-- Binhad Nurrohmat
AMATIRISME ritik seni dari khalayak awam yang kian subur konon lantaran hawa segar demokratisasi pembacaan, itu tampaknya lebih bertendensi merebut agenda politis ketimbang meraih agenda estetis. Demokratisasi merupakan ide politik, bukan? Amatirisme kritik seni semacam itu oleh Walter Benjamin disinyalir sebagai oknum peruntuh aura seni.
Amatirisme kritik seni membuat kritik seni menjelma bentangan spanduk propaganda atas karya seni sehingga potensi estetis karya seni tak lagi ambil bagian dalam artikulasi kritik seni. Potensi estetis karya seni tenggelam dalam lumpur orientasi politis amatirisme kritik seni.
Amatirisme kritik seni semacam itu tak disadari sepenuhnya oleh Damhuri Muhammad (Kompas, 2/1). Akibatnya, Damhuri menunjuk hidung elitisme kritikus seni yang tak memberi apresiasi layak terhadap kritik seni dari pembaca awam yang oleh Arif Bagus Prasetyo dianggap sebagai sekadar ”tukang joget” dan bukan ”penari” sebagaimana kritikus yang serius (Kompas, 9/1). Menggolongkan kritikus seni sebagai ”tukang joget” dan ”penari” mengandaikan distingsi profesionalisme dan standar disiplin tertentu. Namun, bukankah ”tukang joget” memang bukan ”penari” dan keduanya punya spirit, ukuran, dan tujuan berbeda?
Amatirisme kritik seni merupakan kudeta terhadap kritik seni, bukan demi meraih agenda estetis, melainkan untuk merebut agenda politis. Agenda estetis kritik seni itu sejalan misi esoteris kritik seni sebagaimana yang diungkai oleh Wicaksono Adi (Kompas, 16/1). Namun, Arif Bagus Prasetyo menyalahpahami kehendak Roland Barthes ketika mengabarkan ”kematian kritikus seni” di tengah arus amatirisme kritik seni itu. Sesungguhnya, kritikus seni tak binasa gara-gara serbuan amatirisme kritik seni. Kritikus seni terbunuh jika ia tak lagi menulis kritik seni atau ia membelot ke arah amatirisme.
Aksi makar
Aksi makar amatirisme kritik seni semacam itu membuat karya seni tak lagi menjadi ”subyek”. Dalam konteks karya sastra, kehendak Roland Barthes ”mematikan pengarang” semata demi menghidupkan teks menjadi ”dunia kata” dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang, kecuali ”jejak-jejaknya” (traces) belaka dalam istilah Derrida. Maka, dalam konteks kritik sastra, kritikus adalah yang menulis teks kritik sastra, bukan sekadar yang melakukan aksi oral atau omong-omong belaka, sebab tekslah yang menentukan siapa kritikus atau bukan.
”Kematian pengarang” setelah menenun teks atau mengguratkan tulisan (writing) akan melahirkan para pembaca yang merajut teks di atas teks atau menoreh tulisan di atas tulisan, dan bukannya menihilkan jejak-jejak pengarang sama sekali. Teks bisa atau mungkin niscaya mengkhianati maksud dan tujuan pengarangnya sendiri, berbelok, atau bercecabang tanpa hingga. Di sinilah ruang kerja pembacaan atau kritik: menemukan ketakterdugaan demi meraih makna lain atau memperkaya makna.
Kian malaskah kritikus seni? Kenyataannya, merajalelanya produk karya seni makin mengepung kritikus seni dan jemari mereka tak berdaya menjamahnya. Lantas, dalam situasi ketakterjamahan itu, merebaklah amatirisme kritik seni dari khalayak awam yang ambil bagian merambahi karya seni dan membuat kritik seni yang kerap dianggap sebagai kritik gadungan oleh kaum ahli dan akademisi yang sinis. Namun rupanya kritik seni kaum awam itu lebih populer dan didengar banyak orang ketimbang kritik seni dari kaum ahli dan akademisi seni.
Rasionalisasi, tafsir, komparasi, dan evaluasi merupakan unsur-unsur yang sering diselenggarakan dalam kerja kritik seni. Perangkat filsafat, teori, ilmu, dan apresiasi pribadi diperkenankan terlibat dalam kerja kritik seni. Akses pengetahuan yang kian terbuka dan dukungan teknologi komunikasi yang memungkinkan setiap orang bisa menjangkau khalayak luas membuat batas otoritas mencair dan bahkan roboh berkeping-keping. Perang komunikasi antar-otoritas pun tak terhindari di tengah meluasnya media komunikasi massa, termasuk dalam hal ini para pelaku kritik seni yang amatir atau non-amatir.
Apa makna positif dari kehadiran amatirisme kritik seni? Sebagai penyimpangan yang bermuatan politis, misalnya melulu mengibarkan isi atau muatan karya seni tanpa mengabarkan potensi estetiknya atau esoterisnya, bisa diapresiasi sebagai strategi komunikasi terhadap sisi eksoterik karya seni lantaran amatirisme kritik seni bergerak di ruang khalayak umum. Sisi esoteris karya seni yang diagung-agungkan kaum estetikus atau kritikus seni non-amatir tentu akan hilang daya komunikasi ketika nekat dihadirkan di ruang khalayak yang tidak khusus. Politik ruang semacam itu barangkali juga merupakan motif kehadiran amatirisme kritik seni yang tidak bermain di ruang mikro. Artinya, amatirisme kritik seni merupakan pilihan politik pemaknaan terhadap karya seni yang menyesuaikan dengan ruang komunikasinya yang umum.
Merosot
Problemnya, ruang khusus kritik seni saat ini kian merosot dan produk amatirisme kritik seni merajalela sebagai rujukan utama publik seni. Lantas, apa masalahnya? Saya kira, amatirisme kritik seni merayakan sejenis pendangkalan pemahaman terhadap eksistensi karya seni sebagai produk estetik. Memang, amatirisme kritik seni merangsang publik mengonsumsi dan merayakan karya seni, namun di lain sisi mengondisikan terbentuknya publik yang buta terhadap eksistensi karya seni sebagai karya estetis. Apa akibatnya? Tradisi estetik akan tak terkomunikasikan dan pada akhirnya bisa lenyap dari wilayah pengetahuan khalayak luas.
Masa depan eksistensi karya seni sebagai produk estetik akan ditentukan bukan hanya oleh seniman dan kritikus seni, tapi juga oleh khalayak seni. Realitas amatirisme kritik seni tak bisa dihindari di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan memang dibutuhkan oleh industri seni yang hendak menjangkau pasar seluas-luasnya.
Apa yang harus dilakukan? Kritikus seni yang serius tetaplah setia berjaga di wilayah esoteris karya seni dengan menegakkan komitmen estetis dan tak tergoda mengubah arahnya ke wilayah eksoteris dengan malih rupa sebagai pelaku amatirisme kritik seni. Hm, godaan itu menggiurkan....
Binhad Nurrohmat, penyair
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
2 comments:
Bos, judul esai ini "Kudeta Kritik Seni" sebagaimana di edisi cetaknya. Di edisi online, judul esai ini sama seperti judul cerpen yang dimuat pada edisi yang sama "Perempuan Tua dalam Kepala".
iya, betul. waktu itu lagi nggak nemu koranya. ya, terima kasih. langsung digenti deh.
Post a Comment