Jakarta, Kompas - Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Nurhadi menegaskan, Mahkamah Agung tidak pernah melarang pelaksanaan ujian nasional di dalam putusan kasasinya. Mahkamah Agung hanya meminta pemerintah meninjau sistem pendidikan nasional.
Dalam kaitannya dengan ujian nasional (UN), Mahkamah Agung (MA) juga memerintahkan pemerintah untuk mengambil langkah konkret mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat UN tersebut.
Penegasan itu disampaikan Nurhadi, Selasa (1/12), dalam jumpa pers di Gedung MA, Jakarta. Nurhadi menjelaskan isi putusan kasasi MA yang sempat menimbulkan perdebatan belakangan ini.
Nurhadi menyatakan bahwa MA sama sekali tak pernah mengeluarkan putusan yang isinya harus menghentikan pelaksanaan UN. Pasalnya, penghentian pelaksanaan UN tidak pernah diajukan oleh penggugat.
”Dalam gugatan, tidak ada yang minta ujian nasional dihentikan. Mereka minta koreksi atas kelalaian pemerintah yang disebutkan dalam petitum-nya,” ujar Nurhadi.
Majelis kasasi yang terdiri dari Abbas Said, Mansyur Kertayasa, dan Imam Haryadi menolak permohonan kasasi yang diajukan para tergugat (Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan). Majelis kasasi tidak menemukan adanya kesalahan penerapan hukum dalam putusan judexfactie (putusan sebelumnya). Pengadilan tingkat banding juga menguatkan putusan tingkat pertama.
Pengadilan menyatakan, pemerintah telah lalai memenuhi kewajiban dan hak warga yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan. Pengadilan memerintahkan tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap se-Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN.
Mengenai tolok ukur perbaikan, Nurhadi menjelaskan, pengadilan tidak menentukan perbaikan seperti apa yang harus dilakukan. ”Yang menentukan parameter bukan pengadilan, tetapi pemerintah,” ujarnya. Lagi pula, tambah Nurhadi, yang digugat adalah pelaksanaan UN pada tahun 2005 dan 2006.
Hentikan UN
Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat mendesak UN untuk dihentikan karena pemerintah belum memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas guru, dan membangun akses informasi ke daerah. Padahal putusan pengadilan menetapkan semua persyaratan itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum UN dilaksanakan. ”Kata-kata ’sebelum’ itu berarti seharusnya tidak ada,” kata Nurkholis dalam diskusi ”Ujian Nasional (UN) dan Kelalaian Pemerintah dalam Memenuhi dan Melindungi Hak Asasi Manusia”, di LBH Jakarta.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno juga mengusulkan agar fungsi evaluasi dikembalikan kepada sekolah karena evaluasi pendidikan adalah ranah akademik, bukan ranah birokrasi. ”Kalau mau meningkatkan mutu pendidikan, kuncinya di guru. Supaya sekolah dipercaya, pemerintah harus mendidik guru-guru menjadi berkualitas dan profesional,” kata Hadi dalam diskusi tersebut.
Hadi berharap pemerintah mematuhi putusan MA dengan meniadakan UN 2010 sampai ada konsolidasi menyeluruh dan menciptakan sistem evaluasi yang lebih baik. ”Jangan ada lagi pembangkangan oleh negara terhadap putusan pengadilan karena akan menjadi contoh negatif bagi generasi muda,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan bahwa UN untuk SMP dan SMA sebaiknya mengakomodasi format ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) di tingkat SD. ”Standar kelulusan ditentukan sendiri oleh sekolah dan daerah juga punya hak menentukan soal,” ujarnya. (ANA/ELN/LUK/JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Desember 2009
No comments:
Post a Comment