PENYAIR-ESAIS Afrizal Malna tampak tertegun ketika muncul di ruang diskusi. Antara percaya dan tidak, antara berseloroh dan serius, Afrizal lalu berucap dalam nada tanya: ”Ini pertemuan sastrawan atau pengajian majelis taklim?”
Pada abad ke-19, Pulau Penyengat yang saat ini berada di Provinsi Kepulauan Riau dikenal juga dengan sebutan taman para penulis (bustan al katibin). Di pulau kecil inilah Raja Ali Haji melahirkan karya-karya besarnya, termasuk Gurindam Dua Belas yang sangat populer itu. (KOMPAS/KENEDI NURHAN)
Saat itu ruang diskusi memang didominasi ibu-ibu, yang belakangan diketahui adalah guru SMP dan SMA di Kota Tanjung Pinang dan sekitarnya. Mereka mengisi lebih separuh tempat duduk di ruang seminar bertajuk ”Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman” tersebut. Sementara di deretan agak lebih ke depan para mahasiswa setempat duduk berderet.
Sebaliknya, sebagian besar peserta Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang datang dari berbagai kota di Tanah Air malah berada di luar ruangan, terlibat ”diskusi” ringan dalam kelompok-kelompok kecil. Pemandangan ini berlangsung sepanjang pelaksanaan seminar selama dua hari tersebut. Dalam tiap sesi tanya jawab, perbincangan tidak lagi terfokus pada tema besar yang diusung TSI III/2010, tapi lari ke hal-hal yang bersifat praktis dan lebih untuk kepentingan proses pembelajaran sastra di sekolah.
Bahkan pada sesi tentang ”Kemelayuan dan Keindonesiaan: Perihal Keragaman Akar Sastrawan”, setelah paparan makalah oleh pembicara, forum cenderung hanya jadi semacam ruang keluh kesah peserta tentang mengapa Melayu ditinggalkan dalam proses ”menjadi” Indonesia. Seorang perempuan pemantun dari satu pulau kecil di dekat Batam yang ikut seminar bahkan memanfaatkan ruang diskusi untuk memamerkan kepiawaiannya dalam berpantun.
Akibatnya, apa dan bagaimana potret sesungguhnya perkembangan sastra Indonesia mutakhir tidak jadi bahan utama perbincangan. Pokok persoalan yang melatari semangat diadakan pertemuan kali ini, yakni untuk melihat anatomi sastra Indonesia mutakhir berikut berbagai fenomena yang melingkupinya, malah terpinggirkan.
Gagasan menarik terkait topik-topik yang didiskusikan, yang dengan jeli dan bernas didedahkan oleh para pemakalah maupun penyanggah, akhirnya hanya berhenti pada pertukaran wacana di atas panggung. Begitu sampai pada sesi diskusi yang melibatkan peserta, fokus persoalan kerap buyar karena pemakalah dan penyanggah harus meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak substansial, apalagi menukik ke akar persoalan yang didiskusikan.
Namun, masalah sesungguhnya bukan semata karena peserta seminar didominasi para guru, yang sangat boleh jadi kurang mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir sebagai tema sentral diskusi. Kalangan sastrawan peserta TSI III/2010 pun sebagian besar tidak menunjukkan antusiasme untuk terlibat dalam diskusi formal tersebut.
Saat acara berlangsung, banyak di antara mereka hanya duduk-duduk di restoran dan lobi hotel di lantai dasar, sebagian lainnya asyik bersama teman sejawat ngobrol di luar ruang diskusi. Padahal, ruang pertukaran gagasan dan pengalaman tentang sastra Indonesia mutakhir yang dikemas dalam bentuk seminar merupakan agenda inti dalam rangkaian acara TSI III/2010.
Alhasil, sulit menghapus kesan bahwa hajatan semacam ini dimanfaatkan oleh sebagian sastrawan lebih untuk kepentingan ”temu kangen” antarsesama mereka. Gagasan besar yang diusung dalam pertemuan ini, yang dengan susah payah dipersiapkan oleh tim kurator dalam diskusi dan rapat- rapat kecil mereka di Tanjung Pinang dan Yogyakarta jauh sebelum TSI III/2010 digelar, akhirnya hanya dimanfaatkan oleh para pemakalah dan penyanggah lewat kertas kerja yang dikirimkan ke panitia, tanpa pertukaran gagasan dalam ranah diskusi.
Pokok-pokok pikiran mereka memang dipaparkan di ruang seminar. Akan tetapi, karena sedikit direspons dalam sesi diskusi, hasil telaah berikut pandangan para pembicara terkait apa dan bagaimana perkembangan sastra Indonesia mutakhir (dalam kritik) tidak cukup teruji alias berhenti sebagai wacana di atas kertas.
Politik sastra
Secara umum, ada beberapa gagasan dan persoalan yang diangkat dalam TSI III/2010. Memang tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Namun, paling tidak butir-butir persoalan yang mengemuka lewat kertas kerja para pembicara harus diakui cukup memberikan rangsangan untuk meneroka lebih dalam apa yang dirumuskan panitia sebagai sastra Indonesia mutakhir.
