-- Saifur Rohman
PEMERINTAH memberikan izin pelelangan artefak berusia lebih dari 1.000 tahun dengan alasan sudah menyimpan sebagian. Direktorat Sejarah dan Purbakala menyatakan, artefak dipilih berdasarkan kualitas, keindahan, keutuhan, tipologi, kelangkaan barang, dan representasi atas setiap jenis benda.
Lelang barang senilai Rp 720 miliar itu ditunda karena tidak ada pesertanya. Namun, jika barang sudah terjual, seberapa penting hasil lelang dibandingkan dengan nilai historisnya? Me- ngapa kita menjual sejarah yang memaknai identitas diri kita?
Tanggung jawab negara
Adalah tanggung jawab negara untuk melindungi kekayaan yang meneguhkan identitas kita. Friedrich Hegel dalam bukunya, The Philosophy of History (1982), menandaskan, penulisan sejarah tidak pernah selesai. Negara harus membuktikan diri melalui dialektika roh subyektif (pelaku sejarah) dan roh obyektif (zaman yang berlaku). Bagi Hegel, negara tanpa sejarah adalah manusia tanpa nama dan asal-usul.
Tanggung jawab pemerintah terhadap nilai-nilai sejarah dicoba ditunjukkan dengan menyimpan sebagian temuan di perairan Cirebon itu. Barang yang dilelang sebanyak 272.372 buah, sedangkan yang disimpan 991 buah. Barang meliputi 11.000 mutiara, 4.000 rubi, 400 safir merah, dan 2.200 batu akik merah. Sisanya adalah vas besar dari Dinasti Liao (907-1125 M), keramik Yue dari lima dinasti (907-960 M), Dinasti Liang (907-923), Tang (923-936), Han (947-951), dan Zhou (951- 960). Harta karun diangkat pada Februari 2004-Oktober 2005.
Persentase barang yang disimpan 0,36 persen. Artinya, dari setiap seribu barang hanya disimpan tiga buah. Dalam statistik, representasi sampel mensyaratkan homogenitas populasi. Pada kasus itu kuantitatif homogenitas sebetulnya tak tercapai. Karena itu, patut dipertanyakan bagaimana proses pengambilan sampel dari ribuan safir, rubi, emas, keramik, gading, tulang, atau gigi itu?
Artefak tak hanya menjelaskan relasi China dan Nusantara, melainkan juga bisa menguak sejarah Nusantara pada masa pra-Mataram kuno yang selama ini hanya bersumber pada teks- teks keluaran perpustakaan Leiden, Belanda. Sumber sejarah lain berupa material culture perlu dicari untuk melihat pertautan kondisi faktual pada masa lalu dan potensinya ke masa depan. Sudah cukup lama sejumlah daerah di Nusantara kehilangan identitas historis untuk mengenali potensi untuk dikembangkan ke depan.
Penggadaian
Apabila logika di atas benar, penyimpanan sebagian artefak sebagai representasi sejarah hanyalah strategi legitimasi terhadap pelelangan yang menggadaikan sejarah bangsa.
Barang yang digadaikan suatu masa akan diperlukan lagi untuk penyelidikan sejarah. Karena artefak sudah dijual, kita harus menyewa untuk mengobservasinya. Ini perlu biaya sama besar dengan perolehan finansial hasil lelang sekarang.
Secara filosofis, pemilihan barang-barang sebagai representasi dari artefak sejarah tak bisa diterima. Pasalnya, dasar-dasar pemilihan pada masa sekarang tidaklah sama dengan dasar pemilihan pada masa datang.
Fenomenologi persepsi sebagaimana dikembangkan Edmund Husserl beranjak dari tesis bahwa subyek tidaklah mampu menangkap obyek di depannya. Hal itu karena subyek masih terikat dengan ruang dan waktu, pengalaman, pengetahuan, serta motif-motif yang berada di balik pikiran tersebut. Keterikatan subyek itu yang disebut lebenswelt. Maka, artefak yang kita hadapi adalah kekayaan yang tidak bisa ditentukan sekarang dan akan terus bertambah ke depan.
Karena itulah, Hans-Georg Gadamer berpendapat, manusia tak bisa menafsirkan keadaan yang kini dihadapi karena subyek masuk kisaran peristiwa. Ketika subyek terlibat, ada jarak untuk refleksi. Bagaimana mungkin pemain bola menceritakan situasi obyektif saat dia sedang bermain?
Oleh karena itu, refleksi sejarah membutuhkan waktu agar subyek memperoleh jarak waktu yang memadai untuk menghimpun ilmu pengetahuan. Relevansinya dengan pemilihan artefak adalah keraguan kita untuk mampu menafsirkan semua obyek sejarah pada masa sekarang.
Ketika pengetahuan berkembang, rasionalitas ikut berkembang. Apa yang kini dianggap representatif sangat boleh jadi menjadi hal tak bermanfaat kelak. Karena itu, pelelangan itu tak bernilai apa-apa dibandingkan dengan kekayaan terkait nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Kita sedang menggugat tanggung jawab pemerintah, bukan mempertanyakannya karena artefak bukanlah untuk dijual, melainkan untuk dimaknai.
* Saifur Rohman, Dosen Filsafat Universitas Semarang
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Mei 2010
No comments:
Post a Comment