesia berasal dari kalangan generasi muda.

"Potensi ini akan berdampak positif bagi masa depan pembelajaran bahasa Indonesia di Jepang," katanya. n Ant

Sumber: Jurnal Nasional, Kamis, 31 Juli 2009

Wednesday, July 30, 2008

"In Memoriam" Dr Sjahrir

-- Rosihan Anwar*

INSAN banyak faset, ekonom PhD Universitas Harvard, dosen FEUI, dirut perusahaan sekuritas di pasar modal Indonesia, pendiri dan ketua umum Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), anggota Wantimpres RI, Dr Sjahrir meninggal dunia di rumah sakit di Singapura, Senin 28 Juli 2008 pukul 08.50 WIB dalam usia 63 tahun akibat penyakit kanker paru.

Dr Sjahrir, disapa dengan nama akrab: Ciil, pernah mengatakan kepada saya, bila rakyat Amerika ingin melaksanakan the American Dream atau Impian Amerika, mengapa kita orang Indonesia tidak mempunyai the Indonesian Dream, Impian Indonesia dan berusaha mewujudkannya?

Meskipun tidak dijelaskannya apa isi Impian Indonesia itu saya tidak berkeinginan menanyakan lebih jauh dan lebih terperinci. Saya pikir, banyak hal di dunia ini yang lebih baik tinggal diucapkan saja tanpa mengkajinya lebih mendalam. Sama-sama maklum sendirilah.

Mengenal Ciil, menyimak bicaranya, membaca buku-buku yang ditulisnya, mengikuti perjalanan hidupnya, saya menyimpulkan bahwa Ciil menginginkan orang Indonesia dapat hidup dalam masyarakat adil dan makmur, rukun damai dengan sesamanya tanpa ada diskriminasi jender, agama, etnik, harmonis dalam berbagai ragam budaya, menghormati hak-hak asasi manusia, mengangkat martabat manusia melalui pengecilan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, antara yang berkuasa dan yang tidak berdaya, menjunjung tinggi moral dan etika, bekerja keras agar setiap anak bangsa bisa hidup layak, berpendidikan, sejahtera terjaga kesehatannya, aman rumah kediaman dan lingkungannya. Singkat kata, manusia dan bangsa yang diberkati oleh Tuhan, yang bisa hidup dengan kehormatan bagi dirinya dan dengan menghormati bangsa lain di dunia ini.

Segala yang dikatakan tadi belumlah dapat tercapai oleh Dr Sjahrir. Bukan lantaran dia kurang berusaha. Bukan karena dia kurang mendesak dan menekankan tujuan perjuangannya dan cita-citanya, melainkan karena dia belum beruntung. Hokinya tidak ada. Garis-garis di tangannya tidak ada dan tidak menunjukkan akan berhasil. Apa yang kurang pada usaha Ciil? Konsep dan wawasannya tentang ekonomi Indonesia jelas, konkret, dan terukur. Kombinasi ahli teori dan praktikan ekonomi yang sukses ada padanya. Tapi sayang, dia tidak pernah dapat kesempatan diuji di bidang eksekutif, sebagai menteri anggota kabinet, misalnya, untuk melaksanakan ide- idenya, cita-citanya dan mimpinya, the Indonesian Dream.

Menurun

Saya kenal orangtua Ciil semasa jadi pelajar AMS Yogyakarta tahun 1940. Ayahnya, Ma’moen Al Rasjid (1904-1980) dan ibunya, Roesma Malik (1914-1980) bersama pengarang Andjar Asmara adalah penasihat perkumpulan Pemuda Andalas. Ayahnya orang periang, suka ketawa, ibunya seorang guru, pendiam, intelektual. Sifat orangtuanya itu menurun kepada Ciil yang dikenal sebagai pribadi menarik, hangat, kocak, tapi juga serius, pemikir.

Secara ideologis orangtua Ciil yang berasal dari Kota Gadang, Sumbar, adalah pengikut Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI dan pemimpin PSI (Partai Sosialis Indonesia). Waktu Ciil lahir di Kudus 24 Februari 1945, ayahnya memberi nama kepada putra satu-satunya: Sutan Sjahrir. Ciil yang menganggap nama itu terlalu berat untuk dipikulnya menawar dan meminta dinamakan saja: Sjahrir, tanpa Sutan.

Karena itu dapat dipahami, habitat Ciil adalah PSI, kendati dia tidak pernah jadi anggota PSI. Maklum, ketika Masyumi-PSI dilarang dan dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1960, Ciil baru berusia 15 tahun. Semasa jadi mahasiswa FEUI, Sjahrir aktif dalam demo-demo mahasiswa menumbangkan Soekarno pasca- G-30S. Dia menentang korupsi dan ikut dalam demo Peristiwa Malari 1974 yang mengakibatkan dia ditahan di penjara selama tiga tahun 10 bulan, bersama-sama tokoh PSI, seperti Soebadia Sastrosatomo, Sarbini, Moedianto. Suka atau tidak suka, protes boleh saja, tetapi Ciil dicap oleh rezim Orde Baru sebagai ”orang PSI”.

Sjahrir mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). Waktu itu dia berkata ”Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin....” Dalam PIB itu terekspresikan nilai-nilai yang dianut oleh kaum sosialis-demokrat (sosdem), tekad membela hak-hak asasi manusia dan demokrasi, mewujudkan perikemanusiaan. Tamzil ”menyalakan lilin” yang dideklarasikan oleh Dr Sjarir sama dengan pidato PM Sjahrir di Istana tanggal 25 Maret 1947 pada penandatanganan persetujuan Linggajati, yaitu ”... di tengah suasana yang menyesakkan dada sekarang ini, mari dari sudut kecil ini kita menyalakan cahaya lilin untuk perikemanusiaan.”

Kini Sutan Sjahrir sudah termasuk sejarah. Biasanya di negeri kita ini cenderung sudah dilupakan orang. Kini Dr Sjahrir atau Ciil sudah tutup usia, meninggalkan istri tercinta, Dr Katini Panjaitan, yang dinikahinya tahun 1977 dan dua putra, yaitu Pandu dan Gita. Sjahrir masih bisa menghadiri pernikahan Pandu di Washington dalam kondisi kesehatan yang tidak bagus, tetapi tidak bisa menyaksikan Gita menikah yang direncanakan awal Agustus ini. Manusia boleh merencanakan, tetapi Tuhan menentukan.

Ciil, walaupun the Indonesia Dream belum tergapai olehmu, berangkatlah ke alam barzakh dengan damai. Oom Tjian tetap percaya, generasi muda akan berusaha terus ke arah terwujudnya cita-citamu. Semoga Tuhan menerima arwah Ciil di sisi-Nya.

* Rosihan Anwar, Wartawan Senior

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juli 2008

Dr Sjahrir Berpulang: Ciil Dikenang Sering Menyemangati Ekonom Muda

Jakarta, Kompas - Ekonom Dr Sjahrir (63), yang akrab dipanggil Ciil, meninggal dunia di RS Mount Elizabeth, Singapura, Senin (28/7) sekitar pukul 09.00 waktu setempat atau pukul 08.00 WIB.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Ani Yudhoyono didampingi Kartini Sjahrir ketika melayat di rumah duka di Jakarta, Senin (28/7). Sjahrir meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada usia 63 tahun. Pada masa terakhir hidupnya, almarhum menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Ekonomi. (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Seusai disemayamkan di rumah duka Jalan Sukabumi Nomor 15, Menteng, Jakarta Pusat, rencananya, Selasa ini pukul 06.30, jenazah dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Sjahrir meninggalkan istri, Kartini, serta dua anak, Pandu dan Gita. Sjahrir adalah anak tunggal pasangan mantan Bupati Magelang, Ma’moen Al Rasyid (almarhum) dan Rusma Malik (almarhumah).

Jenazah tiba di rumah duka, Senin pukul 20.55. Sejumlah rekannya di Dewan Pertimbangan Presiden, seperti Ali Alatas, Rachmawati Soekarnoputri, dan Emil Salim, mengiringi jenazah almarhum hingga tiba di rumah duka. Sekitar pukul 22.00, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ny Ani Yudhoyono tiba di rumah duka.

Selain Presiden dan Ny Ani Yudhoyono juga hadir melayat, antara lain Menteri Keuangan yang juga Pelaksana Tugas Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, Gubernur BI Boediono, Mensesneg Hatta Rajasa, Menneg LH Rachmat Witoelar, Eros Djarot, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Akbar Tandjung.

Kartini tampak tegar duduk di samping peti jenazah, menyalami dan memeluk pelayat yang mengucapkan belasungkawa.

Semasa hidupnya, Sjahrir malang-melintang di berbagai gerakan sosial-politik. Dia dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Awal tahun 1970, Ciil ”diinapkan” selama lima hari di markas brigade mobil di Jalan Guntur, Jakarta, karena Gerakan Mahasiswa Menggugat. Ia juga pernah dipenjara selama empat tahun pada masa Orde Baru karena peristiwa Malari.

Pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono, Sjahrir duduk di Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Ekonomi. Doktor yang dikenal cerdas dan penuh semangat oleh sahabat-sahabatnya itu adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1973. Gelar master dan doktor bidang ekonomi, politik, dan pemerintahan diperolehnya di Harvard University, AS, tahun 1983.

Berbagai jabatan di bidang sosial-politik dipikulnya, antara lain, pendiri sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). Perhimpunan ini dikembangkan menjadi Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) dan Sjahrir menjadi ketua umum.

Pada bidang akademis, Sjahrir menjabat anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), American Economic Association (AEA), dan International Advisory Board, Bulletin of Indonesia Economics Studies, Department of Economics, Research School of Pasific Studies, dan Australia National University.

Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang pernah bersama-sama Sjahrir mendekam di penjara, mengenang almarhum sebagai kawan yang spesial. Menurut dia, Sjahrir sangat peduli dengan ekonomi rakyat dan pertanian.

Bagi pengamat ekonomi, Tony Prasetiantono, Sjahrir sering memberikan dorongan kepada para ekonom muda. ”Kami yang muda-muda mendapat suntikan semangat berbuat lebih banyak, terutama pemikiran-pemikiran kritis dalam membangun perekonomian bangsa,” ujarnya. (OSA/FAJ/INU/GUN)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juli 2008

Pengajaran: Sastra Dianggap Kurang Bergengsi

Jakarta, Kompas - Pelajaran Sastra Melayu di sekolah dianggap kurang bergengsi dibanding mata pelajaran lain, seperti Matematika dan Sains. Ditambah lagi dengan guru terjebak pada pengajaran sastra yang menekankan aspek kognitif, semisal apakah tema, bentuk, nada, dan gaya bahasa suatu karya.

”Mestinya guru lebih kreatif dalam mengajar sehingga sastra menjadi pelajaran yang menarik bagi siswa,” kata Dayang Faridah binti Abdu Hamid, pengajar di Brunei Darussalam, dalam seminar ASEAN Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di sekolah yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/7). Acara yang digelar Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini sebagai salah satu upaya untuk memajukan sastra di kawasan Asia Tenggara dan dihadiri peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.

Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, siswa sekarang ini merasa asing dengan karya sastra di luar genre sastra remaja. Namun, hal ini sekaligus peluang untuk menumbuhkan kegairahan bersastra dengan sesuatu yang khas.

”Ini awal yang bagus dan bisa ditingkatkan untuk kelak menjadi sastrawan yang bukan sekadar mengungkap fenomena kehidupan, tetapi juga melahirkan kata- kata yang punya pengertian yang dalam, berkarakter, dan khas,” kata Dendy Sugono.

Setya Yuwana Sudikan, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mengatakan, pembelajaran sebaik apa pun tanpa memasukkan nilai kemanusiaan, dengan sendirinya akan mengalami degradasi makna yang luar biasa. Belajar sastra menjadi jembatan untuk memahami manusia dan kemanusiaan. (ELN)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juli 2008

Monday, July 28, 2008

Pustakaloka: Puisi Pengiring Kepergian Slamet Rijadi

-- Korano Nicolash LMS

Tanggal 4 November

Jam 21 setempat

Overste Slamet Rijadi telah mangkat

Terkabullah kehendaknya

Oleh Tuhan Yang Maha Esa

Ia ingin mati muda

Semoga Tuhan

menerima arwahnya

Sebagai umat

Yang telah berjasa

Amin



YA, itulah laporan kematian dalam bentuk puisi yang dibuat Mayor Abdullah, dokter yang direkrut Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur atau TTIT Kolonel Alex Kawilarang untuk mengikuti operasi militer di wilayah Maluku Selatan.

Mayor Abdullah saat itu bertugas di atas Kapal Motor (KM) Waibalong yang berfungsi sebagai kapal rumah sakit bagi pasukan Indonesia yang tertembak di palagan Maluku Selatan dalam rangka menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Ada dua versi yang mengisahkan secara detail tentang tertembak dan jalannya penyelamatan Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Yang pertama, sesuai buku Mengenang Ignatius Slamet Rijadi, disebutkan bahwa Slamet Rijadi minta agar Kapten Klees tidak melakukan tembakan balasan dari kendaraan lapis baja yang mereka tumpangi saat mendekati Benteng Victoria, Ambon, bersama dua panser lainnya. Perintah itu keluar karena Slamet Rijadi khawatir pasukan yang menembak dari Benteng Victoria adalah pasukan Republik yang mengira pasukan di dalam kendaraan lapis baja itu adalah pasukan RMS.

Guna memastikan hal itu, Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan yang menggunakan sandi Operasi Senopati II itu turun dari panser yang ditumpanginya. Saat itu serangan dari arah Benteng Victoria sempat terhenti sejenak.

Setelah itu hanya terdengar satu peluru yang ditembakkan. Satu tembakan itu langsung merobohkan Letkol Slamet Rijadi. Melihat hal tersebut, Kapten Klees memerintahkan pasukan lapis baja melakukan serangan balasan sambil melakukan manuver mendekati Benteng Victoria. Sementara itu, Ajudan Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan Letnan I Soendjoto menarik komandannya ke tempat terlindung ke tepi jalan.

Saat itu Slamet Rijadi masih sempat berbisik kepada Soendjoto, sang ajudan. ”Ndjot, sikilku kena. Kok ora kroso, ya ..., tapi ora biso diobahke. (Ndjot, kakiku kena. Kok tidak terasa ya ..., tapi tidak bisa digerakkan.)”

Sang ajudan kemudian menerobos desingan peluru membawa komandannya ke Batumerah hingga ke Pelabuhan Tulehu untuk mencari kole-kole agar dapat mencapai kapal rumah sakit, KM Waibalong. Di sana, keduanya disambut dr Abdullah dan dr Soejoto.

Versi lainnya, sesuai catatan Letnan Soehadi, salah satu staf pribadi Slamet Rijadi, agak berbeda. Karena menurut catatannya, yang mengamankan Letkol Slamet Rijadi setelah tertembak itu justru Kapten Klees. Dia langsung turun dari pansernya setelah melihat Slamet Rijadi jatuh tertembak, untuk menaikkannya kembali ke kendaraan.

Dari situ Kapten Klees melarikan pansernya ke Batumerah sambil memerintahkan dua panser lainnya meneruskan serangan terhadap musuh di Benteng Victoria. Dari sana, Pak Met— begitu panggilan prajuritnya kepada Slamet Rijadi—langsung di- bawa ke Tulehu. Kapten Klees menggunakan sampan milik rakyat mengantar Slamet Rijadi ke KM Waibalong.

Sewaktu panser tiba di Batumerah, Selardi, Sekretaris Slamet Rijadi, datang tergopoh-gopoh sambil memengangi tangan komandannya. ”Kados pundi, Pak Met? (Bagaimana keadaannya, Pak Met?)”

Sulardi yang terakhir berpangkat brigadir jenderal dan memegang jabatan Inspektur Jenderal Hankam, usianya dua tahun lebih tua dari Slamet Rijadi. Kalau berdua, mereka berbicara selalu menggunakan bahasa Jawa halus.

Pukul 21.15 waktu setempat, Sabtu, 4 November 1950, Slamet Rijadi mengembuskan napas penghabisan pada usia 24 tahun lebih enam bulan. Dia meninggal di atas meja operasi ruang darurat KM Waibalong, tempat di mana sahabat karibnya, Slamet Soediarto, juga tutup usia satu setengah bulan sebelumnya.

Slamet Soediarto tertembak pada 28 September di bibir Pantai Hitu ketika pintu LCM pendaratannya tanpa sengaja terbuka. Slamet Rijadi sendiri tertembak 4 November di depan Benteng Victoria, Ambon, begitu turun dari kendaraan lapis baja. Keduanya meninggal di atas meja operasi KM Waibalong.

Itulah sebagian isi dari salah satu bab buku biografi Ing. Slamet Rijadi, dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS. Buku setebal 278 halaman itu ditulis oleh wartawan senior Julius Pour yang sudah menuliskan sejumlah biografi dan karya nonfiksi.

Kehadiran biografi Slamet Rijadi ini tentu akan memperkaya dan memperjelas sejumlah detail peristiwa, tidak hanya seputar perjuangan Slamet Rijadi, tetapi juga ada beberapa hal lainnya. Seperti pengaruh ideologi yang sempat mengakibatkan saling serang antara unsur-unsur bersenjata yang kemudian kita kenal dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau yang kemudian mengubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia, memasuki era reformasi.

Kalaupun ada kekurangan, mungkin hanya sekitar teknis percetakan saja. Seperti beberapa kata yang masih salah cetak atau salah penggal. Tetapi, hal itu tidak akan terlalu mengganggu jalannya cerita Slamet Rijadi berikut kehidupan sekitarnya untuk dimengerti pembaca. Itu sebabnya buku ini tidak hanya perlu, tetapi juga akan berguna bagi mereka yang ingin mengetahui detail-detail cikal bakal ABRI atau TNI itu.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

Teropong: Mempertahankan Kehidupan Multikultur

-- Irma Tambunan

RUMAH panggung Muchsin Syukur masih berdiri tegak meski usianya lebih dari seratus tahun. Di atas penyangga kayu bulian, bangunan itu menjadi rumah tertua di Kelurahan Tahtul Yaman, Kecamatan Pelayangan, kawasan Seberang Kota Jambi alias Sekoja. Si pemilik tetap setia mempertahankan arsitektur asli yang menggambarkan hangatnya nuansa multikultur.

Muchsin adalah generasi kelima yang mendapat waris atas rumah tua ini. Menurut Muchsin, rumah ini dibangun lengkap dalam perpaduan budaya Melayu, Tionghoa, dan Arab, karena ketiga budaya inilah yang memang sejak awal membentuk kawasan Sekoja menjadi seperti adanya sekarang.

Ia mencintai rumah ini dan tidak tebersit sedikit pun keinginan untuk merombak atau mengubah menjadi rumah batu modern, seperti yang mulai dilakukan sebagian warga di sana. ”Rumah ini akan menjadi kenangan akan harmonisnya hubungan antaretnis di kampung kami,” ujarnya.

Selama ini memang cukup banyak kalangan mahasiswa pembuat skripsi, dosen peneliti, atau turis asing yang sudah memasuki rumahnya, sekadar mengetahui corak rumah asli Sekoja atau untuk kebutuhan penelitian akulturasi budaya di sana pada masa lalu.

Rumah Muchsin tidak jauh berbeda dari rumah panggung pada umumnya di Sekoja. Rumah panggung dari kayu itu berdiri persis di pinggir Sungai Batanghari. Rumah dan sungai itu hanya dibatasi oleh sebuah jalan yang tembus ke Jembatan Batanghari II dan kompleks Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi.

Pintu depan rumah yang terbuat dari kayu tembesu terbagi dua di bagian atas dan bawah, sebagaimana lazimnya rumah- rumah etnis Tionghoa. Nuansa serupa didapat pada jendela yang memiliki dua lapis, berupa jendela tertutup penuh dan jendela bergaris vertikal pada bagian dalam. Apabila bagian luar jendela dibuka, pemilik rumah mendapat cahaya dan udara, bagian rumah itu tidak serta-merta terbuka karena masih ada jendela bergaris yang menjamin keamanan bagi orang di dalamnya. Sejumlah ornamen dan ukiran bergaya China juga terdapat di beberapa bagian.

Pada saat dibangun, menurut Muchsin, leluhurnya memilih model rumah panggung dengan bentuk gudang. Bagian tengah rumah cenderung lapang sehingga untuk urusan musyawarah kalangan ninik mamak, makan bersama, sampai tidur dilakukan pada satu ruang besar tersebut. Tidak ada ruang khusus yang disekat untuk kamar tidur. Empat tiang soko guru dibangun sebagai tempat bersandar ninik mamak ketika menggelar pertemuan.

Bagian muka rumah, belakang, dan dapur berlantai lebih rendah. Selasar menjadi tempat orang bertamu, berada pada lantai yang posisinya lebih rendah daripada ruang tengah. Ini dimaknai sebagai penghormatan tamu terhadap tuan rumah atau ninik mamak yang duduk di ruang tengah. Begitu pula pada bagian belakang yang merupakan laren dan dapur, yang menjadi tempat berkumpul anak gadis, lantainya lebih rendah. Nuansa Arab terlihat dari sejumlah bingkai bertuliskan kaligrafi.

Akulturasi

Arsitektur rumah-rumah di Sekoja tidak lepas dari sejarah penduduknya. Etnis Tionghoa dan Melayu masuk dan membangun perkampungan di Sekoja sekitar awal tahun 1890. Mereka memilih tinggal di Seberang demi alasan keamanan. Pada saat itu terjadi pertempuran hebat dengan penjajah kolonial di Kota Jambi.

Orang-orang pasar, begitulah menyebut kelompok etnis Tionghoa di Kampung Sungai Asam, bermigrasi ke seberang Sungai Batanghari yang masih berupa hutan. Mereka membentuk hunian baru pecinan yang tersebar dari Kampung Ulu Gedong, Kampung Tengah, Kampung Jelmu, hingga Kampung Mundung Laut.

Orang-orang Melayu menempati Kampung Olak Kemang, Kampung Tahtul Yaman, hingga Kampung Tanjung Johor, sedangkan belakangan, sejumlah orang Arab yang hendak bersiar agama masuk ke Kampung Arab Melayu dan menikahi gadis-gadis di sana.

Meski awalnya keberadaan mereka terpisah menurut wilayah, pada perkembangannya mereka saling berbaur melalui perkawinan. Dalam hubungan kerja, kelompok etnis Tionghoa umumnya menjadi pedagang dan penampung hasil perkebunan, seperti karet, kopi, lada, atau jeruk milik masyarakat Melayu, sedangkan kuatnya siar agama Islam telah menumbuhkan banyak pesantren dan sekolah agama di Sekoja. Budaya Melayu yang bernuansa islami juga masih dijunjung hingga kini, seperti tradisi kompangan (rebana), menulis kaligrafi, bermusik Melayu, dan tari Dana/Zapin Seberang.

Warga lokal percaya bahwa nenek moyang pendiri kawasan Sekoja ini adalah kaum bangsawan. Ini terlihat dari arsitektur rumah yang lengkap dengan berbagai ornamen dan berukuran cukup besar. Pandangan tersebut dikuatkan Edy Sunarto, Sekretaris Badan Musyawarah Masyarakat Melayu Jambi, Kota Seberang.

”Penghuni awal perkampungan ini memang umumnya para juragan pemilik tanah yang sangat luas di Kota Jambi,” ujarnya.

Satu orang, misalnya, bisa memiliki berpuluh-puluh hektar kebun karet dan kopi di Kampung Kebon Kopi. Padahal, sekarang Kebon Kopi telah menjadi satu kelurahan sendiri.

Situs kawasan

Melihat keaslian nuansa Melayu-Tionghoa-Arab yang masih hidup di kawasan ini, Balai Pelestarian dan Pengembangan Purbakala (BP3) Jambi berkeinginan mengajukan Sekoja sebagai sebuah situs kawasan. ”Wilayah Seberang te- lah kami ajukan sebagai situs kawasan,” kata Rusmeijeni Setyorini, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Jambi.

Menurut Setyorini, ada sejumlah alasan kawasan ini layak menjadi situs, antara lain banyaknya permukiman yang masih berciri tradisional Melayu dengan percampuran arsitektur bergaya Asia. Di sana juga tumbuh sekolah, pesantren, dan tempat ibadah yang bangunannya berciri senada. Tradisi masyarakatnya masih kuat dalam mengembangkan kerajinan batik dan songket serta tradisi Melayu lainnya. Inilah yang menurut Setyorini perlu dilestarikan, yaitu melalui penetapannya menjadi situs kawasan.

Tahun ini, menurut dia, pemerintah berencana memugar sejumlah bangunan tua Melayu supaya daerah itu dapat makin mendukung untuk pengembangan wisata Kota Lama Melayu ke depannya.

Setyorini menambahkan, sejumlah bangunan sudah mulai rusak karena perawatan yang kurang memadai. Pihaknya, sejauh ini, telah menginventarisasi sekitar 20 rumah yang benar-benar masih asli, tetapi kondisinya melapuk. Rumah-rumah inilah yang, menurut dia, layak diperbaiki.

”Usia bangunan sudah tua dan para pemiliknya sekarang banyak yang kesulitan untuk merehabilitasi rumah,” ujar Setyorini.

Atas rencana ini, masyarakat menyambut antusias. Mereka berharap pemerintah segera merealisasikannya. ”Kami tentu bangga jika perkampungan ini menjadi kawasan wisata Kota Lama,” kata Muchsin.

Akan tetapi, konsep wisata yang dikembangkan jangan sekadar menjadikan kawasan dan masyarakat di dalamnya seperti sebuah tontonan bagi turis. Masyarakat setempat juga harus terlibat dalam pengembangan kepariwisataan itu sendiri sehingga dapat memberi dampak bagi peningkatan ekonomi mereka.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

Pustakaloka: Mengasah Pena dan Imajinasi Si Cilik

-- Palupi Panca Astuti

TIBA-TIBA, dari langit terpancar cahaya yang sangat mencekam berwarna hitam keunguan. Irezer langsung menghindar, tetapi Ilfard ternyata kalah cepat. Badannya langsung lenyap ditelan pancaran cahaya tersebut, termasuk puluhan ribu pasukan perang yang berhasil dihimpunnya....

Paragraf di atas adalah sepenggal kisah yang termuat dalam novel berjudul Petualangan Arkha. Novel tersebut menceritakan perjuangan sekelompok pembasmi kejahatan melawan para Sevil jahat di negeri Xirania.

Kisah bertema superhero itu ditulis oleh Fauzi Maulana Hakim, pelajar kelas I sebuah sekolah menengah pertama di Bandung, Jawa Barat. Penulis cilik yang mengidolakan JK Rowling dan Christopher Paolini ini mengaku tidak memiliki tujuan khusus saat menuliskan karyanya tersebut.

”Aku senang ceritaku sudah jadi buku. Kan, aku jadi dapat uang,” terangnya lugu.

Fauzi, yang mulai menulis cerita itu saat masih duduk di kelas IV sekolah dasar, memberi sentuhan baru dalam dunia tulis-menulis anak di negeri ini. Novel perdananya yang diterbitkan Dar!Mizan di atas sangat bernuansa fantasi, dengan tokoh-tokoh fiksi bernama Uhon, Vanhoel, Zepyhr, atau Irezer.

Pengaruh cerita Eragon kegemaran si pengarang terlihat dalam jalan cerita yang disuguhkan. Kelincahan Fauzi berimajinasi dituangkan dalam deskripsi yang sederhana tetapi menarik, yang mampu membuat pembaca kadang larut membayangkan usaha Uhon dan kawan-kawan memberantas kejahatan.

Fauzi adalah satu dari sekian banyak penulis anak yang mulai menapakkan jejak di kancah perbukuan Indonesia. Bocah kelahiran 13 tahun lalu ini termasuk generasi penulis anak setelah era Abdurahman Faiz, Sri Izzati, Qurrota Aini, Putri Salsa, dan beberapa pengarang cilik lain yang sudah terlebih dahulu menapaki bentara penerbitan buku Tanah Air. Sebagian besar dari mereka memulai perjalanan sebagai penulis cilik di usia 7-8 tahun, ketika kemampuan baca tulis telah dikuasai cukup baik.

Penulis anak kini telah menjadi bagian cukup penting dari industri penerbitan di Tanah Air. Abdurahman Faiz, misalnya, sebelum karyanya terbit menjadi buku, puisi-puisi penyair cilik berbakat ini telah melanglang buana di internet dan dibaca banyak khalayak. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Untuk Bunda Dan Dunia terbit pada Februari tahun 2004.

Satu bulan sebelumnya, novel karya penulis cilik lain, Sri Izzati, yang berjudul Kado Untuk Ummi telah lebih dulu beredar. Kala itu, kedua penulis ini sama-sama baru berusia 8 tahun. Langkah Faiz dan Izzati kemudian menginspirasi penulis anak lain untuk mengaktualisasikan bakat-bakat terpendam mereka dalam bentuk buku.

Menulis untuk berbagi

”Dengan menulis, saya bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kan, kalau orang menyatakan cinta tetapi enggak berani ngomong, maka lewat tulisan juga,” demikian Sri Izzati dengan lugu mengibaratkan tulisan sebagai penyampai perasaan. Menurut gadis kelahiran 13 tahun lalu ini, tulisan adalah media berbagi yang paling tepat.

Izzati yang mengidolai pengarang buku anak asing Jacqueline Wilson, mulai suka menulis semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Novel anak-anak pertama yang dibuatnya tahun 2003 diberi judul Powerful Girls, mengisahkan empat perempuan perkasa pembela kebenaran. Namun, karya perdana ini hanya bisa dinikmati terbatas karena hanya beredar di kalangan keluarga dan teman-teman. Kado Untuk Ummi adalah novelnya yang kedua dan dipublikasikan secara luas. Novel ini juga mengantarnya meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai penulis novel termuda di Indonesia.

Seperti halnya Izzati yang meraih rekor Muri, Aini adalah sosok gadis cilik yang juga menekuni dunia tulis-menulis anak di Indonesia. Gadis kelahiran Maret 1997 ini membukukan karya perdananya di tahun 2004 ketika masih duduk di kelas I sekolah dasar.

Antologi cerpennya yang berjudul Nasi Untuk Kakek membuat dia meraih penghargaan Muri sebagai Penulis Antologi Cerpen Termuda Usia Tujuh Tahun. Hingga saat ini, Aini telah menghasilkan empat karya novel dan satu kumpulan tulisan bersama.

Aini, yang menyukai cerita- cerita karya Enid Blyton, suka mencurahkan perasaannya lewat tulisan. ”Enaknya nulis tuh, karena bisa kayak curhat gitu deh,” katanya polos. Kemampuannya menulis ia jadikan sarana untuk menginspirasi dan menghibur orang lain.

Tujuan Aini menjadi inspirator bagi orang lain tersebut tampaknya cukup berhasil. Paling tidak itu yang dirasakan Andi Nurul Azizah (10). Gadis yang duduk di kelas IV sekolah dasar ini mengaku terinspirasi dan termotivasi oleh tulisan-tulisan para penulis anak.

”Aku ingin bisa menulis dan membuat buku seperti mereka,” katanya. Andi yang mengoleksi buku-buku karya Izzati, Abdurahman Faiz, Bella, dan Putri Salsa ini sudah mulai mengumpulkan karya-karya puisinya yang banyak bertemakan bumi atau guru. ”Aku sangat senang dengan puisinya Faiz,” tambahnya.

Potensi penulis

Ingin tersampaikannya pesan oleh Izzati, sumber inspirasi dan hiburan buat orang lain dari Aini, maupun kepolosan Fauzi yang mendapat uang tambahan dari penjualan buku adalah beberapa alasan yang menjadikan anak-anak kreatif ini bersemangat dalam menulis. Apa pun itu, talenta dan potensi mereka dalam mengembangkan imajinasi dan mewujudkannya dalam tulisan butuh apresiasi tersendiri. Selain dari orangtua, apresiasi itu juga datang dari penerbit buku.

Bisa dibilang, kelompok penerbit yang sejak awal peduli terhadap keberadaan penulis anak adalah Mizan Publika, salah satu pemain besar di dunia penerbitan buku asal Bandung. Melalui salah satu kelompok usahanya, Mizan yang lahir tahun 1983 memiliki divisi khusus untuk menerbitkan buku anak dan remaja, yaitu Dar!Mizan. Semenjak tahun 2003, Dar!Mizan mulai melirik peluang untuk menerbitkan buku anak yang juga hasil karya anak-anak. Hasilnya adalah seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang menjadi seri khusus buku-buku Dar!Mizan oleh penulis anak, khususnya yang berusia di bawah 12 tahun.

Minat Mizan dalam menerbitkan buku karya anak sebenarnya diawali oleh pemikiran sederhana, yaitu kemungkinan adanya buku anak yang penulisnya juga anak-anak. Selama ini, buku anak yang berkitar di Indonesia terbatas pada cerita anak yang ditulis oleh orang dewasa, baik dari luar maupun dalam negeri. Belum ada penerbit yang mengakomodasi tulisan para penulis cilik, baik dalam ragam cerita, puisi, maupun esai. Padahal, potensi besar para penulis anak sangat sayang untuk dilewatkan. Maka, penerbitan karya penulis anak diniatkan sebagai wadah untuk menampung potensi tersebut.

Menurut Kepala Promosi dan Komunikasi Dar!Mizan, Fan Fan F Darmawan, talenta anak Indonesia dalam menulis cukup besar dan seharusnya dimunculkan ke permukaan. Kemampuan mereka menulis juga bisa teruji dari tanggapan sesama anak- anak.

”Kami berpikir apakah anak- anak akan peduli ketika sebuah buku ditulis oleh sesama anak kecil. Apakah mereka akan membaca buku tersebut,” terangnya. Ketika penerbitan pertama seri KKPK di akhir tahun 2003 dan awal 2004, Fan Fan mengaku terus-menerus mengomunikasikan peristiwa ini kepada publik. ”Kami ingin memancing agar anak-anak Indonesia lainnya mau bergabung dengan penulis anak lain yang sudah ada,” tambahnya.

Menurut Fan Fan, jika banyak anak senang menulis dan menjadi penulis binaan Mizan, penerbit ini akan mempunyai cadangan penulis di masa mendatang. ”Misinya adalah, kami ingin menciptakan penulis-penulis yang profesional sejak usia muda,” jelasnya.

Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan kalau anak Indonesia bisa berkarya dalam tulis- menulis. ”Kami ingin Indonesia disebut-sebut dalam literer dunia melalui fenomena para penulis anak ini,” urai Fan Fan.

Dalam mengakomodasi para penulis cilik, selain menerbitkan buku mereka, peran lain penerbit adalah memberi semacam asistensi atau pengarahan kepada mereka. Diskusi yang dilakukan antara penulis dan penerbit tidak untuk mengubah tema dan gaya bertutur, melainkan hanya anjuran mengenai teknis penulisan.

Menurut Fan Fan, gaya penulisan oleh anak-anak berbeda dengan penulis dewasa. Pandangan terhadap dunia yang linear atau apa adanya adalah ciri khas anak. Oleh sebab itu, penyuntingan terhadap karya mereka sangat dibatasi.

Suasana kondusif

Upaya penerbit dalam mengakomodasi karya-karya penulis anak memang patut dipuji. Usaha serius untuk menangani para penulis masa depan ini sangat dihargai. Karena, meski kemampuan penulis cilik masih terbatas dan harus banyak diasah, potensi besar mereka membutuhkan pengembangan dan arahan yang tepat.

Selain penerbit sebagai pihak luar, tak disangkal, orangtualah yang memegang peranan besar dalam tumbuh kembang para penulis. Sejak awal, dukungan keluarga, khususnya orangtua, berperan paling besar dalam perjalanan karier anak. Lingkungan yang mendukung dan fasilitas yang tersedia adalah suasana yang memengaruhi proses kreatif anak.

Seperti diakui Helvy Tiana Rosa, ibu dari Abdurahman Faiz, hubungan kondusif antara anak dan orangtua sengaja diciptakan untuk mendukung anak menyukai dunia baca tulis.

”Menjadi orangtua yang mendukung dengan menyediakan fasilitas, juga membuat anak suka membaca dan menulis dengan cara menjadikan kegiatan itu seperti bermain,” jelas Helvy tentang upayanya mendorong Faiz menyukai buku dan menulis.

Meski perannya sebagai ibu yang bekerja di luar rumah menyisakan tak banyak waktu untuk anak, salah satu perempuan tokoh sastra di Indonesia ini selalu memberikan kualitas pertemuan terbaik untuk Faiz.

”Ketika pulang kantor, meski capai, saya tetap akan meladeni pertanyaan anak saya dan menanyakan kegiatannya,” tambahnya.

Meski demikian, Helvy menyatakan bahwa pemberian fasilitas untuk anak menulis tidak melulu harus menyediakan komputer. ”Sewaktu kami belum punya komputer, Faiz tetap mau menulis dengan tangan,” katanya. Artinya, talenta anak menulis sesungguhnya tidak membutuhkan sarana mahal yang mungkin sulit dibeli sebagian orangtua, seperti komputer. Fasilitas sederhana dengan alat tulis biasa pun mampu menyalurkan bakat tersebut. Yang paling penting, dukungan dan contoh yang baik dari orangtua akan membuat anak leluasa memunculkan potensi mereka. (PALUPI PANCA ASTUTI/ Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

Arkeologi: Situs Manusia Purba Sangiran Dilematik

SRAGEN, KOMPAS - Situs Sangiran saat ini dihadapkan pada beberapa persoalan dilematik. Potensi yang dimiliki situs tersebut menghadapi ancaman yang disebabkan proses alam dan aktivitas manusia.

Demikian dikatakan Kepala Balai Pelestarian Manusia Purba Sangiran Harry Widiyanto, Minggu (27/7) di Sangiran. Hal itu terjadi karena areal situs relatif luas dan terbuka, penduduknya banyak, dan mereka menguasai tanah yang banyak fosilnya. ”Ada 175.000 jiwa bermukim di areal Situs Sangiran,” kata Harry.

Saat ini tidak ada aktivitas penggalian fosil manusia purba di situs tersebut, melainkan pembangunan museum senilai Rp 25 miliar. Ke depan Situs Manusia Purba seluas 56 km persegi itu diharapkan menjadi obyek wisata budaya yang bermanfaat sebagai sarana rekreasi dan pendidikan.

Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) oleh UNESCO pada tahun 1996. Sangiran mempunyai nilai penting bagi sejarah geologi di Indonesia, dan dunia, karena mencakup lapisan stratigrafi dari 2 juta sampai 200.000 tahun lalu.

Harry menjelaskan, warga di kawasan situs itu umumnya miskin. Sawah yang mereka miliki hanya bisa ditanami saat musim hujan. ”Bertani hanya kerugian yang didapat, tanah tak bisa diolah untuk keperluan lain,” kata Sutini, warga Krikilan, Sangiran.

Saat hujan dan terjadi longsor kadang penduduk menemukan fosil. Sebagian mereka jual. Sekarang kasus penjualan fosil manusia purba dalam proses pengadilan. Menurut Harry, menjual fosil mendatangkan uang cepat, kalau diserahkan ke pemerintah prosesnya bisa 3 bulan. ”Ada warga menemukan fosil buaya dan kerbau purba. Masing-masing dapat Rp 5 juta,” katanya. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Menolak Kutukan Bangsa Kuli

-- Irwan Julianto*

NYINYIR rasanya mengutip ucapan yang sudah puluhan, ratusan, atau malahan mungkin ribuan kali dilontarkan oleh Soekarno agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain.

Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu, the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda.

Berbagai penulis menyebut ucapan eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen itu aslinya dilontarkan oleh Helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah Emil atau Theodor Helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke Pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Tahun 1928, Emil dan Theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kebun teh itu kemudian diambil alih Belanda tahun 1939 setelah Jerman menginvasi Belanda, tetapi tahun 1943 dikembalikan oleh tentara pendudukan Jepang kepada sekutunya, Jerman.

Jika benar yang mengucapkan kalimat ”bangsa kuli” itu adalah Emil atau Theodor Helfferich, tak jelas kapan diucapkan dan pada kesempatan apa. Hanya, menurut Soekarno, waktu itu bangsa Indonesia hidup dengan 2,5 sen seorang sehari sehingga tak bisa mempunyai rumah yang layak, tak bisa mengirim anak ke sekolah sehingga tetap akan menjadi bangsa kecil dan bodoh.

Pledoi Soekarno Indonesia Menggugat mencoba menjelaskan bahwa memang imperialisme Belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang percaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan yang menjadi kenyataan. Menurut Hatta, seperti dikutip menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai Hatta sebagai ”kerusakan sosial” akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam pelaksanaan Agrarische Wet 1870.

Jika Anda membaca buku tipis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) karya Pramoedya Ananta Toer, ada kutipan ucapan ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain” yang dicantumkan di awal pengantar penerbit dan pada sampul belakang, tetapi tak tercantum dalam isi buku. Itu tak lain adalah ucapan tokoh Minke (personifikasi tokoh pers nasional RM Tirto Adhisoerjo) dalam tetralogi Bumi Manusia. Pada saat bangsa Indonesia tahun ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan tepat 200 tahun mulai dibangun/dilebarkannya Jalan Pos Anyer- Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels, penolakan terhadap ”kutukan” dan stigma ”bangsa kuli” menjadi relevan.

Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, dan diperkosa sebagai tenaga kerja di luar negeri. Kisah dramatis seperti yang dialami Nirmala Bonat hingga Ceriyati seperti tak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun ke depan. Impian Soekarno ketika merumuskan Pancasila tentang satu masyarakat bangsa dan tatanan dunia yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme agaknya bagaikan suatu utopia yang jauh dan nyaris muskil jadi kenyataan.

Apa sebab? Jawabnya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang pernah tercantum dalam buku teks ekologi Fundamentals of Ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an, ”Suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem di sekitarnya yang kurang tertata.” Implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang.

Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi, dan kemampuan sumber daya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diperdaya dieksploitasi oleh individu yang licik dan culas. Para TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya para TKW (tenaga kerja wanita), adalah sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi, Deplu), biro penyaluran tenaga kerja di luar negeri, hingga majikan yang bengis. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pembantu rumah tangga yang kurang terampil.

Seperti halnya kekayaan hutan, tambang, dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik di dalam maupun di luar negeri, jutaan pekerja migran kita juga menjadi sumber korupsi.

Masuk di nalar kitakah jika penyusunan UU Pertambangan kita dibuat dan didiktekan sebuah negara asing dan dicantumkan dalam situs web mereka? Hasilnya, sewa lahan hutan lindung cuma beberapa ratus rupiah per meter persegi dan bisa disewa sampai 90 tahun!

Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa- bangsa lain.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

Peksiminas: Menangkal Budaya Kekerasan

INTENSITAS kegiatan berkesenian berperan penting menangkal merebaknya budaya kekerasan yang belakangan ini kian akrab dengan kehidupan mahasiswa di Tanah Air. Melalui aktivitas seni di lingkungan kampus, para mahasiswa bisa mengekspresikan kegalauan hati dan pergulatan batin dengan karya seni yang sarat nilai estetika dan penuh nuansa kedamaian.

Tim kesenian mahasiswa Jambi yang membawakan tari Melayu "Joget Bergurau" mampu memberikan pesan kedamaian lewat gemulai tarian mereka pada pembukaan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) IX Tahun 2008 yang diselenggarakan di Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi (Unja), Desa Mendalo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, Sabtu (26/7). (SP/Radesman Saragih)

Kesan itulah yang sepintas bisa terekam mengikuti pembukaan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) IX Tahun 2008 yang diselenggarakan di Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi (Unja), Desa Mendalo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, Sabtu (26/7).

Penampilan tim kesenian mahasiswa Jambi membawakan tarian Melayu "Joget Bergurau" pada pembukaan Peksiminas tersebut misalnya benar-benar mampu menyampaikan pesan kedamaian dan kelemah-lembutan dalam pergaulan sosial. Tari yang dibawakan enam gadis kampus dengan penuh gemulai mengisyaratkan bahwa tak semuanya kesulitan hidup harus dilawan dengan kekerasan. Justru para penari mengingatkan kekerasan hidup bisa dihadapi dengan sikap kelembutan dan terkadang dengan penuh canda seperti tari yang mereka bawakan berjoget sembari bercanda.

Pesan serupa juga terekam dari penampilan tim kesenian mahasiswa Aceh yang mementaskan tarian "Kanduri Blang" atau tari panen raya. Tarian tersebut menyampaikan pesan bahwa segala sesuai yang dilakoni dalam hidup ini perlu dibarengi permohonan doa dan ucapan syukur kepada Tuhan. Melalui hubungan dekat dengan sang pencipta, apa pun persoalan hidup bisa dihadapi dengan sikap penuh ketenangan, kelemahlembutan dan kebersamaan.

Apresiasi serupa juga direkam Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo yang hadir pada pembukaan Peksiminas IX tersebut. Menurut Bambang Sudibyo, kegiatan kesenian di lingkungan kampus perlu ditumbuhkembangkan sebagai salah satu cara meredam aksi-aksi kekerasan yang semakin mewarnai kehidupan mahasiswa.

Peningkatan nilai-nilai estetika (keindahan) di tengah kampus akan mampu menumbuhkan rasa kepekaan, kehalusan jiwa dan harmonisasi perilaku mahasiswa. Estetika juga menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan apresiasi seni dan meningkatkan kreativitas pada karya-karya positif serta bermakna bagi sesama.

Bambang Sudibyo mengatakan, terabaikannya kegiatan kesenian di lingkungan kampus selama ini menjadi pemicu utama merebaknya tindak kekerasan mahasiswa di lingkungan kampus. Akibat sikap, perilaku dan pola pikir mahasiswa yang tidak memiliki estetika, kekerasan di dunia pendidikan yang sebelumnya hanya terjadi di lingkungan sekolah, akhirnya merasuk ke lingkungan kampus.

"Kekerasan yang mewarnai kehidupan kampus bukan kekerasan mahasiswa terhadap dosen karena memang dosen semakin takut kepada mahasiswa. Kekerasan di tengah kampus terjadi antara sesama mahasiswa dan mahasiswa dengan aparat keamanan. Semua ini terjadi karena terabaikannya nilai-nilai estetika dalam kehidupan kampus," katanya.

Bambang mengatakan kekerasan di lingkungan kampus sebenarnya bisa dilawan melalui peningkatan kemampuan mahasiswa mengapresiasi seni. Melalui kemampuan tersebut, mahasiswa dapat melihat sisi-sisi keindahan dari setiap pergulatan batin dan menuangkannya dalam karya seni.

Membangun sikap kreatif akan memacu mahasiswa menghasilkan karya-karya terbaik dan penemuan baru dalam kehidupan. Kreasi dan penemuan tersebut tidak hanya di bidang seni, tetapi juga kreasi dan penemuan di bidang teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia.

"Proses kreatif dan penemuan baru ini penting membantu manusia mengatasi berbagai problema hidup. Proses kreatif dan penemuan baru ini tentunya paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Karena itulah kegiatan kesenian di lingkungan kampus perlu semakin digalakkan," katanya. [SP/Radesman Saragih]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 28 Juli 2008

Presiden Minta Kemasan Budaya Lebih Variatif

[MAGELANG] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta, menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya agar tetap murni dan sarat dengan pesan-pesan moral dan spiritual. Namun, Presiden Yudhoyono meminta agar warisan budaya itu dikemas dengan lebih variatif dalam promosi sehingga keseluruhan tampilannya benar-benar menjadi produk ekonomi warisan dan ekonomi budaya yang bernilai tinggi, yaitu tampilan seni budaya yang menarik, indah dan berkesan bagi wisatawan.

Presiden Yudhoyono menyampaikan hal itu dalam sambutannya pada acara "Jejak-Jejak Peradaban Perjalanan Budha" di Pelataran Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, Sabtu (26/7) malam.

Pada acara yang diselenggarakan bersama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) itu dihadiri juga Ny Ani Bambang Yudhoyono, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Ketua Walubi Hartati Murdaya, dan Gubernur Jawa Tengah Ali Mufidz.

Pada acara itu dipentaskan seni tari lima dari enam negara deklarator Borobudur tahun 2006 yakni Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Delegasi Kambodja tidak datang karena sedang mempersiapkan pemilu pada 27 Juli 2008.

Lebih lanjut Presiden Yudhoyono menyebutkan, keenam negara itu memiki kesamaan budaya dan peradaban yang tinggi. Sebab di masing-masing negara itu memiliki peninggalan peradaban yang hampir sama, yang berasal dari zaman keemasan agama Buddha.

"Jejak-jejak peradaban yang tersebar di keenam negara itu memiliki pesan moral dari masa silam yang dapat kita pedomani pada masa kini. Warisan peradaban masa silam mampu menumbuhkan proses kreatif yang melahirkan berbagai bentuk kesenian, tradisi, dan budaya bernuansakan religi. Proses kreatif demikian ini dapat merekatkan persahabatan dan kehidupan harmonis antar bangsa," ujar Presiden Yudhoyono.

Menurut Presiden, seni dan budaya yang bernapaskan Buddha sarat dengan kandungan nilai-nilai luhur, yakni perjalanan pendakian spiritual Buddha untuk mencapai pencerahan sejati. "Di dalamnya dilukiskan keteguhan dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuan mulia," papar Presiden Yudhoyono. [A-21]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 28 Juli 2008

Sunday, July 27, 2008

Esai: Akrobat Kata-kata

-- F Rahardi*

DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 14 Juli lalu, cerpenis Hamsad Rangkuti membuat pernyataan bahwa ”Pengarang muda cenderung berakrobat kata-kata”.

Dampak dari akrobat kata-kata ini—masih menurut Hamsad—akan membuat tema karya sastra (prosa) menjadi tersembunyi, bahkan hilang (Kompas, 15/7). Beberapa tahun lalu, Hamsad juga pernah membuat pernyataan yang kontroversial, bahwa sastra = kebohongan. Ketika itu saya mencoba meluruskannya, bahwa sastra yang lahir berdasarkan imajinasi, beda dengan kebohongan. Tulisan saya yang meluruskan Hamsad di Kompas ini kemudian dimuat dalam salah satu kumpulan cerpennya.

Kali ini pun, pernyataan Hamsad salah. Memang bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style, menomorduakan tokoh, plot, dan setting. Secara otomatis tokoh, plot, dan setting bisa menjadi kabur, atau hilang sama sekali. Ini sebenarnya sudah dimulai oleh Iwan Simatupang pada tahun 1960-an. Tren seperti ini sebenarnya merupakan perkembangan sastra dunia dan terjadi secara alamiah. Dalam sastra klasik, misalnya Mahabharata, dan Ramayana, tokoh menjadi hal utama.

Kekuatan tokoh inilah yang secara otomatis menciptakan plot. Setting bisa dibuat di mana saja. Ketika epik ini disadur menjadi Parwa maupun Kakawin oleh para pujangga kita, setting India dipindah menjadi setting Jawa, dengan gunung, sungai, flora, dan fauna Jawa pula. Kekuatan epik asli bukan hilang, malahan justru bertambah. Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”.

