-- Doni Koesoema A*
PENDIDIKAN bukan obat mujarab bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi bangsa ini. Meski demikian, dengan mendesain kebijakan pendidikan secara baik dan sinambung, hal itu mampu memberi sumbangan yang bermakna bagi perubahan tatanan masyarakat.
Sayang, kebijakan pendidikan kita lebih banyak didasari perilaku reaktif untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan sering kontraproduktif bagi dunia pendidikan sendiri. Mendesain kebijakan pendidikan secara integral merupakan keharusan.
Mengawali tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh melempar dua wacana penting, masalah integrasi evaluasi pendidikan dan pentingnya mendesain pendidikan yang mampu membentuk karakter budaya, bukan sekadar membentuk siswa menjadi individu yang santun, tetapi juga memiliki keingintahuan intelektual yang bermuara pada keunggulan akademis. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita selama ini.
Jika dua hal ini ingin menjadi sasaran Mendiknas, mau tidak mau harus berani mengkritisi kembali aneka macam kebijakan pendidikan yang telah lalu. Ada beberapa kebijakan pendidikan warisan Mendiknas sebelumnya yang harus ditelaah kembali karena tidak didasari sikap pikir jangka panjang, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan reaksioner sesaat.
Tiga keprihatinan
Pertama, perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih banyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dibandingkan dengan sekolah menengah atas (SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini amat reaksioner, tidak memerhatikan kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan lahirnya generasi peneliti dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.
Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang sudah mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun. Partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan swasta akibat gelojoh pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok.
Perlu diingat, banyaknya pengangguran terdidik dari perguruan tinggi ataupun lulusan SMA tak akan serta-merta diatasi dengan mendirikan SMK. Masalah pengangguran bukan soal utama dunia pendidikan, tetapi persoalan politik ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggung jawab menciptakan lapangan pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka menjadi individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan siswa masuk perguruan tinggi (PT). Pada masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan keilmuan yang dimiliki. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti, ilmuwan, dan lainnya karena kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan siswa pada akuisisi kemampuan dan keterampilan teknik, sedangkan refleksi filosofis intelektual yang memiliki rigoritas akademis kian berkurang.
Kedua, perubahan proporsi kebijakan ini tidak didasari cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, tetapi juga pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri.
Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah dan hanya menguntungkan perusahaan swasta karena mereka tak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk perekrutan karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung negara.
Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian tugas Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat akademi merupakan bagian kinerja Ditjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini harus bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke politeknik atau akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja murah.
Dari segi evaluasi, ujian nasional (UN) SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang dibutuhkan oleh SMK/SMA dan PT amat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan menjadi pemborosan anggaran negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan pemerintah untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan suara rakyatnya sendiri.
Ketiga, pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan harus bermuara pada keunggulan akademis. Tugas utama sekolah adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat.
Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, tetapi ini bukan tugas utama sekolah. Ini adalah tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan Mendiknas yang baru, merupakan tugas utama sekolah.
Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara matang dan berkesinambungan seharusnya menjadi orientasi bagi pemerintah dalam mendesain pendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, tetapi menciptakan sebuah generasi yang memiliki keunggulan akademis kiranya menjadi tugas abadi setiap lembaga pendidikan.
Inilah yang seharusnya menjadi desain besar pendidikan nasional kita.
* Doni Koesoema A, Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, AS
Sumber: Kompas, Selasa, 1 Desember 2009
No comments:
Post a Comment