Selain gambaran besar mengenai sastra Indonesia mutakhir terkait persoalan kritik dan keragamannya, juga dibahas isu menyangkut keberadaan komunitas dan media dari sudut pandang keragaman ideologi dan ekspresi sastrawan sebagai salah satu fenomena yang ada di balik perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Persoalan kemelayuan dan keindonesiaan berikut sejauh mana keragaman akar sastrawan berkarya, serta bagaimana situasi terkini proses penjelajahan dan pendalaman karya sastra Indonesia mutakhir di tangan para kritikus, disoroti lewat uraian deskriptif yang cukup memadai sebagai bahan awal untuk perbincangan lebih lanjut.
Bagaimanapun, menyimak telaah dan pemikiran mereka, khalayak sastra Indonesia diingatkan kembali bahwa ada yang tidak beres dalam perkembangan sastra Indonesia. Karya-karya memang terus lahir, penulis-penulis baru bertumbuh, kegiatan penerbitan juga bertambah sumbur, dan aktivitas kesastraan di berbagai pelosok negeri masih terus bermunculan.
Akan tetapi, di balik itu semua, iklim yang memayunginya dinilai masih tidak sehat. Kondisi ini terjadi disebabkan banyak faktor. Salah satunya diyakini karena kehidupan sastra Indonesia mutakhir tidak diimbangi kehidupan kritik yang memadai.
”Sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik,” begitu tesis yang dimunculkan tim kurator TSI III/2010 terkait alasan mengapa tema ini penting jadi bahan perbincangan.
”Mendung krisis kritik sastra masih dirasakan pekat merundung ranah kesusastraan kita,” timpal Arif Bagus Prasetyo, penulis dan kurator yang mencoba menggeluti dunia kritik sastra independen. ”Saya termasuk orang yang sejak lama ikut menuding kehidupan sastra di Indonesia tidak sehat karena tidak diimbangi oleh kehidupan kritik,” kata sastrawan Putu Wijaya menambahkan.
Akibat ketiadaan kritik sastra yang mumpuni, bukan sekadar kritik yang dibangga-banggakan kalangan akademisi dengan seperangkat teori analisis yang justru dinilai kerap mengerdilkan akal sehat (atau meminjam istilah Budi Darma hanyalah artefak kering, kurang darah, kurang daging, dan kurang semangat hidup) itu, dunia sastra pun jadi korban.
Namun, ketiadaan kritik sastra yang representatif hanya salah satu penyebab. Perseteruan antarberbagai komunitas sastra yang memiliki ideologi masing-masing, serta peran media yang dituding kerap berpihak, juga dinilai ikut mempersempit ruang gerak sastra Indonesia.
Bahkan dalam pandangan Katrin Bandel, pengamat sastra Indonesia asal Jerman yang kini bermukim di Yogyakarta, dunia sastra Indonesia saat ini tidak bebas dari pergulatan kekuasaan. ”Dunia sastra Indonesia penuh dengan permainan politik sastra,” ujarnya.
Katrin Bandel lalu mencontohkan keberadaan satu komunitas sastra di Jakarta yang memiliki pengaruh cukup besar dalam jagat kesusastraan Indonesia mutakhir. Sayangnya, menurut Katrin, pengaruh itu bersifat negatif dan menimbulkan ketidakadilan.
Lebih celaka lagi, politik sastra tersebut—disadari atau tidak—telah bersinggungan dengan dunia akademis. Dalam konteks ini, keterkaitan akademisi antara lain terjadi lewat ”peran” mereka dalam mempromosikan sebuah karya sastra, semisal melegitimasi terpilihnya karya sastra tertentu dalam sebuah lomba. Di samping itu, pilihan seorang akademisi untuk membahas karya tertentu dan tidak mengacuhkan karya lain beserta penilaian terhadap karya-karya yang dibahas tidaklah bebas nilai, tapi bersifat politis dan dipengaruhi oleh pertarungan politik sastra yang sedang berlangsung.
”Menurut pandangan saya, saat ini kondisi wacana seputar sastra Indonesia (pembahasan dan kritik sastra) cukup memprihatinkan. Kritik sastra sebagai kerja intelektual yang serius, berani dan bertanggung jawab, masih sangat langka. Sebagai akibatnya, pembahasan dan telaah sastra yang pada dasarnya tidak layak disebut kritik sastra yang bermutu tetap memiliki pengaruh yang cukup besar,” kata Katrin Bandel.
Begitu memprihatinkankah situasi yang melingkupi dunia sastra Indonesia saat ini? Akankah semua keprihatinan itu hanya sebatas kata-kata, lalu dibalas argumentasi bersifat pengiyaan ataupun penidakan juga dengan kata-kata, tanpa ada yang mau menjawabnya dengan tindakan yang juga memanfaatkan kekuatan kata-kata?
Jika begitu, lantas di mana kekuatan kata sebagai sumber energi kehidupan bagi mereka yang terlibat dalam dunia sastra? Ataukah dunia sastra pun sudah terkontaminasi perilaku elite politik pemangku negeri ini yang memang lebih suka bermain dengan kata-kata?(ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011
1 comment:
berkunjung ^__^
Post a Comment