-- Ahmad Syafii Maarif
SEBAGAI negara kepulauan terpanjang di muka bumi dengan anak suku bangsa dan tradisi yang beragam dan sangat kompleks, kita patut bersyukur karena masih bisa bertahan dalam sebuah keutuhan entitas negara-bangsa. Memasuki dasawarsa kedua abad ke-21, berarti kita sedang membuka gawang tahun ke-66 dalam batang usia kemerdekaan kita yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945.
Sebagian besar pendiri bangsa dan negara ini telah mendahului kita, tetapi ruh mereka pasti berseru agar kita semua tetap tidak melenceng dari cita-cita kemerdekaan yang dengan apik dirumuskan dalam Mukadimah UUD 1945. Apakah kita sudah melenceng atau masih berada di jalur yang benar adalah masalah mendasar yang perlu kita bicarakan secara jujur dan saksama. Wacana tentang masalah itu kini sedang merebak dalam masyarakat kita yang beragam itu.
Sebuah pengkhianatan
Pada tahun 2011 ini penduduk Indonesia sudah berada pada angka 236 juta lebih sedikit, naik secara tajam dibandingkan dengan tahun 1945 yang hanya 70 juta. Dengan angka ini, Indonesia dicatat sebagai bangsa terbesar keempat sesudah China (1,3 miliar), India (1,1 miliar), dan Amerika Serikat (308 juta). Brasil (200 juta) bersama Rusia (sekitar 145 juta), India, dan China kini sedang berlomba untuk menjadi raksasa ekonomi dunia di abad ini dengan pertumbuhan yang sangat cepat.
Ekonomi Indonesia juga tumbuh sekitar 5,8 persen dengan pendapatan per kepala sekitar 2.700 dollar AS, tetapi lebih banyak didorong oleh perilaku konsumtif masyarakat, bukan oleh keberhasilan sistem ekonomi yang dijalankan. Kantong-kantong kemiskinan kita masih sangat nyata di seluruh Tanah Air, di kota dan desa. Gerak ke arah perbaikan berjalan sangat lamban. Tentu disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi bukan karena pembengkakan demografis.
Dibandingkan dengan kondisi akhir era Orde Baru dengan pendapatan per kepala pada kisaran 1.100 dollar AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang telah meningkat sekitar 250 persen. Masalahnya tetap saja berkisar pada siapa yang menikmati anugerah pertumbuhan ini.
Jawabnya jelas bukan rakyat jelata, sebagaimana yang dituntut oleh Pasal 33 UUD 1945 (asli). Yang diuntungkan tidak lain dari para pembela sistem ekonomi neoliberalisme yang antirakyat, baik asing maupun agen-agen domestiknya. Karena itu, saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada sisi ekonomi Indonesia tidak lagi berada pada jalur UUD.
Jika demikian, bukankah kecenderungan pasar bebas tanpa kendali ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 1945? Kesadaran batin saya yang terdalam mengatakan, ”Ini adalah sebuah pengkhianatan yang harus cepat dihentikan.”
Siapa yang harus menghentikan? Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sekalipun baru pada tingkat prosedural dan seremonial, belum substantif, penghentian itu harus dilakukan melalui pematang konstitusional. Memang muncul sebuah dilema di sini. Jika pengkhianatan itu tetap saja berjalan, sementara pemegang kuasa merasa berada di jalan yang benar, komentar saya sederhana dan singkat: ”Itu namanya merasa benar di jalan yang sesat.”
Cobalah pelajari baik-baik konstitusi asli kita, dengan Pancasila sebagai tulang punggungnya, apakah di situ ada tempat bagi sistem ekonomi neoliberal yang memanjakan segelintir orang? UUD kita dirancang untuk secepatnya menciptakan sistem kemakmuran bersama, bukan kemakmuran pihak-pihak kecil yang diuntungkan oleh sistem yang sedang dijalankan.
Oleh sebab itu, tahun ini harus dijadikan tahun penentu ke mana arah Indonesia harus melangkah. Sikap berpura-pura membela Pancasila berarti menghancurkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, disengaja atau sebaliknya. Sikap semacam itu berada pada kategori zalim dan biadab.
Kebanggaan semu
Jika Brasil bangga dengan pendapatan per kepala sekarang berkisar 8.040 dollar AS, kebanggaan itu tidak berlebihan. Angka kemiskinan mereka juga menyusut secara signifikan. Saya cemas jika angka- angka statistik yang sering diulang-ulang pemerintah kita, sementara lautan kemiskinan kita tidak semakin mengecil, apakah sikap itu bukan sebuah kebanggaan semu yang sengaja menutup realitas getir?
Lihatlah nasib sebagian TKI kita yang menyabung nyawa mengais rezeki di negeri orang, karena negara gagal membuka lapangan kerja buat mereka. Julukan pahlawan devisa kepada para TKI sepenuhnya benar, tetapi apakah negara telah memberikan perlindungan kepada mereka yang bernasib malang dalam upaya menyambung napas di luar tanah airnya? Yang lebih ironis lagi adalah kenyataan bahwa penderitaan berat yang dialami sebagian TKI justru terjadi di negara-negara yang mengaku beragama Islam, tidak di Korea, Hongkong, atau Taiwan. Pertanyaan saya: Islam jenis apa yang dipraktikkan di sana?
Pada awal 2011 pekerjaan rumah (PR) kita masih menggunung. Masalah penegakan hukum yang bertele-tele, sikap presiden yang selalu ragu, wabah korupsi yang masih ganas, partai politik yang tidak berpihak kepada rakyat, praktik politik uang yang tunamoral dalam berbagai pemilihan, adalah PR yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.
Jika tahun ini upaya perbaikan tidak juga terjadi, tidak mustahil demokrasi Indonesia akan berujung dengan sebuah kegagalan. Saya masih berharap bangsa ini tidak membiarkan dirinya tetap berada dalam situasi serba tidak pasti, sementara negara-negara lain telah berhasil berbenah diri dengan kekuatan kulturnya masing-masing, sekalipun tanpa Pancasila.
Dari sumber-sumber yang sangat dapat dipercaya, saya mendengar berita baik tentang upaya pembenahan PR kita, khususnya di ranah penegakan hukum. Kabarnya Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Jaksa Agung Basrief Arief sedang menyusun langkah-langkah strategis bersama untuk menjawab desakan publik tentang kesungguhan mereka dalam penegakan hukum. Kabarnya juga mereka akan menemui Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk bergabung.
Jika berita ini mengandung kebenaran, sekaranglah masanya bagi institusi penegak hukum itu untuk membuktikan bahwa mereka masih mencintai negara yang hampir gagal ini. Tahun 2011 akan menjadi saksi apakah mereka patriot sejati atau hanya sebagai penerus dari para pendahulu yang tuna-keberanian dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang sangat mendesak.
Akhirnya, dengan segala catatan di atas, mari kita terus memelihara asa dan stamina di awal tahun 2011 ini, bahwa kondisi bangsa kita masih dapat diperbaiki dengan satu syarat: jangan merasa benar di jalan yang sesat!
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Sumber: Kompas, Senin, 3 Januari 2011
No comments:
Post a Comment