”Style” bukan akrobat

Dalam acara-acara seperti di Palangkaraya itu, seyogianya Hamsad cukup bercerita, bagaimana proses kreatifnya berlangsung. Ini tidak akan pernah salah dan akan sangat bermanfaat bagi publik sastra. Style dalam prosa bukan sebuah akrobat kata-kata. Hari Minggu (13/7), Kompas memuat cerpen Triyanto Triwikromo, Dalam Hujan Hijau Friedenau; dan esai Afrizal Malna, Kota yang Tenggelam dalam Seribu Karangan Bunga. Cerpen dan esai inilah, dugaan saya, yang membuat Hamsad melontarkan ”Akrobat Kata-kata” itu.

Kekuatan cerpen Triyanto, dan esai Afrizal, justru pada style. Tema (materi) yang digarap oleh cerpenis dan penyair dalam cerpen dan esai ini justru tampil sangat kuat. Bukan tersembunyi, atau malahan hilang. Yang hilang (atau kabur), hanya tokoh, plot, mungkin juga setting. Menguatnya style dalam karya sastra memang selalu secara otomatis disertai oleh menguatnya semacam ”pesan”, atau istilah Hamsad tema. Kekuatan novel Saman karya Ayu Utami juga pada style, berupa pencapaian keterampilan linguistik, yang sekaligus juga menguatkan tema.

Eksplorasi terhadap style ini telah mengakibatkan prosa menjadi seperti puisi, puisi menjadi seperti esai, dan esai menjadi semenarik cerpen. Sekat antara prosa, puisi, dan esai menjadi cair. Hal serupa juga terjadi pada seni rupa. Pelukis, pematung, pegrafis konvensional tetap eksis. Tetapi lahir genre ”perupa”, yang karya utamanya bukan lukisan, bukan patung, dan bukan grafis. Kadang karya para perupa ini disebut seni instalasi, kadang disebut pop art, ada pula yang punkist.

Kembali ke sederhana

Eksplorasi sangat diperlukan, untuk menembus kebekuan, kejenuhan, kemandekan, dan sebutan lainnya. Eksplorasi akan menghasilkan energi ekstra, menimbulkan kesegaran, menghilangkan kantuk. Istilah Hamsad ”Akrobat Kata-kata” sebenarnya sangat tepat asalkan jangan ditambahi dengan teori sastra, yang tidak dia kuasai dengan baik. Akrobat memang menimbulkan dinamika yang sangat menarik. Baik bagi para pelaku akrobat sendiri maupun bagi para penonton.

Ketika eksplorasi sampai ke titik sublim, seniman akan kembali sederhana, kembali rendah hati, kembali menulis secara bersahaja, tetapi dengan kekuatan luar biasa. Sutardji yang mengeksplorasi kata habis-habisan, akhirnya sampai ke: Kalian - Pun! Sitor Situmorang sampai ke: Malam Lebaran - Bulan di atas kuburan. Ketika semua orang duduk-duduk santai menikmati gamelan atau musik klasik, akrobat dengan iringan musik mars, akan sangat menarik, akrobat akan menjadi tren.

Kalau akrobat laku, semua akan berakrobat. Istilah yang kalau tak salah pernah disampaikan Bre Redana, dan juga Bambang Bujono: ”Semua mengAfrizal”. Dan ketika semua orang bermain akrobat, dengan iringan musik yang ramai, maka beberapa orang yang duduk tenang di pinggir lapangan, justru akan kembali menjadi tontonan menarik. Lalu ketika semua orang berpura-pura menjadi sederhana, berpura-pura menulis Haiku, maka orang-orang kembali ngantuk. Ini hanya sebuah lingkaran siklus: thesis, sinthesis, dan antithesis.

”Jealous” pada yang ”muda”

Istilah ”pengarang muda” sebenarnya juga sebuah pelecehan. Tidak pernah ada pengarang muda, tidak pernah ada pengarang jompo. Kualitas karya tidak pernah paralel dengan usia. Chairil Anwar berkarya pada usia sangat belia, dan dia mati muda. Tetapi HB Jassin tidak pernah sekali pun menyebut Chairil sebagai ”penyair muda”. Dewan Kesenian Jakarta pernah ceroboh dengan membuat acara ”Penyair Muda di Depan Forum”, yang mendapat kritik tajam dari berbagai pihak pada tahun 1970-an.

Raja Dangdut Rhoma Irama seperti kebakaran jenggot ketika menyaksikan Inul Daratista bergoyang ngebor. Goyang Inul lalu dibantai habis-habisan dan dianggap sebagai ”porno aksi”, sebuah terminologi khas Indonesia, yang dengan gamblang menunjukkan kebodohan bangsa. Banyak kalangan yang membela Inul, dan mengatakan bahwa Rhoma Irama cemburu ketika ada penyanyi baru, yang tiba-tiba meroket. Saya menduga, ada unsur kecemburuan Hamsad pada generasi yang jauh lebih genius ini.

Dengan sangat terpaksa, saya kembali mengulang tulisan saya di ruangan ini, entah berapa tahun yang lalu. Hamsad sebaiknya mensyukuri bakat alam, kesederhanaan, dan kepiawaiannya mengolah itu semua, dengan cara yang sangat bersahaja. Kalau toh Anda tergoda untuk mengomentari Triyanto, dan Afrizal, bagus juga menyebut ”Akrobat Kata-kata”, tetapi cukuplah dengan ditambah: ”Akrobat kata-kata mereka memang hebat! Abang mana bisa kalau disuruh yang seperti itu!”

* F Rahardi, Penyair, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juli 2008

Esai: Kematian (Sejarah) Novel?

-- N Mursidi*

JAUH-JAUH hari,ketika novel Ayat- Ayat Cinta (AAC) sedang santer diberitakan akan diangkat—diadaptasi—ke layar lebar, saya sudah menduga kalau kelak film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu akan melampaui novelnya.

Ternyata dugaan itu tidak meleset. Setelah film AAC diluncurkan dan diputar di sejumlah gedung bioskop, apa yang saya ramalkan itu tidak salah. Tidak kurang empat juta penonton (dari segala umur) rela antre berdesak-desakan untuk sekadar menonton akting Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia A Mecca, Carissa Putri, dan Melanie Putria.

Padahal, novel AAC besutan Habiburrahman El-Shirazy yang fenomenal itu hanya mampu menembus penjualan sekitar 500.000 eksemplar (dalam rentang waktu tiga tahun). Jelas jumlah penonton film Ayat-Ayat Cinta itu telah melibas jauh—delapan kali lipat.

Tidak mustahil, Riri Riza yang sekarang ini sedang bekerja keras memproduksi novel best seller Laskar Pelangi (besutan Andrea Hirata), kelak bakal menuai kesuksesan serupa. Fenomena itu seakan mempertegas kematian sejarah novel di era budaya visual sekarang ini. Pasalnya, kesuksesan film AAC dalam menjaring jumlah penonton tidak semata-mata mengukuhkan akan rendahnya tingkat baca masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, dapat dibaca sebagai sebuah pertanda kematian (sejarah) novel.

Kemenangan Budaya Visual

Kematian (sejarah) novel tidak lain karena dunia sekarang ini telah mengalami pergeseran (masa transisi) dari dominasi fantasi atau imajinasi ke konsumsi gambar instan (dunia visual).

Pada masa transisi ini—sebagaimana diungkapkan John Naisbitt,sejarah tulisan yang dikenal sejak 6.000 tahun lalu telah “direbut paksa” faktor visual, dari seni, arsitektur, hingga desain. Sebelum kehadiran zaman film, TV, video, dunia memang dikuasai narasi literal.Tidak salah,Aristoteles dalam Poetics pernah berujar, “Hal yang terhebat di dunia ini adalah menjadi penguasa metafora.” Apa yang dikatakan Aristoteles itu memang tidak salah.Pasalnya,waktu itu dunia dikuasai penguasa metafora.

Tak mustahil, pada zaman itu penulis cerita dan penyair dihormati. Tetapi,masa kejayaan metafora itu sekarang telah memudar.Peradaban dunia imajinasi kini telah dikalahkan gambar langsung film,TV, video, dan DVD yang telah merebut, bahkan mengganti kekuasaan cerita (cerpen, puisi,dan novel).Maka,kini yang menjadi penguasa budaya (dunia) bukan lagi penguasa metafora (sebagaimana diungkapkan Aristoteles), melainkan sang penguasa visual yang diperankan artis.

Fenomena akan kemenangan kekuasaan visual di dunia inilah yang kemudian menjadikan artis seperti Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia Mecca, bahkan Carissa Putri lebih dikenal orang daripada Kang A b i k — p a n g g i l a n a k r a b pengarang Ay at - Ay at C i n t a — b a h k a n sutradara film t e r s e b u t , H a n u n g Bramantyo.

Kemenangan dunia visual itu, dalam kasus yang lebih akrab, bisa diamati pada tayangan acara infotainment. Fakta “peralihan”dari dunia narasi literal yang sekarang diambil alih narasi visual ini pun semakin mempertegas akan kematian sejarah novel. Logis, kalau Sir Vidia Naipaul,pemenang hadiah Nobel 2001 dalam bidang kesusastraan,pernah berucap lantang,“Saya tidak yakin novel akan dapat bertahan; hidupnya hampir berakhir.”

Ironisnya, dia bahkan menegaskan novel sudah “sekarat”— setidaknya—selama satu abad. Yang jelas,dunia sekarang ini telah diambil alih budaya visual. Imajinasi, sebagai kekuatan novel, telah dilibas dominasi gambar visual dan novel pun berada di ambang kematian.Memang, novel, yang sejatinya merupakan ranah fantasi dan imajinasi,tidak mati. Tapi, tak dapat dipungkiri, sejarah novel sekarang ini sudah sekarat.

Geliat Novel Grafis

Pada saat novel konvensional sekarat, justru novel bergambar (novel grafis) menunjukkan geliat yang bertolak belakang. Jika novel konvensional di era sekarang ini sedang sekarat,anehnya novel grafis semakin menggeliat dan mendapatkan tempat yang istimewa. Dua tahun terakhir, skala penjualan novel grafis semakin menunjukkan pertumbuhan.

Hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Di Inggris, tidak sedikit penerbit yang memperluas koleksi novel grafis untuk diterbitkan. Seiring pertumbuhan novel grafis itu, belakangan juga sedang tren sebuah film yang diangkat dari novel grafis. Jika dulu kisah heroik yang diangkat dari komik, bisa disebut seperti Superman, Batman, X-Men, kini pun mulai dikenal From Hell,The League of Extraordinary Gebtlemen dan V for Vendetta.

Fenomena apakah yang dapat dibaca di balik geliat pertumbuhan novel grafis ini? Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan novel grafis bisa bersinar terang pada era budaya visual. Pertama, novel grafis tak semata-mata sebuah cerita yang lahir dengan mengandalkan narasi literal. Lebih dari itu, berusaha menjembatani kekuatan teks dan image untuk berkesinambungan.

Karena itu,novel grafis tak ikut sekarat. Kedua,dalam novel grafis,kehadiran teks—sekalipun ada—tidak lebih sebagai “sarana” untuk menjelaskan sebuah gambar (image). Kekuatan teks sebenarnya bukan lagi suatu keharusan karena sudah ada unsur motion yang dapat dianggap sebagai “jati diri”kekuatan novel grafis.Pada konteks ini,adanya ungkapan sebuah gambar bisa mewakili seribu kata seakan mempertegas kehadiran teks dalam novel grafis hanya sebagai pelengkap belaka.

Karena itu,Claude Beylie dan F Laccasin memasukkan komik (sekarang dikenal novel grafis) sebagai bagian dari seni,yang disebut seni kesembilan. Jadi,keberadaan novel grafis tidak bisa disamakan dengan novel konvensional. Sebab, novel konvensional kini sedang sekarat.Akankah kelak pemutaran film Laskar Pelangi akan mempertegas kematian (sejarah) novel?(*)

* N Mursidi, Cerpenis dan esais

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 Juli 2007

Esai: Estetisasi dan Politisasi

-- Mudji Sutrisno SJ*

ESTETISASI adalah kerja yang memperindah tampilan serta panggung pertunjukan diri. Namun,tampilan mengada-ada itu selubung yang menyembunyikan fakta sebenarnya.

Apakah negara panggung, penelitian ahli budaya Geertz yang dikembangkan Umar Kayam (alm) menjadi negara gebyar merupakan estetisasi kenyataan semu? Jawabnya, ya.Sebab, basis kenyataan material nyata nusantara berada di penjajahan VOC,yakni raja-raja MataramPakubuwonodanHamengku Buwono tidak punya wilayah daratan teritorial lagi sebagai raja-raja.

Jadi, estetisasi sesungguhnya melarikan legitimasi “gebyar” upacara sebagai kedaulatan sang raja lengkap dengan gelar simbolik pakubumi. Tidak punya kekuasaan tanah daratan yang sudah dicaplok kolonialis. Maka, dalam analisis penafsiran poskolonialisme, sisa-sisa watak dan perilaku dari masa kolonialis terjajah dalam menggincu tampilan luar indah gemerlap dan resmi formal rapi di permukaan, tetapi di balik itu sebenarnya berantakan dan kacau salah urus adalah kelanjutan estetisasi di zaman kini.

Apakah kegemaran berfestival ria di saat-saat merayu rakyat dengan biaya mahal yang kontras dan paradoks dengan kepahitan rakyat banyak yang makin miskin dan antre di mana-mana dengan wajah meminta-minta bisa dijelaskan dengan estetisasi? Apakah program-program sinterklas pemerintah yang tidak mendidik merupakan selubung manis memperindahindahkan?

Juga apakah kepanikan manajemen reaktif menghadapi protes mahasiswa lewat program bantuan Rp500.000 untuk mahasiswa miskin merupakan estetisasi? Ketika laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program pendidikan atau penyejahteraan orang kecil dibuat indah di kertas laporan, tetapi berantakan di lapangan, laporan formal itu merupakan produk estetisasi.

Lalu, ketika perilaku estetisasi hampir menjadi ungkapan cara-cara memberi makna dalam hidup bernegara, estetisasi berkembang menjadi budaya yang mempercantik wajah kota dengan slogan demi adipura, tetapi keadaan sejahtera masyarakat tetap bernapas dalam lumpur. Peninggalan adipura—warisan Orde Baru—di beberapa tempat kini didekonstruksi.

Di Solo,misalnya, visi budaya dan penyejahteraan diwujudkan Wali Kota Joko Wi ketika dia meminta para budayawan asli Solo dan pencinta perkembangan kota agar memberi pemikiran-pemikirannya guna melawan budaya estetisasi. Di Solo,kini dihayati pemaknaan masyarakatnya sebagai ”Solo kotaku, Jawa budayaku”dan berikutnya Indonesia adalah bangsaku dan negaraku!

Proses budaya merupakan pemerdekaan orang-orangnya dari dehumanisasi untuk menjadi lebih berharkat dan beradab. Karena itu, estetisasi merupakan “musuh” dari proses semakin beradabnya manusia. Estetisasi lalu merupakan lawan dari humanisasi peradaban. Mengapa merupakan musuh peradaban?

Pertama, estetisasi menampilkan kemunafikan wajah ganda, yakni di permukaan indah, sementara di balik itu busuk. Kedua, estetisasi membuat budaya retak antara yang nyata dengan yang simbolik. Antara yang benar-benar faktual ditutupi dengan karpet-karpet yang seolah-olah bagus, tetapi di baliknya jurang derita tak pernah ditangani. Ketiga, terjadi pembelahan dunia resmi formal, santun, beres di depan, sementara dunia pelaksanaan atau dunia get things done tetap dibiarkan telantar.

Lihatlah contoh dua tahun peristiwa lumpur Lapindo yang tidak peduli dengan korban karena jaringjaring kapital bergandeng tangan dengan penguasa. Estetisasinya menyebar dengan modal iklan,advertorial di mana-mana, di kolom-kolom media cetak dan elektronik, tetapi fakta derita korban lumpur Lapindo tetap menyedihkan.

Keempat, budaya serba memperindah- indah menjadi sumber korupsi, kebohongan publik ataupun sikap tidak mau rendah hati. Estetisasi—warisan poskolonial yang sudah masuk ke bawah sadar dan kesadaran kultural petinggi-petinggi bangsa kita—harus dibongkar dan dijadikan musuh budaya. Politisasi merupakan pereduksian dimensi-dimensi kaya dari kehidupan hanya pada satu dimensi, yaitu persaingan kekuasaan untuk meraih kursi, jabatan, dan penguasaan demi tercapainya kepentingan diri atau kelompok sebagai partai.

Semua sarana, dari iklan media, dana, lobi, hingga cara-cara halal maupun haram dipakai untuk memenangkan kepentingan dan kursi kekuasaan. Pemilu adalah sarana memanipulasi masyarakat untuk tangga naik. Lalu, begitu kursi jabatan sudah di tangan, rakyat sebagai anak tangganya ditendang dan tak dipedulikan lagi nasibnya.

Politisasi adalah seluruh daya gerak dan kerja menguasai hidup bersama dengan politik kekuasaan dan tidak dengan politik kesejahteraan. Tanda utama politisasi adalah tagihan janji-janji selama kampanye tidak diwujudkan. Ciri berikutnya, medan politik baik eksekutif, yudikatif, apalagi legislatif dipakai untuk cari makan dan membesarkan kepentingan penguasaan aset-aset, kekayaan tanpa ingat lagi pada anak-anak tangga suara rakyat yang telah memilihnya.

Bersama dengan estetisasi di ruang budaya, politisasi adalah musuh bagi peradaban demokratis berbangsa dan bernegara sebagaimana visi konstitusional di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 untuk keindonesiaan yang berkeadilan sosial; berketuhanan; berkeadaban; dengan musyawarah untuk politik dan demokrasi hukum yang pasti serta menghormati kebinekaan ragam penyusun bangsa dari beda agama, ragam suku, dan aneka subkultur yang menyatu dalam b a n g s a Indonesia M e n g a p a p o l i t i s a s i merupakan musuh h u m a n i s a s i peradaban Indonesia?

Pertama, karena kekuasaan menjadi tujuan yang mau diraih bukan untuk politik kesejahteraan.Kedua, karena politik dijalani tanpa etika pelayanan demi kebaikan kesejahteraan masyarakat sehingga yang berkuasa dan hanya yang bermodal sajalah yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hanya para gajahlah yang berhak menentukan bernegara sedang para pelanduk mati menjadi korban dan dijadikan sarana untuk mencapai kekuasaan.

Ketiga, karena hidup bersama direduksi dalam hubungan kekuasaan tanpa etika dan tanpa kontrol, keramaian demokrasi menjadi semu tanpa terjadi perubahan tingkat martabat dan kesejahteraan hidup warganya. Berganti-ganti pemerintahan, tetapi tetap saja menderita di basis kesehatan dan pendidikan.

Akibatnya, terbukalah jurang amat lebar antara elite kekuasaan yang tanpa malumalu menikmati kekuasaan dengan paradoks rakyat miskin yang susah makan, bahkan di sana-sini frustrasi dan bunuh diri karena tak bisa memberi makan anak-anaknya.(*)

* Mudji Sutrisno SJ, Budayawan

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 Juli 2007

Pustaka: Spirit Perlawanan dalam Sastra 'Post'- Kolonial

Judul: Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra

Penulis: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan: I, Februari 2008

Tebal: xii + 450 halaman


MEMBUKA kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia merupakan hal "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikit pun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan.

Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, nenek moyang Indonesia tak sedikit pun gentar menghadapi penjajah. Kendala apa pun diterjang. Harta, benda, bahkan nyawa menjadi taruhan. Orang-orang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide.

Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat antikolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra post-kolonialismenya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.

Semangat sastrawan post-kolonialisme menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, membeberkan secara rinci, serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra post-kolonial. Dilihat dari istilah post-kolonial, ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Post-kolonial atau pascakolonial, memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi Indonesia, post-kolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra post-kolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.

Sastra-sastra post-kolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini, disebutkan ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra post-kolonial.

Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi empat periodisasi: Sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi dalam periodisasi, dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261).

Karya sastra post-kolonialisme sebelum perang, dalam buku ini berjumlah delapan. Di antaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).

Sastra post-kolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992).

Dari keseluruhan karya sastra post-kolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreativitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan.

Sesuai analisis pendek Prof. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan tapi cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).

Ontosoroh memiliki semangat baja, sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di Surabaya.

Di sini, Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran.

Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih," ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006: 489--490).

Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme.

Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya, praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.

Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap, tapi jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang di tubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.

Fatkhul Anas, staf pada Hasyim Asyari Institute Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008

Saturday, July 26, 2008

Esai: Djenar, Sudut Gelap Hidup Anak, dan "Menyusu Ayah"

-- Rohyati Sofjan

ADA hal menarik dari tema yang diusung Djenar Maesa Ayu, kecenderungannya untuk memaparkan masalah seksual, semacam kompleks kejiwaan dan selalu dialami seorang [anak] perempuan. Itulah yang akan saya bahas di "Menyusu Ayah", salah satu Cerpen Terbaik versi Jurnal Perempuan 2002 yang masuk antologi cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Antologi cerpen terbitan Gramedia yang provokatif dengan sampul merah menyala dan seolah menantang pembaca untuk menyelaminya.

Saya cenderung memandang karya Djenar sebagai semacam letupan-letupan yang mengasyikkan. Bahwa ia dengan tokoh-tokohnya seolah mengobrak-abrik tatanan moral yang penuh hipokrisi. Dan efek repetisi (perulangan) adalah semacam "bius" agar pembacanya bisa trance ke alam lain.

Blak-blakan, memang. Namun bukankah dalam realitas sekitar pun hal itu bukanlah sesuatu yang asing?

"Menyusu Ayah" terasa absurd alurnya. Namun absurditas itu tidaklah kental nuansanya. Rada mild. Kalau dibidik dari sudut pandang psikologis, tokoh aku-anak terasa "dewasa" dalam kenaifannya. Matang secara seksual sejak usia dini bukanlah hal ajaib lagi. Orang boleh saja merekanya sebagai fiksi, namun bukan mustahil apa yang dipaparkan Djenar sebenarnya merupakan sudut gelap dari kehidupan anak.

Kita jadi ikut berandai-andai sebab pengandaian Djenar terasa menabrak pakem "tabu" namun mengena. Kalaupun tokoh utamanya terasa eksistensialis dan sibuk bergulat dengan pemikiran tentang dirinya di antara orang lain, itu merupakan pemikiran "asli" Djenar yang subjektif dan khas. Sesuatu yang disebut "warna jiwa" dalam bahasanya.

Makanya saya tak keberatan dengan seksualitas yang diusung Djenar karena waktu kecil dulu pernah nyaris jadi korban pedofilia. Memang tidak parah karena waktu itu cuma dipangku kawan saudara saya, orang dewasa sekira 25-an. Waktu itu kami di kamar yang sepi, siang hari, dan saudara saya ada di kamar mandi. Tak tahu mengapa ia demikian, bersikap akrab atau apa, namun tindakannya terasa tidak wajar. Main pangku dan elus kepala segala, lalu pelukan dan elusannya terasa aneh, jadi saya buru-buru cabut darinya sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Alhamdulillah, selamat.

Ini hanyalah salah satu contoh nyata, banyak contoh lain yang saya persaksikan. Antara fiksi dan fakta memang tipis selubungnya. Namun imajinasi pengarang menentukan peran: bagaimana popularitas sampai esensi cerita itu akan dicerna pembaca. Di sanalah Djenar memainkan psikologi tokoh-tokohnya dengan gaya tutur "saya" agar pembaca pun turut serta berperan sebagai tokoh utama atau memahami ada saya-lain yang tak terkira.

Begitulah Djenar, memainkan karakter tokoh-tokohnya secara naif, lugas, keras kepala dengan prinsip hidupnya. "Menghardik" masyarakat yang punya pakem gelap-gelapan dalam hal moral dengan menyodorkan moral-lain versi dirinya. Terlepas dari tidak setujunya saya dengan prinsip demikian, namun yang menarik adalah hal tersebut bisa jadi merupakan fakta. Lalu, haruskah Djenar dikecam karena memilih angle macam itu dalam versinya?

Bagian mana yang menarik dari cerpen itu? Kekuatan perempuan!

Perempuan yang selama ini diposisikan sebagai "korban" bisa mengambil alih permainan selaku "pemeran", terutama menghadapi lelaki berikut sesama kaumnya sendiri, baik secara personal maupun kelompok.

Ketika direpresi, ia punya imajinasi akan kendali yang diyakininya untuk memutarbalikkan keadaaan atau setidaknya melunakkan tekanan dengan prinsip keras kepalanya bahwa ia bukanlah makhluk lemah. Orang lain boleh menganggap apa tubuhnya, ia sebagai pemilik tubuh punya hak akan memberi "jiwa" macam apa pada tubuh tersebut.

Lalu Nayla pun dengan keras kepala meyakini prinsip dasar yang dianutnya:

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.

Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki.

Potongan rambut saya pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara. Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya untuk dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi. (Hlm. 36-37).

Dahsyat! Konsepsi pemikiran Djenar lewat tokoh Nayla dan struktur bahasanya yang penuh repetisi seakan hendak menegaskan keyakinan Sang Tokoh yang lugas dan tegas di balik citra "lemah".

Di sanalah Djenar bermain dengan tanda penis, air mani, susu, payudara, kencing berdiri, rambut, kulit, wajah, tubuh, dan sekian penanda lainnya; untuk mengingatkan bahwa hal tersebut eksploratif sekaligus eksploitatif.

Lalu karakter Nayla, secara psikologis ia telah bicara banyak dengan prinsip-prinsipnya. Di balik keluguan, ia tengah mencerna hidangan pelajaran kehidupan. Dan perspektifnya menghenyakkan kita. Betapa Nayla pun bisa "dewasa".

Tapi tidak ada pesta yang tidak usai. Kebahagiaan adalah saudara kembar kepahitan. Ternyata orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak semua orang dewasa hanya mau menyusu. (Hlm. 40)

Siapakah pengkhianat itu?

Pelan-pelan kita dibawa dalam setiap fragmentasi adegan dari halaman 41 s.d. 43. Ketika "menyusui" berubah jadi perkosaan. Sosok teman-teman Ayah ternyata berubah wujud jadi Ayah sendiri. Kita tak mengira bahwa pemerkosa itu ternyata harus orang yang dekat dengan Sang Nayla; figur pengayom pun ternyata melakukan lebih daripada apa yang dilakukan kawan-kawannya dalam hal "menyusui". Di sana ada efek ketidaksadaran, pada mulanya Nayla merasa asing lalu kemudian ia mengenal baik siapa pelakunya: ayahnya sendiri!

Sosok tersebut seolah ditampilkan dalam citraan "mimpi", mula-mula samar lalu jelas setelah ada efek kesadaran. Serba mengawang.

Di sana umpama tersebut saya paparkan untuk memberi kebebasan; pilihan rasa apa yang di benak Nayla - juga kita, pembacanya?

Yang menarik adalah Nayla masih bisa melakukan perlawanan di akhir adegan perkosaan tersebut:

Tangan saya meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah. Matanya masih membelalak ketika terakhir kali saya menatapnya sebelum dunia menggelap. Pancaran mata itu, tidak seperti pancaran mata teman-teman Ayah yang lain. Pancaran mata itu, sama seperti pancaran mata Ayah. (Hlm. 43)

Ia telah kehilangan kenikmatan menyusui. Dari "bayi", ia berubah jadi gadis kecil yang didewasakan keadaan. Pada usia berapakah peristiwa tersebut terjadi? Yang jelas barangkali semasa akil balig, setelah masa menstruasinya, sebab pada akhirnya Nayla bisa hamil. Itu absurd. Mengandung anak dari ayahnya. Inses dalam pandangan seorang anak.

Bukankah absurditas hidup itu kompleks? Sering kita temui dan baca hal macam itu. Namun Djenar memaparkannya dengan struktur cerita dan bahasa yang lekas. Eksistensialisme yang mandiri.

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.

Kini, saya adalah juga calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah. (Hlm. 43).

Getir namun optimis!

Demikianlah membaca Djenar Maesa Ayu. Tema seksual tak bisa begitu saja dikategorikan amoral. Ia justru memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan moral. Tatanan moral yang jungkir balik dalam sisi gelap kehidupan. Sesuatu yang kita tolak dan sangsikan, namun sebenarnya senantiasa mengintai.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 26 Juli 2008

Saini KM, Puisi, dan Pertemuan Kecil

SETELAH periode Kuntum Mekar (1950-1965), rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat ada dalam periode Pertemuan Kecil (1976-1996), yang diasuh penyair Saini KM. Rubrik tersebut selain memuat sejumlah puisi karya para penyair dari generasi kemudian, juga memuat tulisan Saini KM mengenai kelebihan dan kelemahan puisi yang ditulis para penyair yang diasuhnya itu.

Rubrik Pertemuan Kecil sebagaimana dikatakan mendiang Suyatna Anirun dalam percakapannya dengan penulis pada 1996 lalu, mulai muncul di HU Pikiran Rakyat pada 1976. Rubrik tersebut ditutup pada tahun 1996 sehubung dengan kesibukan Saini KM yang pada saat itu diangkat menjadi Direktur Direktorat Kebudayaan Depdikbud, berkantor di Jakarta.

"Dibukanya rubrik Pertemuan Kecil merupakan respons positif dari HU Pikiran Rakyat yang pada saat itu ingin turut serta menumbuhkembangkan kehidupan puisi di Bandung khususnya dan di Jawa Barat pada umumnya. Terbukti, begitu rubrik tersebut dibuka mendapat sambutan yang luar biasa. Apalagi di Bandung saat itu gairah berkesenian cukup hidup," kata Suyatna Anirun menjelaskan.

Kehidupan kesenian di Bandung pada awal 1970-an, menurut Suyatna Anirun, cukup hidup, antara lain ada Pengadilan Puisi yang melahirkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai tokoh, juga Abdul Hadi W.M. Selain itu, ada juga gerakan puisi mBeling yang dikomandani oleh Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado. "Selain mereka, di Bandung saat itu ada Wing Kardjo, Sanento Juliman, Karno Kartadibrata, Wilson Nadeak, Hamid Jabbar, Ade Kosmaya, dan sejumlah aktivis seni lainnya," tutur Suyatna.

Sejak rubrik Pertemuan Kecil ditutup pada 1996, rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat tidak lagi disertai dengan catatan kecil ataupun ulasan sebagaimana yang dilakukan Saini KM. Jika pun ada ulasan, hanya satu dua kali saja, di rubrik puisi yang muncul pada terbitan hari Minggu yang kemudian lenyap. Saat ini, rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat hanya ada di lembaran seni dan budaya Khazanah, dengan redaktur yang berganti-ganti.

***

LEPAS dari persoalan tersebut, diakui atau tidak, Saini memang merupakan seorang guru yang patut diteladani jejak langkahnya dalam berkesenian. Dari tangannya lewat rubrik Pertemuan Kecil yang diasuhnya itu, "lahir" sejumlah penyair yang karya-karyanya cukup diperhitungkan. Mereka antara lain Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Juniarso Ridwan, Nirwan Dewanto, Agus R. Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Nenden Lilis Aisyah, Ook Nugroho, Ahda Imran, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Wan Anwar. Selain itu, tentu saja masih ada sejumlah penyair lainnya yang lahir dari tangan Saini KM, seperti Giyarno Emha, Diro Aritonang, Wahyu Goemelar, Saeful Badar, Deden Abdul Azis, almarhum Beni R. Budiman, Yessi Anwar, Rudi Anggoro, Aang J. Res, Khaterina, Popi Sopiati, dan sejumlah nama lainnya. Sebagian dari nama-nama tersebut ada yang masih aktif menulis, ada juga yang tidak. Yang dimaksud dengan aktif di sini adalah memublikasikan puisi, baik di media massa cetak maupun dalam bentuk buku.

Berkait dengan peran Saini KM dengan Pertemuan Kecil yang diasuhnya itu, Forum Sastra Bandung pada 4 Agustus 2008 akan menyelenggarakan acara "Syukuran 70 Tahun Saini KM" di GK Rumentang Siang, Jln. Baranang Siang No. 1 Bandung, mulai pukul 13.00 WIB hingga selesai.

"Kami berharap para aktivitis Pertemuan Kecil bisa menghadiri acara ini. Selain itu, tentu saja kami pun mengundang pula seniman Bandung lainnya untuk datang ke acara ini," ujar Juniarso Ridwan sambil menambahkan bahwa penyair Beni Setia yang kini tinggal di Caruban akan hadir pula pada waktunya.

Juniarso mengatakan, acara yang kelak digelar di GK Rumentang Siang, selain ramah-tamah, juga akan digelar pembacaan puisi karya Saini KM oleh sejumlah penyair Bandung dan penyair yang datang dari luar Kota Bandung. "Selain itu, Saini juga akan menerima sejumlah buku puisi yang ditulis anak-anak asuhannya yang kini sudah malang melintang di jagat sastra Indonesia modern. Saini adalah guru yang berhasil mendidik murid-muridnya. Terbukti tak ada yang sama dengan Saini dalam menulis puisi," ujar Juniarso Ridwan menandaskan.

Saini KM memang guru bagi banyak penyair, baik bagi para penyair yang tinggal di Kota Bandung maupun di kota-kota lainnya di Jawa Barat. Kedudukan Saini pada satu sisi sama dengan kedudukan Umbu Landu Parangi, yang dari tangannya banyak "melahirkan" para penyair. Dari tangan Umbu antara lain "lahir" Emha Ainun Nadjib, mendiang Linus Suryadi Ag., Imam Budhi Santoso, dan sejumlah penyair lainnya (periode Yogyakarta) hingga Warih Wiratsana, Oka Rusmini, Wayan Sunarta, dan sejumlah penyair lainnya (periode Bali).

Lahirnya para penyair tersebut menunjukkan bahwa kehidupan puisi di Pulau Jawa dan Bali tidak akan bisa tumbuh sepesat sekarang ini kalau tidak ditunjang adanya peran media massa cetak dan orang-orang yang setia pada puisi seperti Saini KM dan Umbu Landu Parangi yang tidak pelit dengan ilmu yang dikuasainya itu. Di Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor lewat Sanggar Sastra Tasik (SST) mencoba menghidupkan puisi dengan cara yang lain, demikian juga dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy di Cirebon, dan Warih di Bali. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juli 2008

Seni: "Perlawanan" Perempuan

KETIKA seni, seperti disebut Marcus dan Myers (1991), dipahami sebagai ruang tempat keragaman, identitas, dan nilai budaya diproduksi dan dipertentangkan, demikian pula halnya dengan kliningan jaipongan. Para sinden penari (sinden ronggeng) dalam kliningan jaipongan di Subang, seperti juga gandrung di Jawa Timur, ronggeng, ledek, tandak, atau cokek di Betawi, keberadaannya dalam seni pertunjukan tradisional senantiasa dihubungkan dengan tokoh wanita yang punya peranan seks.

Tak hanya itu, sinden penari pun berada dalam asumsi yang buruk, yakni perusak rumah tangga. Tak sedikit bajidor yang tergila-gila sehingga membuat anak-istrinya telantar. Namun, di lain sisi, sinden penari adalah roh yang membuat kliningan jaipongan tetap bertahan sebagai seni pertunjukan tradisional yang menjadi bagian penting dari denyut masyarakatnya. Dan di sudut inilah peran dan keberadaan sinden penari senantiasa dipertentangkan. Ia dibutuhkan masyarakatnya sekaligus dicap bukan sebagai perempuan baik-baik.

Lepas dari pertentangan itu, sesungguhnya keberadaan sinden penari dalam kliningan jaipongan juga tak bisa disendirikan dari upaya perempuan dalam mengartikulasikan dirinya di tengah hegemoni lelaki. Bahkan, seperti termaktub dalam banyak penelitian, menjadi sinden penari dengan penguasaan pada akses ekonomi, telah menumbuhkan kemandirian mereka sebagai perempuan di hadapan dominasi lelaki. Kemandirian yang pada akhirnya menjadikan mereka memiliki keberanian untuk menentukan dirinya sebagai aku subjek, baik sebagai perempuan di wilayah domestik maupun sebagai sinden penari di ranah publik.

Dalam tesis penelitiannya, Guru Besar STSI Bandung Prof. Dr. Endang Caturwati mengungkapkan bagaimana pasar telah mengooptasi seni pertunjukan kliningan jaipongan. Kesadaran kultural telah bergeser menjadi sarana atau alat untuk mengeruk uang sesuai dengan keinginan pasar atau komoditas. Perempuan sinden penari atau sinden penyanyi sadar benar dengan modal yang dimiliki pada dirinya, serta kemampuannya yang punya nilai jual. Mereka mulai berani mengubah nilai, melangkah, memimpin, mengelola, serta membawahi tidak saja perempuan sinden penari, tetapi juga nayaga, serta pendukung lain seperti para pekerja artistik yang umumnya lelaki.

"Pada awalnya mereka berada dalam posisi yang dieksploitasi oleh para lelaki yang jadi pimpinan grup kliningan jaipongan. Mereka dibayar dengan honor yang sedikit, belum lagi eksploitasi yang dilakukan oleh suami. Lalu semuanya bergeser pada kesadaran bahwa sebagai perempuan mereka bisa menjadi sosok yang mandiri, terlebih lagi setelah mereka sadar bahwa mereka bisa menguasai akses ekonomi. Figur seperti Cicih Cangkurileung dan Titin Fatimah menjadi inspirasi mereka," tutur Endang Caturwati.

Dalam penelitiannya secara kuantitas, grup-grup kliningan jaipongan yang dipimpin perempuan makin lama makin meningkat. Sejak 1990-an hingga 2003 grup kliningan jaipongan yang dipimpin perempuan terus bermunculan, bahkan popularitasnya mengalahkan grup kliningan jaipongan yang dipimpin lelaki.

Dalam ruang yang lain, kemandirian ini pula yang menyebabkan sebagai perempuan, sinden penari, leluasa menentukan pilihannya di hadapan suami. Terlebih ketika suami ternyata hanya menjadi benalu. Akses ekonomi dan kesadaran bahwa ia bisa "menaklukkan" para bajidor terlebih yang memujanya, membuat sinden penari memiliki kesadaran pada eksistensinya sebagai aku subjek di hadapan dominasi suami.

"Karena itulah ketimbang direcoki oleh suami yang hanya jadi benalu, pencemburu, dan tidak mau tahu dunianya, para sinden banyak yang memilih bercerai," tambah Endang Caturwati.

Tekad para sinden penari kliningan jaipongan umumnya adalah, urang aya, urang bisa, urang prak (kita ada, kita mampu, mari kita kerjakan). Mengutip Dorothy W. Cantor dan Toni Bernay, Endang Caturwati memandang keadaan tersebut membawa perempuan ke dalam arti dan makna kekuasaan untuk menggunakannya pada saat yang tepat.

**

DENGAN akses ekonomi yang kini mereka kuasai, sinden penari dan sinden penyanyi telah mengubah posisi mereka yang semula hanya pelengkap yang cenderung disubordinasi oleh kuasa lelaki. Lantas apakah perubahan semacam ini bisa dihampiri lewat semangat "perlawanan" gender dalam konteks feminisme?

Dalam penelitiannya, "Sinden Kebupaten Subang Suatu Kajian Perjalanan Ulak-alik" (Program Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM Yogyakarta), Nanu Munajat memandang yang berlangsung tidaklah sejauh itu. Artinya, apa yang terjadi tidaklah berangkat dari apa yang selama ini digembor-gemborkan dengan permasalahan gender atau feminisme. Semuanya berawal dari kenyataan yang sederhana. "Mereka menjadi sinden ronggeng atau sinden penyanyi hanya ingin memperbaiki nasib, ketimbang bekerja di sawah atau jadi buruh pabrik, apalagi pendidikan mereka yang rendah," ujar Nanu Munajat.

Senada dengan Endang Caturwati, Nanu Munajat melihat bahwa yang kini terjadi adalah kemampuan para sinden penari dan sinden penyanyi melakukan perubahan setelah sebelumnya mereka hanya melulu menjadi subordinat dalam seni pertunjukan kliningan jaipongan. Sebagai sinden ronggeng atau sinden penyanyi kini akses ekonomi mereka kuasai. Baik sebagai pimpinan/pemilik grup kliningan jaipongan atau sebagai sinden yang menjadi idola para bajidor. Dan inilah yang menimbulkan kesadaran pada kemandirian yang membuat mereka memiliki daya tawar (bargaining) di hadapan hegemoni dan dominasi lelaki.

Akhirnya, seperti disebut Marcus dan Myers di muka, kliningan jaipongan dan posisi sinden penari (ronggeng) atau sinden penyanyi adalah ruang yang menjadi tempat nilai-nilai budaya diproduksi dan dipertentangkan. Dalam konteks ini nilai budaya yang diproduksi dan dipertentangkan menekan pada nilai budaya patriarkat di tengah pertentangan perempuan yang menghendaki dirinya sebagai aku subjek. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juli 2008

Interaksi Simbolik Sinden dan Bajidor

-- Bucky Wikagoe*

KLININGAN Bajidoran adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan Karawang. Musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan yang pada umumnya menggunakan laras salendro, sering dipentaskan oleh penyelenggara atau biasa disebut pamangku hajat, mengiringi pesta syukuran inisiasi (kelahiran bayi, khitanan, perkawinan), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual (hajat bumi, panen, menyambut datangnya hujan, bersih desa, dan lain-lain).

Daya tarik kesenian ini ada pada sosok sinden atau ronggeng yang digandrungi oleh para bajidor; istilah bagi orang yang gemar menari atau ngibing di pakalangan (arena pertunjukan), memesan lagu, serta memberi uang saweran. Oleh karena itu, keseniannya pun diberi nama Kliningan Bajidoran atau Bajidoran saja; sedangkan kata kerjanya menjadi ngabajidor.

Kata bajidor itu, terutama di daerah Subang, secara sinis populer dengan akronim dari barisan jiwa doraka (barisan jiwa durhaka), menunjuk pada perilaku para penggemar Kliningan Bajidoran yang cenderung menghalalkan segala cara di arena pertunjukan, mulai dari menghamburkan uang saweran, menenggak minuman keras, hingga merayu serta mengekspresikan hasrat seksual kepada sinden atau ronggeng. Konon, istilah bajidor datang dari H. Hilman (alm), mantan Lurah Pagaden, yang pada zamannya terkenal sebagai penggemar fanatik Kliningan Bajidoran dan kemudian mempersunting sinden kenamaan pada zamannya, Cucun Cunayah. Akronim bajidor yang lain dan tak kalah sinisnya adalah abah haji ngador (abah haji keluyuran), karena banyaknya bajidor yang bergelar haji. Sedangkan menurut tokoh rekaman lagu Sunda, Tan Deseng, bajidor itu akronim dari beberapa kesenian rakyat, yaitu banjet, tanji, dan bodor.

Dalam praktiknya, sinden atau ronggeng sangat piawai menggoda dan merayu bajidor agar mau menghamburkan uangnya. Mereka akan merayu dengan cara menyebut-nyebut nama bajidor di sela-sela alunan lagu yang didendangkannya, atau merayu dengan bahasa tubuhnya yang diekspresikan melalui gerakan-gerakan tarian, senyuman, tatapan mata, sentuhan tangan, serta perilaku-perilaku lainnya. Melalui cara-cara itulah seorang bajidor akan terus melakukan saweran hingga uangnya terkuras habis.

Intensitas hadir di panggung pertunjukan dan memberi uang saweran, telah menciptakan pola interaksi yang khas antara bajidor dengan sinden atau ronggeng. Biasanya, bajidor akan memberi uang saweran dengan berbagai motivasi, mulai dari motivasi harga diri karena namanya disebut-sebut oleh sinden, ingin dipandang mampu secara ekonomi, ingin mendapat pujian, hingga orientasi hasrat seksual dan menguasai sinden atau ronggeng. Pada taraf ini, bajidor datang ke arena pertunjukan Kliningan Bajidoran karena ditopang oleh kesetiaan kepada sinden atau ronggeng idolanya yang dalam istilah mereka disebut "langganan". Inilah yang melandasi adanya hubungan yang lebih jauh di antara mereka, dan pada akhirnya tidak sedikit bajidor yang tergila-gila kemudian menikah dengan sinden atau ronggeng, bahkan bisa sampai melupakan anak dan istrinya.

Memerhatikan bagaimana seorang bajidor melakukan saweran kepada sinden yang dipilih melebihi sekadar memberikan lembar demi lembar uang ribuan, ekspresi di wajahnya memancarkan gelombang birahi dan kerinduan yang sangat dalam kepada sinden pujaan. Sementara itu, sang sinden pun membalasnya dengan senyum dan tatapan yang dimaknai secara liar oleh sang bajidor, sehingga menstimulasinya untuk terus merogoh isi kantung. Saweran adalah interaksi sinden atau ronggeng dengan bajidor yang memiliki simbol-simbol makna tertentu yang menunjukkan tingkat kedalaman hubungan antara sinden/ronggeng dengan bajidor.

Eksistensi Kliningan Bajidoran itu sendiri disangga oleh tiga kelompok sosial pendukung, yaitu sinden/ronggeng yang menjadi daya pikat pertunjukan; bajidor sebagai penonton yang akan memberi uang saweran, dan pamangku hajat sebagai penyelenggara pertunjukan yang menfasilitasi adanya interaksi antara sinden/ronggeng dengan bajidor.

**

SECARA umum, seorang sinden di daerah Jawa Barat memiliki julukan atau sandi asma yang dikaitkan dengan warna suara, gerakan, dan postur tubuh, menggunakan nama burung atau hewan lainnya, atau nama-nama benda yang dianggap pas dengan karakternya, seperti Cicih "Cangkurileung", Cicih "Saeran", Aan "Japati", Aan "Poksay", Mamah "Jalak", Mamah "Oon" alias Si "Garuda Ngupluk", Si "Srigunting", Kokom "Walet", Si "Toed", hingga Aan "Manyar".

Sedangkan julukan untuk ronggeng atau penari sering dihubungkan dengan benda-benda atau binatang yang sesuai dengan kepiawaiannya dalam gerakan tarian khasnya, seperti Cucu "Geboy" (ngageboy biasanya ditujukan kepada gerakan atau liukan ikan berekor panjang yang biasa disebut lauk kumpay), atau sinden yang juga pandai menari (sinden ronggeng), Ipah "Gebot" (karena gerakan bagian pinggul atau pantatnya sangat bertenaga). Kemudian, ada julukan Si "Binter" dan Si "GL" (karena bentuk tubuhnya diibaratkan body sepeda motor seri Binter dan GL), Nining "Paser" (sejenis panah), Euis "Oray" (karena liukan tubuhnya menyerupai oray atau ular), Si "Jepret" (ngajepret adalah istilah suara yang dihasilkan dari karet yang ditarik lalu dilepaskan secara tiba-tiba), Aan "Si Baranyay" (karena kecantikannya bagaikan sinar yang menyilaukan), Euis "Dolar", Yayah "Leunyay", hingga Si "Cabe Rawit".

Di Tasikmalaya ada sinden terkenal dengan julukan Si "Mata Roda" karena ketika sedang menari dan menyanyi bola matanya sering berputar-putar seperti roda. Di Karawang ada Kokom "Dongkrak" (gerakan pinggulnya seperti dongkrak mobil), Si "Molen" (gerakannya seperti mesin pengaduk semen), dan Oyah "Undur-undur" (karena gerakan mundurnya sangat khas seperti undur-undur, binatang kecil di tanah yang jalannya mundur).

Ada banyak cara yang dilakukan sinden atau ronggeng agar disukai oleh bajidor, mulai dari merawat diri secara tradisional, hingga ke cara perawatan lebih modern, seperti penggunaan krim pemutih, creambath hingga luluran di salon, fitness, hingga melakukan suntik silikon di bagian tertentu wajahnya, terutama hidung, dagu, dan bibir. Meski demikian, pengolahan daya tarik sinden atau ronggeng juga masih banyak dilakukan dengan cara-cara gaib yang mengandalkan kekuatan supranatural, seperti melakukan puasa, mutih (tidak makan garam), membaca mantera-mantera, hingga memasang susuk.

Kekuatan supranatural yang ada pada diri sinden, akhirnya akan benar-benar teruji di panggung pertunjukan. Percaya atau tidak, pada kenyataannya banyak bajidor yang keranjingan mendatangi arena pertunjukan Kliningan Bajidoran dan tergila-gila kepada sinden atau ronggeng.

Interaksi di antara sinden dan bajidor itu sendiri dibangun melalui tahapan simbol-simbol jaban, egot, dan ceblokan. Jaban adalah memberi uang saweran dalam rangka penjajagan; Egot memberi uang saweran tetapi sudah mengandung unsur ketertarikan bajidor kepada sinden atau ronggeng terpilih, kemudian dalam interaksinya mulai menunjukkan kerja sama, seperti saling memegang dan meremas tangan, saling tersenyum dan menatap; Ceblokan memberi uang saweran secara tetap kepada satu orang sinden atau ronggeng karena telah terjalin hubungan langganan atau kesepakatan dan tidak boleh diganggu oleh bajidor lain.

Hal ini telah menjadi konvensi di antara para pelaku Kliningan Bajidoran, dan apabila dilanggar bisa menimbulkan keributan seperti yang pernah diberitakan Pikiran Rakyat (12 Juni 2008). Gara-gara tak tahan melihat kekasihnya yang berprofesi sebagai sinden disawer orang lain, Pan, Kepala Desa Serang, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, harus berurusan dengan pihak berwajib karena memukul Kamaludin, Kepala Desa Tanjungsari, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, yang menyawer kekasihnya.

Hasil kajian menunjukkan bahwa pertama, Kliningan Bajidoran telah mengalami pergeseran fungsi dari sakral ke profan atau dari alat ritual ke alat hiburan serta alat peningkatan ekonomi, disangga oleh berbagai sistem yang memberi dukungan terhadap eksistensinya, yaitu sistem sosial, sistem adaptasi, sistem kebutuhan, dan sistem perilaku. Kedua, eksistensi Kliningan Bajidoran disangga oleh adanya hubungan peran pamangku hajat, sinden, dan bajidor, yang membentuk struktur ketergantungan atau simbiosis mutualistis. Tanpa kehadiran salah satunya akan menjadi hambatan terhadap keberlangsungan Kliningan Bajidoran.

Ketiga, interaksi sinden dengan bajidor yang terjadi wilayah panggung depan (front region) memiliki tahapan interaksi simbolik jaban (penjajagan), egot (kerja sama), dan ceblokan (kesepakatan); sedangkan di wilayah back stage sebagai kehidupan yang sesungguhnya, menindaklanjuti tahap interaksi ceblokan, bajidor memberikan uang saweran kepada sinden dengan cara lain, seperti memberi uang untuk membangun rumah atau ngarangkai, memberi biaya hidup sinden sebagai istri muda atau wanita simpanan, membiayai sinden melanjutkan sekolah, hingga memberi modal usaha.***

* Bucky Wikagoe, Ketua Sekolah Tinggi Musik Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juli 2008