-- Herman RN
BANYAK cara dapat dilakukan untuk memahami karakteristik masyarakat Aceh. Peribahasa dalam sastra lisan, misalnya, menjadi salah satu cara yang dapat digunakan.
Peribahasa adalah salah satu bentuk sastra lisan. Tidak hanya mengkaji karakteristik masyarakat, peribahasa juga dapat menilai, menasihati, dan mengkritik orang lain. Bagi masyarakat Aceh, yang senang menyebut dirinya dengan ureueng Aceh, peribahasa dikenal dengan hadih maja.
Hadih maja sudah menjadi ”petuah” bagi masyarakat Aceh sepanjang zaman. Ini dibuktikan oleh Mohd Harun, pengajar sastra, adat, dan budaya di Universitas Syiah Kuala, dalam bukunya, Memahami Orang Aceh. Beranjak dari sebuah disertasi, buku ini menjadi dokumentasi yang secara kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitiannya dititikberatkan pada hadih maja, yang memang umumnya dijadikan filosofi oleh masyarakat Aceh. Karena itu, buku setebal 304 halaman ini patut menjadi cermin kehidupan masyarakat Aceh: tempo doeloe dan kini.
Mengkaji makna
Membaca buku mantan wartawan lokal ini seakan memberikan penyadaran bahwa masyarakat Aceh sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun iri hati dan sikap melawan disebutkan bukan sifat mutlak ureueng Aceh. Sikap ini timbul di kemudian hari karena ihwal sesuatu, semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, atau dipukul. Akibatnya, ada perlawanan dari masyarakat, bahkan hingga ingin pisah kampung atau bila perlu pisah negara.
Padahal, kenyataan terdahulu, orang Aceh memiliki sifat lembut dan suka mengalah. Melalui ungkapan atra gop tajôk keu gop, maté srop tameudakwa (milik orang kembalikan pada orang, jangan kita mati mempertahankannya), Harun menyebutkan bahwa masyarakat Aceh kerap berusaha menghindari konflik (hal 76).
Hal di atas ditegaskan pula oleh Rektor Universitas Syiah Kuala Darni M Daud, yang memberikan pengantar pada buku ini. Mengutip satu hadih maja, Darni menyebutkan bahwa orang Aceh lebih senang mengalah daripada berperang: surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana (mundur tiga langkah merendah diri, biar dikenali yang bijaksana).
Namun, terungkap pula bahwa masyarakat Aceh memiliki karakter keras kepala, terutama jika sudah ”disinggung” atau tersinggung. Artinya, ada konsep ”tabu” (pantang) yang dilakukan terhadap ureueng Aceh. Ini juga terlukis dalam pantang Aceh: tacarôt, tateunak, tatrom, tasipak, tapèh ulèe, tacukèh keueng/ sinan ureueng le binasa (pantang orang Aceh: dicaci, dimaki, ditendang, disepak, diketok kepala, disentuh dagu/di situ orang banyak binasa).
Tabu bagi orang Aceh dalam hadih maja tersebut secara umum juga berlaku untuk masyarakat Indonesia. Tetapi, di sana ditegaskan bahwa jika tabu tersebut dilanggar, akan berakibat fatal. Di sisi lain, jika orang Aceh dapat ”disentuh” hatinya, nyawa pun bakal diserahkan: ureueng Aceh hanjeut teupèh/ meunyo ka teupèh, bu leubèh han geupeutaba/ meunyo han teupèh, boh krèh jeut taraba (orang Aceh tak boleh tersinggung/ jika sudah tersinggung, nasi basi tak mau diberikannya/ jika tidak tersinggung, alat vitalnya pun rela diserahkan). Tentu saja penggunaan idiom ’alat vital’ di sini dimaksudkan sebagai ungkapan tertinggi menyatakan kerelaan atau keikhlasan.
Secara umum, buku ini mengkaji makna tersirat dalam hadih maja sebagai sastra lisan Aceh. Ini pula yang membuatnya memiliki kelebihan dibandingkan dengan banyak buku lain di pasaran tentang peribahasa. Jika umumnya sekadar menginventarisasi, buku ini malah mengulas makna yang tersirat pada setiap hadih maja secara mendalam. Hampir seribu hadih maja terangkum dalam buku ini yang dianalisis menjadi tiga bagian: nilai filosofis, nilai etis, dan nilai estetis.
Harun mengaku sudah mengumpulkan hadih maja selama bertahun-tahun. Kini ia mencoba memberikan pengetahuan baru kepada publik. Peribahasa, yang selama ini terkesan sekadar pemanis kata atau alat menyindir, ternyata memiliki nilai yang sangat dalam dan kental. Nilai yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat tempat peribahasa itu dipakai.
Penelitian ilmiah
Kendati tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di setiap zaman, nilai di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian hadih maja, apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah seperti yang dilakukan Harun, patut mendapatkan apresiasi lebih.
Sayangnya, buku ini tidak memuat struktur hadih maja, padahal ia beranjak dari disertasi Struktur, Fungsi, dan Nilai Hadih Maja. Walaupun tidak jauh beda dengan struktur peribahasa umumnya, boleh jadi hadih maja memiliki keunikan tersendiri. Semisal terikat dengan jumlah baris dan kata sehingga perlu pemaparan struktur.
Akan menjadi lebih rinci dan lengkap lagi manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius. Sebab, persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit dengan ari. Harun mengakui, dalam pengantarnya, ada satu konsep nilai yang tidak dimasukkan di sini, yaitu konsep religius orang Aceh. Ini atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil penelitian.
Lalu, bagaimana pula pandangan orang Aceh terhadap keberagaman etnis? Pasti ada hadih maja-nya. Sayang, hal-hal sederhana seperti ini tidak dilampirkan meskipun sempat disinggung bahwa orang Aceh hidup rukun walau dengan beda etnis.
Namun, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi para peneliti yang hendak mengkaji seluk-beluk masyarakat Aceh, dulu dan sekarang. Tidak tertutup kemungkinan pula, buku dengan sampul perpaduan merah-coklat, yang menyiratkan ”tanah dan darah”, ini dapat menjadi rujukan teknis penelitian ilmiah terhadap pepatah dan peribahasa dalam bahasa lainnya.
* Herman RN, Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah, Banda Aceh
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010
1 comment:
Post a Comment