Sunday, January 02, 2011

[Persona] Ikon Revolusi Beludru

-- Budiarto Shambazy

VACLAC Havel (74), ikon Revolusi Beludru yang berjasa merobohkan rezim komunisme Cekoslowakia tahun 1989. Dramawan yang jadi presiden pertama Ceko setelah berpisah dengan Slowakia itu kini sibuk menyutradarai film ”Kepergian” yang diangkat ke layar lebar dari salah satu novelnya.

Vaclav Havel (KOMPAS/BUDIARTO SHAMBAZY)


Di kantornya yang kecil dan penuh dengan rak buku di Praha itu, putra mantan duta besar dan wartawan terkenal tersebut memimpin berbagai institusi yang berkecimpung dalam kegiatan budaya, sosial, dan politik. Salah satunya Forum 2000, konferensi tahunan yang diselenggarakan sejak tahun 1997 yang dihadiri para pemimpin dan ilmuwan dari berbagai negara.

Sejak 1960-an penerima belasan gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas nasional ataupun internasional itu sudah berjuang menentang komunisme, termasuk menggalang kekuatan demokrasi yang dibungkam oleh invasi pasukan Uni Soviet yang tenar dengan sebutan Musim Semi di Praha tahun 1968. Tahun 1977 ia membentuk Charta 77 yang menentang rezim komunis, yang memenjarakan dia. Sejak itu Havel, yang berasal dari keluarga kaya dan intelektual itu, menjadi tokoh oposisi yang mendapat dukungan nasional dan internasional.

Bekas perokok berat itu memimpin ”Revolusi Beludru” November 1989, yang ikut memicu perubahan di Eropa Timur dan Uni Soviet. Rezim-rezim komunis bertumbangan, Tembok Berlin roboh taun 1989, Jerman bersatu kembali tahun 1990, dan Uni Soviet bubar tahun 1991. Revolusi Beludru meroketkan karier politik Havel yang terpilih sebagai Presiden Cekoslowakia, Desember 1989, melalui pemilu demokratis multipartai.

Selama memimpin, Havel yang kini dipandang sebagai pemimpin moral itu menggembala Cekoslowakia menuju era baru, termasuk berpisahnya Ceko dengan Slowakia yang sebenarnya ia tentang. Ceko kini menjadi negara modern yang bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan juga Uni Eropa. Havel, yang bersahabat dengan bintang-bintang rock, seperti personel Rolling Stones maupun U2, menerima Kompas untuk wawancara sekitar satu jam,

Apa aktivitas Anda sehari-hari?

Aktivitas saya dua. Pertama, dalam usia senja ini saya mencoba menjadi sutradara. Saya membuat film, shooting-nya hampir selesai. Ini makan waktu dan menegangkan, jauh lebih berat dari perkiraan saya. Kedua, menjalankan fungsi sebagai mantan presiden di kantor kecil ini bersama tiga anggota staf saya, yakni menulis, menjawab surat-surat, dan mengorganisasi berbagai pertemuan.

Bagaimana pandangan tentang perubahan di Eropa Timur? Apakah ada keprihatinan dengan kondisi saat ini karena beberapa negara mengalami krisis ekonomi?

Secara keseluruhan kami puas karena sebagian gagasan ideal tentang perubahan sosial telah terpenuhi, paling tidak masyarakat kami mengarah ke sana. Kami negara demokratis dengan sistem parlementer dan ekonomi pasar. Kami sudah punya jaminan keamanan sebagai anggota NATO. Dan tidak mudah mencapai tujuan perluasan keanggotaan NATO. Begitu juga dengan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Inilah alasan mengapa kami puas. Namun, saya memiliki 1.001 alasan untuk tidak puas. Pada akhirnya selalu saja ada hal-hal yang dikeluhkan dalam kondisi apa pun di bawah kepemimpinan rezim mana pun.

Saya ingin menambahkan. Anda menyebut tentang peranan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan gagasan perubahan yang diperjuangkannya. Apa yang terjadi saat itu krisis yang melanda sebuah sistem (komunisme) dan tentu saja perestroika yang digagas Gorbachev bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh. Perjuangan kami melalui Charta 77, gerakan-gerakan pembangkangan di Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya, merupakan akibat dari krisis sistem yang mendalam. Dan tentu saja perubahan itu dipercepat saat Gorbachev berkuasa.

Ceko dan Slowakia sudah terpisah cukup lama. Ada penyesalan barangkali?

Generasi saya, sama seperti generasi-generasi sebelum saya, dibesarkan oleh kesadaran kami satu negara Cekoslowakia dan siapa saja yang ingin berpisah adalah fasis atau musuh negara. Kesadaran ini bertahan karena perpecahan (Ceko dengan Slowakia) trauma besar, terutama bagi bangsa Ceko. Betapapun semua itu sudah dilupakan dan kini tidak jadi trauma lagi bagi siapa pun. Sekarang kami dua negara merdeka yang menjalin hubungan mesra dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan ketika masih menjadi satu negara. Jadi, perpisahan ini berlangsung baik-baik.

Menurut saya, perpisahan ini diperlukan.. Tentu perpisahan ini mengakibatkan hal-hal negatif. Misalnya, dulu orang Ceko mengerti bahasa Slowakia dan sebaliknya. Sekarang tidak karena berita-berita tak disiarkan dalam dua bahasa seperti dulu. Kerja sama budaya tidak seerat dulu. Namun, secara keseluruhan saya merasa kami hidup dalam zaman hubungan bilateral terbaik sebagai dua negara merdeka.

Saya menganggap yang paling penting perpisahan berlangsung damai dan tenang. Itu mungkin berkaitan dengan fakta baik orang Ceko maupun Slowakia tidak gampang naik darah, yang menyelesaikan perbedaan di kedai, (bukan) melalui perang. Dan juga berkaitan dengan perbatasan wilayah kami yang jelas. Sejak dulu Cekoslowakia tidak memiliki masalah yang sering kali jadi awal konflik lokal, yakni masalah perbatasan wilayah.

Ada anggapan rencana penggelaran sistem pertahanan rudal NATO yang diprakarsai Presiden AS George W Bush maupun Barack Obama membuktikan Ceko negara yang bisa diatur AS.

Saya tidak sependapat. Kami bagian dari Sekutu yang mendengarkan tiap suara anggotanya yang ikut dalam proses pengambilan keputusan. Tentu AS yang seratus kali lebih besar daripada Ceko memiliki pengaruh lebih besar, itu jelas. Dan berkaitan dengan sistem pertahanan rudal, serahkan kepada para ahli bagaimana bentuk terbaik sistem itu. Sayangnya, di negara kami ada yang tak menganggap itu masalah ilmiah atau teknis, tetapi masalah kebanggaan nasional. Apa masalahnya kalau kita punya satu radar? Saya nilai tidak masuk akal mereka yang keberatan dengan rencana itu dengan dalih nasionalisme atau patriotisme yang aneh, yang tidak menghormati Sekutu.

Dalam kerangka itu ada tanda-tanda hubungan AS dan Rusia kembali menegang, misalnya mereka tidak mau menyepakati New START (pengurangan senjata nuklir strategis). Apakah Anda melihat ini sebagai gelagat baru Perang Dingin?

Saya harap ini tak akan berkembang menjadi Perang Dingin baru. Saya nilai perjanjian ini penting karena jumlah senjata nuklir terlalu banyak di dunia. Kalaupun negara-negara pemilik terbanyak mengurangi jumlahnya jadi separuh pun, itu tak berpengaruh, mereka tetap bisa melakukan apa saja. Namun, tak ada ancaman terjadinya Perang Dingin tidak hanya karena kondisi di Rusia dan Eropa berubah secara signifikan, tetapi juga karena dunia tidak lagi terbagi dua kutub. Sekarang ada banyak negara adi daya dan mereka saling mengimbangi melalui cara yang cukup rumit.

Bagaimana penilaian Anda tentang China karena ada yang beranggapan Perang Dingin kedua terjadi antara AS dan China yang kini mempunyai kekuatan ekonomi, politik, dan militer sangat kuat?

Peranan China bertambah dan ekonominya berkembang pesat. Namun, menurut saya, dan saya juga menulis soal ini dalam surat ucapan selamat kepada (pemenang Hadiah Nobel Perdamaian) Liu Xiaobo, ekonomi yang berkembang pesat tidak cocok dengan sistem politik otoriter dalam jangka panjang. Menurut saya, pada masa depan China akan mengalami proses demokratisasi karena itu satu-satunya peluang mereka. Kalau tidak, kemajuan ekonomi mereka berhenti. Di sisi lain, kemajuan pesat China harus dikagumi. Tentu ada berbagai kekurangan, misalnya ekspor membanjirnya barang bajakan mereka dan lain-lainnya.

