Friday, December 04, 2009

Musik dan Tari: Sebentuk Pergulatan Keindonesiaan

-- Sonya Hellen Sinombor

MUSIK dan tari memiliki kekuatan luar biasa. Ia menembus ruang dan waktu ketika keduanya berkolaborasi dalam Resital Pianoforte dan ditangani para piawai. Lalu, bergetarlah pergulatan keindonesiaan itu. Inilah catatan penting tentang pergelaran musik dan tari di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (24/10), ketika mahapianis Iravati Sudiarso serta maestro tari dan koreografer Sardono W Kusumo bersama- sama menafsirkan berbagai komposisi musik karya Jaya Suprana.

Untuk pertama kalinya maestro tari dan koreografer Sardono W Kusumo bertemu mahapianis Iravati Sudiarso. Tampak Sardono menari diiringi dentingan piano yang dimainkan Iravati pada pergelaran musik dan tari lanjutan Resital Pianoforte. Acara ini digelar Jaya Suprana School of Performing Arts dan House of Piano di Gedung Kesenian Jakarta, akhir Oktober 2009. (KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR)

Selain Iravati, dan Jaya Suprana sendiri, tampil pula pianis Aisha Sudiarso, Levi Gunardi, dan Hendrata Prasetyo. Lalu, kolaborasi pertama diapresiasi dan ditafsir lebih lanjut lewat gerakan tubuh oleh para piawai ini: Sardono W Kusumo, Eko Supriyanto, Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti, Martinus Miroto, Elly Luthan, dan sejumlah penari lain.

Penonton yang hadir dibuat hanyut dalam dentingan piano, yang berpadu dengan gerakan tubuh yang ditampilkan setiap karya musik Jaya. Empat karya pertama yang dipersembahkan secara khusus sebagai ungkapan rasa terima kasih, penghargaan, dan penghormatan Jaya terhadap Iravati ditampilkan Iravati dengan komposisi pembuka Uri-uri yang sarat dengan aura medidatif. Iravati menyuguhkan permainan piano. Lantas, dua penari, Soepri Soehodo dan Aylawati Sarwono, mengisinya dengan tafsir kultur Jawa yang dipengaruhi Islam dan budaya China.

Nembang

Masih dalam suasana nembang yang mengangkat budaya Jawa, Iravati memainkan komposisi Uro-uro yang kian menyala karena Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti, Poppy, dan Dewi hadir dengan ulem dan lembut.

Komposisi Interludium yang merupakan enigmatis manifestasi pergulatan perilaku Jaya Suprana dalam suka dan duka menjembatani pertemuan perdana antara Iravati dan Sardono. Dentingan piano yang dimainkan jari-jemari sang mahapianis, yang kemudian ditafsirkan dalam olah gerak sang maestro tari ini, menjadi momen pertemuan yang langka.

Dalam gerakan lambat dan cepat, Sardono yang tampil berkostum putih dengan rambut panjang tergerai meliuk-liuk di atas panggung, hingga akhirnya mendekati Iravati, duduk dan berlutut mengikuti setiap irama. Tepuk tangan panjang menyambut kolaborasi Iravati dan Sardono. ”Ini baru pertama kali terjadi dan belum pernah terjadi di dunia, pianis dan penari bertemu tanpa tahu lagunya seperti apa dan gerak tari seperti apa,” ujar Jaya.

Tak hanya memboyong Sardono bertemu Iravati, pergelaran musik dan tari yang digelar Jaya Suprana School of Performing Arts dan House of Piano itu juga menghadirkan penari Elly Luthan. Lewat sentuhan jemari Iravati, melalui komposisi Fantasi Arum Dalu, Iravati membuktikan kemampuan dinamik pianistis paripurna mulai dari pianissimo berbisik hingga pianoforte menggelegar.

Suasana musik Sunda yang romantis ditampilkan lewat komposisi Sonata Sekar Setaman yang dimainkan Aisha Sudiarso, dan ditafsirkan penari tersohor Eko Supriyanto serta dua penari laki-laki lain dalam gerakan tubuh yang sungguh fantastis. Suasana romantis dan mesra juga dibawa Aisha lewat komposisi Variasi Gethuk. Di tengah pergelaran musik dan tari, lewat sentuhan jemari sang pianis Levi Gunardi, Jaya mempersembahkan karya Tri Reminskenza untuk sang ayah, Lambang Suprana. Suasana keindonesiaan keragaman yang unik pun mulai merasuk dan menguat ke seluruh hadirin... dan ini bukan kali pertama Jaya begitu.

Penari andal Martinus Miroto pun membuktikan kemampuan olah tubuhnya saat berkolaborasi dengan pianis Hendrata Prasetya dalam karya Dedemit yang sarat dengan aura mistis. Dentingan piano dengan musik yang cepat dan melengking, dengan seorang perempuan yang menari mengikuti irama seperti kesurupan, menciptakan suasana menyeramkan.

Kecuali karya Untuk Ayla II dan III yang langsung dimainkan jemari Jaya khusus dipersembahkan untuk Alyawati Sarwono yang mendampinginya di usia senja, dan mengiringi paduan suara Armonia, Jaya Suprana tidak memainkan komposisi yang sudah dimainkan Iravati dan pianis terkemuka lainnya.

Sumpah

Jaya memang menepati sumpahnya. Tetapi, suasana humor yang diciptakan Jaya Suprana menjadikan pergelaran musik dan tari ini menjadi agak cair. Apalagi, pada akhir pertunjukan Jaya ”mengelabui” penonton, bahwa dirinya akan tampil menari dalam dentingan piano Iravati lewat komposisi Tembang Alit. Yang terjadi, sepanjang musik dimainkan, Jaya hanya duduk diam mendengarkan. Tepuk tangan riuh pun menutup pergelaran.

Kendati merupakan lanjutan dari Resital Pianoforte yang digelar di Erasmus Huis, Oktober 2009, pergelaran musik dan tari di GKJ menjadi momen yang tak terlupakan bagi Iravati dan Sardono.

Sardono—Ketua Forum Guru Besar dan Mahaguru Kesenian— mengakui, pergelaran itu merupakan pengalaman pribadi yang berkesan karena dia tampil menari tanpa mendengar lebih dulu irama musik apa yang akan mengiringi tariannya. ”Setiap momen menjadi pengalaman musikal murni dan mampu menjadi energi menggerakkan tubuh saya. Karena tidak hafal dengan struktur musik, saya benar-benar fokus pada setiap dentingan piano dan menggunakan insting kepenarian saya,” ujarnya.

Sebagai sebuah resital, pergulatan keindonesiaan Jaya dan para seniman kondang itu tak cuma menghibur dengan bunyi, tapi juga memang benar-benar sebuah pertunjukan: membius telinga dan memukau mata.

Sumber: Kompas, Jumat, 4 Desember 2009

No comments: