-- Jauhari Zailani*
TAHUN 2009 diakhiri dengan mangkatnya Abdurrahman Wahid, Presiden RI 1999--2001. Indonesia berduka. Tulisan ini, dengan keterbatasan yang ada, dimaksudkan untuk mengenangnya. Gus Dur, adalah makhluk multidimensi, manusia lintas batas. Kata, ungkapan, kalimat dan bahasa ternyata sangat terbatas untuk menggambarkan sosoknya. Begitu luas jangkauan kiprah dan bidang yang menjadi perhatiannya.
Politik, pernah menjadi oposan Pak Harto, dan menjadi presiden RI. Dalam agama, ia adalah tokoh sentral NU, bahkan pengikutnya menyebut dirinya sebagai wali. Dalam HAM, ia pembela paling konsisten pada hak-hak kaum tertindas, seperti eks tapol PKI, minoritas China, LDII, bahkan kaum waria. Dalam dunia film dan kesenian, ia menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta era 1970-an.
Sebagai kolumnis, tulisannya tersebar di media nasional dan internasional. Bahkan piawai menjadi komentator sepak bola, dan seabreg kegiatan lainya. Kiprahnya di dunia internasional, Gus Dur adalah anggota atau ketua dari banyak organisasi internasional, Yayasan Simon Peres adalah salah satunya. Berbagai penghargaan telah diterimanya dari berbagai lembaga dan negara dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika. Betapa kuat fisiknya, meski tubuhnya didera sejumlah penyakit. Hingga menjelang akhirnya ia masih bersafari di Jawa Timur.
Kepergiannya malah mengukuhkan dirinya, betapa ia sosok yang telah berbuat banyak bagi banyak orang, kelompok, dan bangsa-bangsa. Meski ia seorang ulama Islam, tetapi orang Nasrani, orang Hindu, dan Konghucu tidak hanya melayat, tetapi juga berdoa di rumah ibadahnya masing-masing. Meski tubuhnya rapuh, ia adalah pembela orang dan kelompok yang teraniaya dan tertindas. Dirinya marah dan segera berpihak pada si lemah ketika ada kekerasan dari si kuat. Tanpa sungkan ia membela Dorce yang berganti kelamin, ketika ulama lain mencercanya. Ia segera memihak Inul ketika penyanyi ngebor tersebut dihakimi Rhoma Irama.
Itu hanya gambaran betapa ia pembela orang yang teraniaya. Begitu juga sikapnya pada kelompok agama, etnis, dan kelompok minoritas lainnya yang teraniaya oleh kelompok dominan. Dia pembela kaum China, bahkan Yahudi. Ketika politik negara menghukum tak berkesudahan bagi orang PKI dan keturunannya, ia membela dan membebaskannya. Ia juga membela masyarakat korban pembangunan seperti warga Kedong Ombo, Madura, Irian Jaya, dan masyarakat adat lainnya. Susah memahami Gus Dur. Seorang kiai, ilmuwan, politisi, atau? Tak cukup dengan sebutan budayawan, ia disebut sebagai guru bangsa, bapak bangsa, guru manusia. Tetapi, Gus Dur memiliki ungkapan yang seolah mewakili dirinya; Begitu saja kok repot.
Dalam jagat politik, Gus Dur piawai dan terkenal dengan jurus Dewa Mabok. Langkahnya zigzag bergerak di antara lilitan tali temali nasionalis dan religius, kaum minoritas maupun mayoritas. Langkahnya limbung tapi pengaruhnya menancap kokoh pada lintas kelompok seperti tentara-sipil, Jawa-luar Jawa, China-non China, laki-laki-perempuan, Islam-Nasrani, Buddha, Hindu, Khonghucu, hingga Yahudi. Energinya tak pernah habis, melebihi yang waras dan tidak mabok. Jurus-jurusnya membuat bingung para muridnya, yang hanya bisa menebak arah dan terbengong pada ending.
Sementara lawan-lawanya, selalu waspada karena meski dalam keadaan tidur ia tetap bahaya, menyerang dengan gerakannya lembut mematikan. Dalam jurus maboknya, dia dapat menghajar siapa saja, dengan kepretan sederhana para pendekar Ciganjur seperti Megawati, Amien Rais, Hamengkubuwono, pernah dibuat tunggang langgang. Lawan politiknya, di zaman Orde Baru, dibuat tak bisa tidur, betapa Pak Harto yang ketika itu sangat berkuasa, disebutnya sebagai "jenderal goblok". Tetapi ketika semua menghujat Pak Harto, ia bermesraan dengan Pak Harto dan keluarganya. Bahkan Mbak Tutut pernah dipujinya; sebagai pemimpin masa depan. Dan menenteng Tutut bersafari pesantren. Sikap dan langkahnya itu menegaskan bahwa (ketika itu) hanya ada dua politisi di Indonesia, yakni Soeharto dan Gus Dur.
Dalam Pemilu 2004, meski ia gagal mencalonkan diri, pemilu semarak. Kata yang tepat; Untung ada Gus Dur. Ketika itu, panggung politik dikuasai oleh dua kubu; SBY dan Wiranto mewakili kelompok tentara, Amien dan Megawati mewakili kelompok sipil. Jadilah kompetisi dua padepokan Cilangkap versus Ciganjur. Gus Dur memiliki andil yang sangat besar dalam membuat peta kekuatan menjadi seimbang sehingga "tamansari demokrasi menjadi asri".
Sebagai suhu demokrasi, ia membagi azimat yang sama pada setiap jago yang laga. Azimat NU "miliknya", menjadi merek Gus Dur yang laris manis. Megawati, berjaket NU Hasyim Muzadi. Wiranto dan Golkar berjaket NU Salahudin Wahid. Pada SBY pun, ia menempelkan merek NU melalui Jusuf Kalla. Amien Rais tak bisa menghindar pada jaket Gus Dur; Siswono adalah jaket merah bagi Amien Rais buatan Gus Dur di "garmen" koalisi pelangi. Hamzah Haz yang NU menggandeng Agum Gumelar, menjadi penghibur bagi masyarakat Kalimantan dan Jawa Barat. Meski ia gagal mencalonkan diri, ia menjadi pusat. Semua calon dibuatnya sowan ke istananya di Ciganjur.
Lembaga Kepresidenan yang angker dan tertutup pada era Bung Karno dan Pak Harto, oleh Gus Dur istana menjadi istana rakyat. Sehingga ia mengubah lembaga kepresidenan yang angker menjadi renyah penuh guyonan ala pesantren. Siapa pun bebas masuk istana. Tak memiliki juru bicara, ia berbicara langsung kepada rakyatnya. Ia sangat produktif menyebar isu; membubarkan departemen, menuduh dan memecat menterinya. Ketika Gus Dur digugat karena ucapanya yang mencla-mencle, dia mengeluarkan jurus terkenalnya: gitu aja kok repot-repot.
Tapi, penampilan Gus Dur sebagai presiden, mengundang iba. Betapa kejamnya dia dan kita terhadap dirinya, dalam kesehatannya yang buruk ia harus membenahi negara yang sedang dilanda krisis. Ia dituntun anak dan ajudannya, belum lagi sang Ibu Negara yang berada di kursi roda. Namun begitu, dalam waktu singkat prestasi Gus Dur mengundang decak kagum.
Kiprah diplomasi internasional Gus Dur ditandai dengan manuvernya ketika mengunjungi China. Di sana ia mendeklarasikan kekuatan blok ekonomi; segitiga China, India, dan Indonesia. Dengan manuvernya tersebut, Amerika blingsatan. Kemudian mengundangnya, padahal sebelumnya Clinton agak mengabaikannya. Tentu saja Amerika tidak mau ditinggalkan oleh Indonesia yang berakrab-akrab dengan China. Kini 10 tahun kemudian, India dan China menjadi raksasa ekonomi dunia, dan Indonesia yang kini menjadi raksasa demokrasi, diyakini segera menyusul China dan India dalam ekonomi.
Kemudian, ia berpaling ke negara-negara Arab, sebagai sumber keuangan maupun kebudayaan. Ketika dengan Amerika ia memainkan kartu China, dengan Arab ia memainkan kartu Israel. Sehari setelah Alwi Shihab mengumumkan bahwa RI akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tujuh belas duta besar negara-negara Timur Tengah menghadap Presiden Gus Dur. Ini yang paling mendasar, dengan keliling dunia, ia meyakinkan dunia bahwa Islam dan demokrasi tidak bertentangan, bahkan selaras.
Betapa cerdasnya Gus Dur dapat dilihat dari kata gila yang berkonotasi negatif, di tangannya menjadi enteng dan lucu. Dalam satu kolom "Piala Dunia", ia menulis; minggu-minggu ini umat manusia semua gila. Di tengah lapangan di benua Eropa, 22 orang mengejar dan berebut bola. Tiga orang hakim berlari ke sana kemari ngenyut lipritan. Sementara itu, jutaan manusia di seluruh dunia melotot di depan televisi tegang, berteriak, berjingkrak, bahkan rela mati."
Dalam kunjungannya ke Kuba ia berseloroh dengan Castro; Indonesia memiliki empat presiden, semuanya gila. Presiden pertama gila wanita, presiden kedua gila harta, presiden ketiga gila teknologi, presiden keempat gila beneran. Itulah Gus Dur. Selamat Jalan Gus. Tunggu aku di surga. Salam.
* Jauhari Zailani, Staf pengajar FISIP Universitas Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Januari 2010
No comments:
Post a Comment