Apakah Anda khawatir keperkasaan militer China di Asia-Pasifik akan dimanfaatkan untuk menyerang negara lain?

Saya tidak tahu, tetapi semua eskalasi ketegangan yang menuju konflik tindakan bunuh diri dan saya nilai sangat tidak mungkin China akan bunuh diri. Dunia sudah terkoneksi secara global dan konflik kawasan dapat memicu konflik yang melibatkan semua pihak dengan cepat. Dan tak perlu diragukan lagi, para pemimpin yang bijaksana menyadari hal ini.

Sekarang banyak konflik perbatasan di antara negara-negara di Asia-Pasifik. Kami di kawasan ini sangat khawatir dengan perkembangan akhir-akhir ini.

Tentu saya mengerti, tetapi dengan pandangan sekilas dari jauh, tanpa pengetahuan mendalam mengenai semua konflik itu, saya nilai ia tidak akan berkembang jadi bencana. Yang saya anggap paling berbahaya Korea Utara. Tampaknya yang berkuasa di sana orang-orang yang kurang waras.

Apakah reunifikasi Korea tercapai dalam waktu satu atau dua tahun ini?

Mungkin saja, tetapi Korea Utara harus berubah. Korea Selatan, berdasarkan kunjungan saya ke sana, siap reunifikasi. Betapapun tampaknya sukar menyatukan rezim otoriter yang kurang waras dengan negara demokratis, bukan? Mungkin itu bisa dilakukan, tetapi kami sulit membayangkannya.

Dalam sepuluh tahun terakhir sebagian rakyat kecewa dengan demokrasi Indonesia karena politik uang dan Pemilu/Pilpres 2009 disengketakan ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana pandangan Anda?

Saya tidak punya pendapat khusus tentang perkembangan di Indonesia karena tidak terlibat politik lagi. Saya tidak menyibukkan diri dengan politik dari pagi sampai malam. Namun, ada sebuah hal yang jelas. Setelah setiap transformasi dari sistem otoriter ke demokrasi, ada tahap euforia dan kemudian tahap kecewa. Dan itu fenomena biasa.

Ada tahap ketiga?

Kehidupan sehari-hari.

Indonesia mengalami aneka masalah kebinekaan, toleransi terhadap agama lain makin tak dihargai. Pandangan Anda?

Itu sebuah paradoks, tetapi ragam bahaya yang serius yang mengancam peradaban bersumber dari kenyataan bahwa kita kehilangan Tuhan, kehilangan keyakinan dan kesadaran atas alam semesta yang tak terbatas, atau kehilangan otoritas moral yang lebih tinggi. Itu di satu sisi. Di sisi lain, pada saat bersamaan terlalu banyak konflik lokal yang berlangsung atas nama macam-macam agama. Tampaknya kita mengusir sisi baik dari agama lewat pintu, tetapi dia kembali lewat jendela dalam kondisi yang tak berbentuk lagi.

Ada dua tokoh Asia yang menarik dikomentari, yakni Liu Xiaobo dan Aung San Suu Kyi yang baru saja dilepaskan dari tahanan rumah.

Saya punya hak mencalonkan penerima Hadiah Nobel Perdamaian, pendapat saya selalu dibahas Komite Nobel. Saya sangat terharu usulan saya kedua tokoh ini ternyata diterima (sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian). Tentu saya bukan satu-satunya yang mencalonkan Suu Kyi dan Liu. Dua hari lalu saya berbicara lewat telepon dengan Suu Kyi karena kini dia lebih bebas.

Masih mendengarkan musik rock?

Saya bukan pakar musik, tetapi gemar tiap jenis musik yang bagus, entah itu klasik, rock, atau jazz.

Sudah baca otobiografi gitaris Rolling Stones, Keith Richards yang baru terbit berjudul Life?

Belum. Kalau tidak salah dia sudah kirim buku itu karena kami berteman baik. Namun, saya hanya punya sedikit waktu untuk membaca.

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Januari 2011

No comments: