-- Yudhistira ANM Massardi*
KITA tak tahu benar apa yang sesungguhnya di-”gendong-gendong” mendiang Mbah Surip ke mana-mana. Ada sejumlah asosiasi yang muncul dari lirik lagu ”Tak Gendong” yang popularitasnya melambung dalam dua bulan terakhir menjelang kematian penyanyi jalanan itu.
Namun, kita bisa membaca beberapa hal. Mbah Surip tidak hanya menggendong sejumlah mimpi dan cita-cita. Ia juga menggendong spirit untuk tidak menyerah kepada keadaan, tetapi terus berjuang demi keyakinan yang dibawanya naik sepeda dari kampungnya di Mojokerto ke Jakarta, dengan sebuah gitar kotak bikinan sendiri.
Ia menggendong semangat, kesederhanaan—yang lebih tepat disebut sebagai ”kenaifan” dalam pandangan hidup, melodi, dan lirik lagu-lagunya—serta kemiskinan.
Mewakili ”iron”
Entah sejak kapan ia mematut dirinya—dari topi, rambut gimbal, pakaian warna-warni, hingga sepatunya—seperti sang legenda musik reggae dari Jamaika, Bob Marley.
Namun, dalam beberapa kali pertemuan dengannya, bersama teman-teman seniman dari Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan—jauh sebelum ia masuk televisi dan terkenal bukan main—sosoknya tampak mewakili sebuah ”ironi”.
Ya, ironi. Itulah, menurut hemat saya, yang digendongnya ke mana-mana: kepalsuan dan otentisitas. Kepalsuan identitas, yang menjadi ciri penampilan dan pembedanya dari seniman lain; sekaligus otentisitas kepribadiannya yang norak, lugu, Jawa banget, melarat tapi cuek.
Dan, dengarlah suara tertawanya yang berat, keras, lepas, dan menggelikan: ia menertawakan seluruh dunia yang dihadapi dan digendongnya ke mana-mana selama puluhan tahun.
Itu semua, secara lugas, tuntas, dan vulgar, ditampilkan dalam lagunya yang paling ”menyengat” seluruh moralitas dan tata nilai peradaban, yang menjadi puncak dari ironi yang digendongnya: ”Bangun Tidur”. Dengar saja liriknya yang berulang-ulang dan berputar-putar dalam absurditas yang fatalistis: Bangun tidur/ tidur lagi/ bangun lagi/ tidur lagi/ bangun.../ tidur lagi!.
Uniknya—dan inilah kodrat ironi—setelah sekian lama menyampaikan seluruh ironi dirinya di jalanan dan dalam perhelatan-perhelatan khusus, akhirnya sampai juga ia ke pentas yang lebih luas: televisi dan telepon seluler. Hasilnya adalah spektakel yang heboh dan meruyak.
Anak-anak kampung hingga para sosialita di Ibu Kota menerima, mendengar, dan ikut menyanyikannya. Dalam kalimat lain: Mbah Surip berhasil berbagi beban dan ironi yang digendongnya dengan penggemarnya di seluruh pelosok negeri.
”Tugas”-nya selesai
Jika popularitas puncak dan uang banyak yang dicapainya kita baca sebagai ujung dari mimpi dan cita-citanya, berarti ”tugas” Mbah Surip di dunia sudah selesai.
Peristiwa kematian dan penguburannya yang mendapat liputan amat luas selama berhari-hari—mengingatkan kepada keriuhan ”penyambutan” dunia atas kematian sang Raja Pop Michael Jackson belum lama berselang—merupakan penyempurna perjalanan hidupnya.
Bahkan, siapa pun barangkali tidak akan berani berharap mendapatkan komentar dari Presiden RI (SBY), yang merasa perlu menggelar sebuah konferensi pers khusus untuk memberikan komentar atas kematiannya.
Keriuhan menyambut akhir dari ”kehadiran seumur jagung” Mbah Surip tidak hanya bisa dibaca sebagai pencapaian puncak sebuah ironi.
Di sisi lain, fenomena Mbah Surip mungkin juga merupakan sebuah awal dari hidupnya sebuah Indonesian Dream: bahwa apa pun yang dicita-citakan, jika ditempuh dengan kerja keras, ulet, sabar, sambil mengupayakan sebuah ciri pembeda, akhirnya akan menjadi kenyataan.
Memerlukan momentum
Setiap sukses memerlukan momentum. Namun, tidak setiap orang bisa menemukan momentum. Mbah Surip, tanpa disadari, ternyata mendapatkan momentum itu. Ia pun menerima hasilnya yang fenomenal. Dan ia pun disegerakan mendapatkan momentum pamungkasnya: kematian, yang menyelamatkannya dari drama ”kejatuhan” secara eksistensial, finansial, dan spiritual. Itulah yang membuat hidup Mbah Surip menjadi indah dan akan terus dikenang.
Adalah tanggung jawab dan tugas dari kita yang hidup untuk membereskan semua hal yang menjadi beban dalam gendongan Mbah Surip. Agar bangsa ini tidak terus menjadi bangsa Sisipus yang menggendong ironi ke mana-mana: sebagai bangsa yang besar, di negeri yang kaya raya, dengan kekayaan budaya yang tidak terhingga, memiliki religiusitas yang tinggi, tetapi hidup terpuruk di dalam kenistaan.
Sukses dan spirit Mbah Surip harus bisa menjadi pemicu agar bangsa kita bisa segera terbebas dari kemiskinan dan dari kegamangan eksistensial tentang jati diri.
Bangsa ini, bila diurus dengan tepat dan benar, seharusnya bisa menjadi bangsa yang maju, mandiri, dan bermartabat.
Mbah Surip, we love you full!
* Yudhistira ANM Massardi, Sastrawan; Pengelola Lembaga Pendidikan Gratis bagi Kaum Dhuafa, Bekasi
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment