-- Ilham Khoiri
DI tengah pasar yang masih lesu, perjalanan seni rupa tahun 2010 diwarnai oleh kian menguatnya eksplorasi media baru. Praktik seni berbasis teknologi digital menjanjikan harapan segar di tengah dominasi lukisan dan patung.
Seni media baru (new media art) berusaha mengolah ekspresi seni visual dengan dukungan teknologi digital. Berbagai terobosan teknologi canggih dipertemukan dengan kreativitas seni. Hasil akhirnya bisa berwujud video, video instalasi, fotografi, digital print, seni suara, animasi, web-art, ataupun seni interaktif lain.
Sejarah seni media baru di Indonesia mengacu pada perkembangan seni rupa di Barat. Salah satu rujukan utamanya adalah terobosan yang ditampilkan seniman asal Korea, Nam Jun Paik, di Amerika tahun 1960-an. Gairah membajak teknologi digital untuk kepentingan seni rupa itu menjalar pada seniman kontemporer di Asia Tenggara tahun 1980-an, seperti di Thailand dan Filipina.
Di Indonesia, seni jenis ini muncul secara jelas lewat karya-karya Krisna Murti. Pameran seni videonya di Galeri R-66 Bandung tahun 1993 menjadi penanda pertumbuhan seni media baru di Tanah Air. Secara sosiologis, langkah ini juga memperlihatkan perlawanan seniman untuk mengajukan alternatif terhadap hegemoni media televisi saat itu.
”Saya mengubah komunikasi ’one to many’ menjadi ’many to many.’ Budaya televisi disetir kekuatan politik ataupun korporasi dan publik diposisikan sebagai konsumen. Seniman mengambil posisi kritis terhadap gejala itu,” kata Krisna, akhir Desember 2010.
Semangat ini kian mengental setelah gerakan Reformasi 1998 membuka peta sosial-politik di negeri ini. Stasiun televisi swasta bermunculan. Pekerja televisi mengerjakan karya personal, sementara seniman mulai mencoba media audiovisual ini.
Saat bersamaan, tumbuh era baru media informasi lewat pencanggihan teknologi baru, seperti telepon genggam, komputer, internet, video, CCTV, atau GPS. Proses kreasi dan distribusi karya kian terbantu oleh media jejaring sosial, seumpama blog, web, e-mail, Facebook, atau Twitter. Dalam konteks seperti inilah, seni media baru memperoleh habitat yang kian nyaman beberapa tahun terakhir.
Penguatan itu juga terbaca sepanjang tahun 2010 lewat sejumlah pergelaran. Sebut saja, di antaranya, pameran Angki Purbandono dan Agan Harahap di Vivi Yip Art Room, Jakarta. Tintin Wulya tampil di Ark Gallery, sedangkan Prilla Tania di Mondecor Gallery, Jakarta.
Di Yogyakarta, Komunitas The House of Natural Fiber (HONF) menggelar Festival ”Cellsbutton#04”. Pameran bersama ”The Lost of The Real” tampil di Selasar Sunaryo, Bandung. Perupa Krisna Murti kembali berpameran tunggal ”Mediatopia” di Semarang Gallery. Akhir tahun ditutup dengan pameran 10 tahun Ruangrupa, ”Decompression#10”, di Galeri Nasional, Jakarta.
Di luar itu, sejumlah seniman tetap aktif berkarya secara individual atau berkelompok. Mereka itu, antara lain, adalah Yusuf Ismail, Anggun Priyambodo, Banung Grahita, Wimo Ambala Bayang, Deden Hendan Durahman, Paul Kadarisman, Aiko Urfia Rahmi, Jompet, Forum Lenteng, Ruang Mes 56, dan Common Room. Perlu dicatat, Tromarama tampil dengan karya media baru di Mori Art Museum di Tokyo, Jepang.
Harapan segar
Fenomena ini tentu mengembuskan harapan segar bagi perjalanan seni rupa di Indonesia. Geliat kreatif ini menjanjikan perluasan gagasan, media, dan penyajian seni rupa. Tak terpaku pada lukisan atau patung yang masih menjadi media arus utama di sini, praktik media baru membuka berbagai kemungkinan.
Kurator dan pengamat seni rupa dari Bandung, Agung Hujatnikajennong, menilai, para seniman muda media baru umumnya punya keyakinan pada kekuatan medium. Karya-karyanya punya bahasa tersendiri yang bersifat interaktif, linier, time based, dan ada upaya melakukan intervensi pada publik lebih luas.
Lewat jaringan internet, karyanya bisa menelusup ke segmen luas. Karya-karyanya berhasrat memberdayakan publik dengan menjadikan mereka bagian dari karya, bukan semata obyek atau penonton. ”Ini sumbangsih penting bagi penciptaan seni rupa,” katanya.
Seni media baru juga memunculkan harapan akan eksplorasi ekspresi seni yang lebih jauh, lebih personal, mendalam, dan lebih reflektif. Meski begitu, bahasanya juga tetap bisa fleksibel, diterima khalayak luas, bahkan mengglobal.
”Ini bagian dari perkembangan global,” kata Rifky Effendy, kurator dan pengamat seni rupa.
Belum optimal
Penguatan media baru ini belum diimbangi dengan pembangunan infrastruktur, baik oleh pemerintah maupun swasta. Sejauh ini, para seniman masih ber-jibaku secara mandiri atau dalam komunitas. Mereka mampu menembus kancah seni rupa internasional karena memang tekun membangun jaringan atau jalur alternatif sendiri.
Dari sisi karya, eksplorasi media baru di sini belum optimal. Bentuk penyajiannya masih didominasi video dan fotografi. Padahal, semestinya bisa lebih luas lagi. Masih ada kesan, sebagian karya seniman muda ini cenderung merayakan euforia media ketimbang serius mempertajam kualitas.
Kita juga cenderung tertinggal mengikuti temuan-temuan teknologi terbaru di dunia. Padahal, berbagai temuan itu potensial untuk dipadukan sebagai ekspresi seni, seperti robot, nano, bioteknologi, atau kinetik. ”Pengembangan ini butuh riset-riset interdisplin. Sayangnya, program ini butuh dana dan dukungan besar yang belum kita miliki,” kata Agung menambahkan.
Rifky Effendy menilai, pertumbuhan seni media baru juga belum ditopang wacana kuat. Berbagai produk teknologi baru terus menyerbu dengan cepat, sementara wacana yang mampu menjelaskan dan mengapresiasi temuan itu secara lebih pas masih lemah dan kerap telat.
Pada sisi lain, dalam beberapa hal, orientasi sebagian seniman muda dengan media baru juga masih sekadar coba-coba. ”Belum terlalu jelas ke mana arah seniman muda ini. Sebagian dari mereka terlalu asyik bermain dengan imajinasi, tanpa membangun kesadaran identitas, wacana, dan referensi seni yang kuat. Padahal, seperti berlangsung di Eropa, karya media baru ini bisa sangat kuat mendorong perubahan sosial-politik,” katanya.
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Januari 2011
No comments:
Post a Comment