Judul buku : Perempuan Bawang & Lelaki Kayu
Pengarang : Ragdi F. Daye
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, Jakarta
Cetakan : April 2010
LAHIR lagi satu kumpulan cerpen penulis muda Sumbar, Ragdi F. Daye, Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu. Sejumlah 15 cerpen yang terangkup dalam buku ini, didominasi ihwal-ihwal lokalitas Minang dan relasinya menghadapi tekanan sosial masa kini. Narasi dan deskripsinya mengalir lancar, tak membuat kening berkerut, dan mudah dipahami pembaca. Seluruh tokoh dalam cerpennya, Ragdi mengambil perspektif orang-orang yang terkalahkan dan tersisih dari laju zaman.
Cerpen pembuka, Perempuan Bawang, memang bertema klise, cinta yang bertepuk sebelah tangan tersebab dalih ekonomi. Ragdi membumbuinya dengan fakta sosial sekarang. Harga-harga yang mahal, pedagang tradisional yang tersisih sejak kehadiran minimarket atau swalayan, dan remaja yang terseret arus zaman. Tema kasih tak sampai ini juga ditemukan dalam cerpen Di Solok Aku akan Mati Perlahan.
Bibir Pak Gur Bengkok mengungkap fenomena dunia pendidikan. Guru yang nasibnya selalu malang. Kemajuan zaman yang membuat murid tak lagi tahu adab sehingga berani kepada guru. Cerpen Nostalgia sedikit mengecoh. Membuka dengan suasana sebuah keluarga usai gempa, Ragdi menggiring membongkar kisah cinta masa lalu bapaknya di masa penjajahan. Tokoh anak menjadi saksi dua cerita beda versi dari dua pelakunya.
Membaca cerpen Kubah sepintas mengingatkan kita pada tipikal cerpen-cerpen Joni Ariadinata sekian tahun silam: singkat, cepat, telak ke sasaran. Bagaimana segelintir orang membuat masjid menjadi benda mewah yang angkuh, sementara masih banyak orang di sekitar masjid itu miskin kelaparan. Maka, menjadi ironi ketika urusan perut menyebabkan masjid menjadi tempat yang tak lagi disegani. Sandal seharga ratusan ribu di masjid dicolong, emas yang melapisi kubah masjid pun dicungkil.
Cerpen-cerpen Ragdi bersentuhan dengan serpih-serpih realitas yang telah dihimpun pancainderanya. Kondisi sosiokultural masyarakat Minang masa kini di tengah impitan kapitalisme, deras globalisasi, dan jumawa kebebasan; dibentangkan Ragdi menjadi kisah-kisah muram. Dalam sejumlah cerpen, Ragdi menjadikan Solok, kota kelahirannya, sebagai latar.
Ada cerpen bernuansa absurd, Seorang Lelaki dan Boneka. Tokoh aku memandang manusia-manusia di sekelilingnya sebagai manekin, padahal menilik latar belakangnya, justru sesungguhnya tokoh itulah yang teralienasi dari lingkungannya. Tema serupa bisa ditemui dalam cerpen Empat Meter dari Pangkal, Lereng dan Rumah yang Menggigil.
Kekerasan dalam rumah tangga tak luput dari amatan Ragdi. Cerpen Seekor Anjing yang Menangis, menceritakan keluarga miskin. Bapak yang kasar, kakak beradik yang belum makan dan bingung mencari ibunya, padahal ibunya tewas ditikam satpam saat hendak minta bantuan di rumah tetangga yang kaya raya. Anjing yang menjadi sentral dalam cerpen itu, tahu di mana jasadnya ditanam.
Kecenderungan tema psikologis perantau, memang acap ditemui dalam cerpen-cerpen penulis berdarah Minang. Lelaki Minang punya tradisi merantau, apa pun yang melatarinya. Dalam buku ini, bisa dilihat dalam cerpen Jarak. Problem di dalam dan di luar diri, membuat tokoh Attar berdeging tak ingin pulang ke kampungnya di Solok. Ia punya ingatan buruk tentang kampung; ayah yang kawin lagi, ibunya tak lagi punya apa-apa, keluarga mereka dipandang remeh.
Cerpen Rumah Lumut pun berkisah tentang perantau, tapi Ragdi membidiknya lewat sudut pandang tokoh ibu yang sebatang kara ditinggal mati suami dan satu per satu anaknya terbang merantau. Kerelaan mengizinkan seluruh anaknya merantau, menjadi paradoks ketika dia menasihati anak tetangganya agar tak latah merantau.
Membaca seluruh cerpen dalam buku ini serupa mendengar rintih saluang di kejauhan sayup-sayup sampai, suasananya muram menyimpan dendam, bimbang dan gelisah. Tokoh-tokohnya, selain tersandera dalam gelembung problem sosial (cinta, ekonomi, kemiskinan, kemajuan zaman, dan lain-lain), juga dikepung hantu-hantu berwujud trauma masa silam, getir ingatan, bahkan kampung halaman.
Arman A.Z., penikmat cerpen
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment