TUHAN sungguh sedang tersenyum saat menciptakan Indonesia. Negeri indah yang subur dengan segala keanekaragaman budaya warisan nenek moyang. Kebinekaan yang mengajarkan kearifan lokal tentang hubungan antara manusia dan alam. Kearifan lokal, yang jauh dari keserakahan pribadi atau kelompok, mampu mempersatukan rakyat Indonesia untuk merdeka dari penjajahan.
Suasana panorama Teluk Aljui di Waigeo, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, yang cerah tersapu sinar matahari awal tahun 2011, Sabtu (1/1). Suasana ini terekam dari Pulau Waigeo, tempat merapat KRI Kalakay-818 dengan komandan Kapten Laut (P) Sunarya yang sedang berpatroli. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Akan tetapi, kini kita hanya bisa merasakan kehangatan persatuan seperti itu lagi di lokasi-lokasi bencana. Ribuan orang dari berbagai daerah langsung datang membantu korban bencana. Mereka berjuang mengevakuasi korban, menguburkan korban tewas, sampai mendistribusikan logistik untuk pengungsi tanpa pamrih. Kegembiraan mereka adalah ketika menyaksikan korban bencana tersenyum lagi. Tidak lebih.
Agen keluhuran
Mereka menjadi agen penebar keluhuran budi pekerti bangsa berpenduduk 237 juta jiwa ini. Negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas ke Pulau Rote ini ternyata masih memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat.
Indonesia bukanlah seperti debat kusir politisi yang kerap tidak menghasilkan satu solusi atas persoalan. Apalagi seperti panggung politik yang belakangan ini lebih gencar menyuarakan kepentingan kelompok daripada nasional.
Masyarakat pun tergiring hidup terkotak-kotak dalam sekat primordialisme dan agama. Mereka kian terjebak dalam demokrasi yang mengandalkan survei konsultan pencitraan.
Sebenarnya masih banyak rakyat di seluruh Indonesia yang menjalankan nilai-nilai luhur, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi. Masyarakat di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat; Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat; Wayame, Teluk Ambon, Ambon, Maluku; dan lereng Gunung Merapi di Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta masih merawat pohon rindang solidaritas sosial tersebut.
Seperti di Desa Ramiki, Wasior. Kakak beradik Agus Sawaki (30) dan Tera Sawaki (32) membangun jaringan pipa air bersih dari mata air sejauh 100 meter ke lokasi hunian sementara pengungsi di desa mereka. Upaya mereka tidak sia-sia. Magdalena Ramar (21) dan 100 keluarga pengungsi lain tak perlu lagi mengangkut air dari mata air.
”Kasihan. Kalau tidak dibantu, pengungsi harus mondar-mandir mengangkut air,” ujar Tera.
Responsif
Tanpa mengeluh tentang pemerintah, Tera dan Agus berusaha sendiri membangun jaringan pipa air bersih untuk pengungsi. Mereka juga tidak menuntut apa pun dari para pengungsi atas jerih payah mereka.
Coba lihat kesigapan Yanto, Kepala Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Yanto langsung bertindak cepat ketika ribuan warga Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dan warga Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, mengungsi dari awan panas Gunung Merapi, 5 November 2010. Desa Banyuroto bukanlah kawasan pengungsian. Namun, Yanto tanpa ragu langsung menyiapkan rumah penduduk, gedung sekolah, dan balaidesa untuk menampung para pengungsi yang kelelahan fisik dan mental.
Yanto langsung meminta setiap keluarga di Desa Banyuroto menyumbangkan lima bungkus nasi dengan lauk-pauk untuk konsumsi pengungsi. Tidak ada pertanyaan untuk siapa nasi bungkus diberikan atau kenapa setiap keluarga harus menyumbangkan lima bungkus.
Mereka melakukannya persis seperti masa perjuangan kemerdekaan puluhan tahun silam, saat semua orang berjuang demi Republik Indonesia. Bukan untuk suku, agama, maupun kelompok mereka. Warga Desa Banyuroto menjalaninya dengan sukacita. ”Menolong sesama adalah kewajiban kita semua,” ujar Yanto.
Dari lokasi bencana kita belajar, korban dan relawan sadar kekuatan mereka adalah bersatu. Saling bertentangan tanpa solusi hanya akan menambah beban mereka dan tidak menyelesaikan masalah. Ketegasan, transparansi, dan keikhlasan menjadi kunci utama untuk segera keluar dari situasi yang serba darurat di kawasan bencana.
Seperti halnya di Dusun Tumalei, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, yang termasuk wilayah terpencil di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Warga bergotong royong membangun permukiman baru di lahan seluas 7 hektar yang dihibahkan Kornelius Saogo (65), Christian Berisigep, Libertius Saogo, Robertinus Saogo, dan Mortius Saogo (almarhum), melalui ahli warisnya, Nurman Saogo, dengan sukarela.
Mereka tidak memedulikan pohon meranti putih, meranti merah, balam, pisang, kelapa, dan tanaman bernilai ekonomi lain ditebangi untuk relokasi penduduk. Kornelius mengatakan, dia telah merelakan tanah dan kebunnya untuk permukiman penduduk karena tak ingin tinggal sendiri. Kini, tiga rumah sudah berdiri dan menyusul empat rumah berikutnya sebelum semua 43 rumah yang direncanakan selesai tahun depan.
Mengeksploitasi
Keteguhan masyarakat menjalankan nilai keluhuran bangsa kadang kala terganggu godaan dan rayuan politisi yang pragmatis. Mereka memakai cara-cara instan untuk merengkuh dukungan, lalu meninggalkan rakyat setelah mendapatkan kedudukan.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengatakan, pada masa sekarang, rakyat Indonesia bahkan tak ubahnya seperti dijajah oleh bangsa sendiri. Hal ini ditandai dengan upaya berbagai pihak mengeksploitasi rakyat yang, antara lain, diwujudkan dalam praktik korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Syafii mengatakan, ini menjadi hal yang patut diwaspadai karena menjadi gejala awal kehancuran bangsa. ”Bangsa Indonesia dikhawatirkan akan meniru jejak sejarah VOC yang hancur pada 1799 karena digerogoti korupsi,” ujarnya.
Indonesia tumbuh bukan karena perjuangan satu kelompok ataupun golongan. Sudah semestinya kita memelihara kebinekaan yang menyatukan Indonesia tanpa kecuali. Selamat Tahun Baru 2011.
(HAM/BAY/EGI/INK/JOS)
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Januari 2011
No comments:
Post a Comment