-- Arie MP Tamba
PADA 1960-an, menurut catatan Umar Kayam (1981), lenong nyaris punah dari Jakarta. Perkumpulan demi perkumpulan lenong yang pernah ada gulung tikar. Beberapa kelompok yang tersisa, terdesak ke sudut-sudut kota. Panggilan untuk mentas di pesta-pesta semakin jarang. Maka, para aktor dan aktris lenong pun kembali ke kehidupan sehari-hari sebagai babu cuci, penjual gado-gado, abang becak, penjaja sayur, atau centeng toko.
Si Pitung yang perkasa, Nyai Dasima yang malang, untuk sementara istirahat dalam ruangan lain dari imaji para aktor dan aktris lenong yang pernah memainkannya. Cerita Si Pitung dan para jagoan Betawi lainnya, juga tragedi Nyai Dasima, adalah kisah-kisah Betawi yang cukup lama mengoperasikan anasir kebetawian sebagai kebudayaan. Hingga, membiarkan kisah-kisah itu raib – boleh jadi sama dengan menutup mata atas memudarnya nilai-nilai kebetawian.
Hal inilah yang tidak diinginkan pemerintahan DKI pada 1970-an. Ketika mereka mendirikan Taman Ismail Marzuki, mereka sengaja mengundang lenong untuk ikut serta sebagai pengisi acara. Lenong dibiarkan mentas berdampingan dengan berbagai jenis kesenian kontemporer, ataupun pertunjukan yang sengaja didatangkan dari mancanegara.
Sejarah kesenian Indonesia kemudian mencatat, bagaimana pada 1970-an itu TIM ”melahirkan” para seniman teater (dan juga film) besar Indonesia seperti Rendra, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Sjumandjaya, Chairul Umam, dll. Lalu dari dunia seni lukis mengibarlah nama-nama: Zaini, Nashar, dll.
Sementara dari dunia tari orang tak mungkin melupakan nama-nama Sardono W Kusumo, Farida Feisol, dll. Dan dari dunia musik kita kenallah nama-nama penting: Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur, dll. Mereka, atau semua nama-nama beken itu, bisa dikatakan seperti menemukan momentum kreatifnya – seiring dengan dipalunya genderang kebebasan kreatif di TIM.
Ali Sadikin, Sang Gubernur DKI masa itu, adalah nama besar di belakang semua keberhasilan TIM itu. Ali Sadikin mendambakan berdirinya sebuah pusat kesenian di tengah pembangunan fisik kota metropolitan Jakarta. Tapi secara tak sengaja, ia kemudian tampil sebagai ’penyelamat’ sebuah kesenian tradisional Betawi yang nyaris punah: lenong. Ya, lenong yang menghilang dari sudut-sudut kampung itu, kemudian hidup kembali (bahkan sehat-walafiat) – berkat TIM!
Salah satu teater di TIM, Teater Terbuka, menyelenggarakan pertunjukan lenong secara rutin. Karena dipanggungkan rutin, peminatnya pun bertambah melampaui penggemar klasiknya: warga Betawi di kampung-kampung. Sebab, orang-orang ’gedongan’ pun mulai meminati lenong. Padahal, mereka boleh jadi masih ragu mendatangi lenong di kondangan kampung.
Lenon benar-benar naik daun. Nama-nama para bintangnya, seperti Bokir, Anen, dll, terus mengangkasa, bahkan hingga kini. Penggemar mereka tak lagi terbatas hanya masyarakat Betawi, tapi meluas ke ’orang-orang pendatang’ dari seluruh penjuru tanah air. Artinya, lenong tidak lagi semata-mata anasir nilai dan kesenian Betawi. Lenong sedang berproses menjadi ’pertemuan’ nilai-nilai keindonesiaan.
Sebab, dengan semakin peluralnya penonton, penampilan lenong pun dimodifikasi sedemikian rupa, semakin kaya dan beragam. Menurut Kayam, pada masa itu, menguasai jargon lenong sempat jadi keharusan di kalangan muda-mudi Jakarta. Lenong jadi milik warga Jakarta dan juga Indonesia. Apalagi dengan meluasnya pemanggungan lenong dari TIM, ke TMII, kemudian ke televisi, dan juga panggung-panggung amatir di sekolah atau di kampus.
Masyarakat Jakarta adalah masyarakat majemuk yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Secara bertahap. mereka beradaptasi dengan berbagai sarana perdagangan, industri, pemerintahan, komunikasi, yang terus bertumbuh semakin canggih. Di tengah situasi ini, gaya hidup urban menjadi fenomena kemasyarakatan baru. Nilai-nilai lama (daerah) semakin diseleksi, nilai-nilai baru terus diadopsi dan dipilah.
Di antara dinamika sosial budaya itu, masyarakat Jakarta mengupayakan gaya hidup yang sesuai dipertahankan dan dikembangkan, untuk menghadapi tuntutan perkembangan baru di tengah globalisasi. Dan di antara bentuk-bentuk kesenian yang dihadirkan (dan ternyata diminati) di tengah mereka – lenong sempat menjadi primadona.
Lenong adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dari percampuran berbagai budaya yang ’melahirkan’ Betawi: China, Sunda, Jawa, Portugis, Belanda, dll. Berbeda dengan teater rakyat di Bali dan Jawa, yang erat sekali hubungannya dengan keraton – lenong yang diiringi musik gambang kromong ini lebih kosmopolit (dan cair) sifatnya.
Tapi justru karena itulah, lenong yang banyak mengangkat kisah manusia-manusia yang berjuang mengatasi kesulitan kehidupan itu, lebih terasa mewakili masyarakat urban. Yang setiap hari melakukan penyesuaian secara intens, dengan perkembangan Jakarta dan sekitarnya.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 November 2008
1 comment:
Tingkatkan terus kesenian daerah kita. agar tidak akan punah ditelan zaman. Oknei..!!
Post a Comment