Sunday, March 06, 2011

Sebuah Koma Lagi untuk Penonton Setia

-- Aryo Wisanggeni G

PADA zaman yang serba cepat dan ringkas, di mana koran yang menyusut menjadi ukuran tabloid pun seperti belum cukup ringkas dibaca, Teater Koma tidak bergeming. Pementasannya yang ke-122, ”Sie Jin Kwie Kena Fitnah”, tidaklah ringkas. Namun, dengan langgam itu, Teater Koma justru punya penonton setia.

Sie Jin Kwie Kena Fitnah”, yang dipentaskan menandai 34 tahun kiprah Teater Koma di dunia seni pertunjukan, adalah kelanjutan dari produksi Teater Koma ke-119, ”Sie Jin Kwie”. Nano Riantiarno membuat naskah saduran dari novel klasik karya Tiokengjian dan Lokoanchung, Sie Jin Kwie, yang berkisah tentang kejayaan Dinasti Tang Kerajaan China abad ke-7.

Kali ini pahlawan Sie Jin Kwie yang telah dianugerahi gelar Raja Muda karena menyelamatkan Kaisar Lisibin terjebak persekongkolan Thibiejin, suaminya Litocong, dan kerabatnya Thiojin. Thiojin meracuni arak yang disuguhkan kepada Sie Jin Kwie sehingga sang raja muda tertidur.

Saat sang raja muda akan ditidurkan dalam peraduan anak gadis Litocong, Loanhong, sang putri memprotes persekongkolan yang mencemarkan kehormatannya itu. Namun, sang ayah tidak peduli. ”Ayah sudah memutuskan, kehormatanmu tidak akan ternoda,” kata Litocong.

Ketika Loanhong memilih bunuh diri, Litocong murka. ”Ini semua gara-gara Sie Jin Kwie, dia harus mati,” ujar Litocong gusar. Litocong pun melapor kepada kemenakannya, Kaisar Lisibin bahwa Sie Jin Kwie telah memperkosa dan membunuh Loanhong. Kaisar yang murka menitahkan Sie Jin Kwie dipenggal. Lalu mengapa Sie Jin Kwie selamat?

”Hukum elite memang berpihak kepada penguasa. Kita tahu siapa-siapa yang korup, tetapi mereka tak dihukum dan kita tak bisa berbuat apa-apa,” kata Nano Riantiarno, sang sutradara.

Kisah metafora lingkaran setan penegakan hukum yang ”serba fitnah” itu menunjukkan kelas Teater Koma menggarap pertunjukan teater. Penguasaan panggung para aktornya yang kawakan, detail perabotan panggungnya yang menawan, peralihan adegan berikut perabotan panggungnya yang tangkas, juga kostumnya yang digarap teliti dengan meriset Museum Dinasti Tang di Xian, China.

Kisah yang diambil dari dua bab novel klasik Tiokengjian dan Lokoanchung itu—yang oleh komikus Otto Swastika dikisahkan dalam 15 halaman komiknya—digarap menjadi pertunjukan teater dua babak berdurasi empat jam. Dalang M Tavip S saja menghabiskan durasi 30 menit untuk mengisahkan perjalanan Sie Jin Kwie pulang mencari istri dan anak-anaknya yang telah ia tinggalkan belasan tahun.

Dialog keluh kesah dendam Thibiejin, Litocong, dan Thiojin kepada Sie Jin Kwie yang amat verbal dan berpanjang-panjang memakan durasi 30 menit berikutnya. Baru setelah itu muncul kisah bunuh diri anak gadis Litocong, Loanhong, yang membisikkan pesan bagaimana elite politik seperti Litocong memilih mempersalahkan orang lain ketimbang menalar ulang sesat pikirnya sendiri.

”Saya ingin membuat pertunjukan teater yang ringkas, tetapi tidak bisa. Ada kisah lucu soal naskah panjang. Naskah RSJ waktu itu diperiksa intel sebelum dipentaskan, dan mereka memberi Stabilo hijau, kuning, dan merah pada dialog naskah itu. Dialog berstabilo merah harus dihilangkan dan durasi pertunjukan berkurang. Setelah pentas saya bilang kepada wartawan, ”Terima kasih kepada aparat keamanan yang membantu editing naskah RSJ”. Anehnya, ada seorang kolonel yang malah berterima kasih karena pernyataan saya itu,” kata Nano tergelak.

Sejak didirikan 1 Maret 1977, Teater Koma mengusung semangat memanggungkan roh teater tradisional berupa goro-goro yang spontan dalam sebuah pertunjukan teater modern. Risiko pertunjukan panjang bak kekhasan Teater Koma yang juga banyak mementaskan naskah adaptasi teater barat seperti ”The Good Person of Shechzwan” karya Bertolt Brecht (”Tiga Dewa dan Kupu-kupu”, 1992) atau ”Romeo-Juliet” karya William Shakespeare (”Roman Juliet”, 2002).

Ritual

Bagi aktornya, pementasan Teater Koma adalah sebuah ritual. ”Ketika saya bermain sinema elektronik, saya tidak bisa mendapati pengalaman magis yang saya dapatkan dari panggung Teater Koma. Itu yang membuat banyak pemain kami bertahan dan setia kepada Teater Koma,” ujar Sari Madjid, sang pemeran Thibiejin, yang juga adik Ratna Riantiarno dan bergabung bersama Teater Koma sejak 1978.

Perjalanan 34 tahun Teater Koma—yang beberapa pentasnya dibubarkan dan dilarang Pemerintah Orde Baru (”Maaf, Maaf, Maaf” tahun 1978, ”Sam Pek Eng Tai” tahun 1989, ”Suksesi” tahun 1990, dan pementasan ulang ”Opera Kecoa” tahun 1990)—telah menjadikan penontonnya sebagai bagian dari sejarah Teater Koma. Nano sendiri terheran dengan loyalitas penonton tahun 1980-an mewariskan kecintaan menonton Teater Koma kepada anak, menantu, dan cucu mereka.

”Teater Koma hidup karena awaknya yang setia, dan tentu penontonnya yang setia. Ketika kami dilarang pentas oleh Orde Baru, penonton yang telanjur membeli tiket justru bersimpati. Saya pernah ditemui seorang purnawirawan kapten yang selalu menonton pentas kami sejak 1978 saat berpangkat letnan dan menjadi intel. Ia menemui saya telah pensiun, dengan mengajak istri, anak, dan menantunya menonton pertunjukan kami,” tutur Nano yang yakin pertunjukan ”Sie Jin Kwie Kena Fitnah” pada 4-26 Maret akan dipadati penonton setia Teater Koma.

Napas panjang Teater Koma kembali membuat sebuah koma dalam perjalanan kerja seninya. Jika siap menyimak pertunjukan panjang ”Sie Jin Kwie Kena Fitnah”, Anda bisa menjadi bagian dari sejarah panjang Teater Koma.

”Jika energi kami mencukupi, kami akan mementaskan bagian ketiga dari perjalanan Sie Jin Kwie, ’Berperang ke Barat’ pada 2012,” kata Nano.

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Maret 2011

No comments: