Friday, November 30, 2007

Budaya: Malaysia tidak Klaim 'Reog'

JAKARTA (Media): Pemerintah Malaysia melalui Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zaenal Abidin Mahamad Zain menyatakan pemerintah Malaysia tidak mengklaim kesenian reog sebagai kesenian tradisional Malaysia.

''Pemerintah Malaysia tidak mengklaim reog sebagai kesenian tradisional Malaysia. Isu ini membesar karena ada salah paham,'' kata Datuk Zaenal berbicara dengan menggunakan alat pengeras suara di depan ratusan pengunjuk rasa di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jakarta, kemarin.

Pernyataan itu untuk memperjelas kesalahpahaman berita yang menyebutkan Malaysia telah mengklaim reog sebagai kesenian asli Malaysia.

Atas dasar pemberitaan itu, sekitar 300 orang melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Kedubes Malaysia, Jakarta, kemarin siang. Demo tersebut dikawal ketat oleh polisi dan TNI setelah muncul kabar jumlah demonstran akan mencapai 2.500 orang.

Para demonstran datang dengan berjalan kaki dari arah Pasar Festival Kuningan sambil mengibarkan spanduk berisi kata-kata protes yang ditujukan kepada Malaysia. Para pengunjuk rasa juga membawa dan mendemonstrasikan 38 reog khas Ponorogo lengkap dengan alat musik.

Dubes Datuk Zaenal kemudian menerima tiga perwakilan demonstran untuk diajak dialog. Dalam dialog itu mereka menyodorkan sejumlah tuntutan yang harus disampaikan oleh Dubes Datuk Zaenal kepada pemerintah Malaysia. Datuk Zaenal pun bersedia menyampaikan tuntutan para demonstran kepada pemerintah Malaysia.

Sejumlah tuntutan itu, antara lain Malaysia tidak berhak mengklaim reog sebagai kesenian Malaysia. Malaysia harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kekeliruan yang terlanjur terjadi, dan meminta pemerintah Indonesia untuk mempertahankan seni budaya reog agar tidak diklaim bangsa asing. (CS/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 30 November 2007

Cagar Budaya Terancam, Apresiasi Masyarakat terhadap Benda Bersejarah Masih Rendah

Jakarta, Kompas - Kurangnya apresiasi terhadap benda cagar budaya menjadi salah satu faktor semakin tingginya ancaman, seperti pencurian, perusakan, dan pemalsuan terhadap benda cagar budaya. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan ekonomi masyarakat yang minim dan lemahnya hukum.

Arkeolog dari Universitas Indonesia, Prof Hariani Santiko, mengungkapkan, Kamis (29/11), masyarakat secara umum masih kurang mengerti dan menghargai arti penting dari benda-benda cagar budaya tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya sosialisasi terkait benda cagar budaya dan arti pentingnya.

Masyarakat sekitar juga dapat menjadi berjarak dengan situs atau benda cagar budaya tersebut karena perbedaan zaman dan kultur. Sebagai contoh, peninggalan baik berupa situs maupun cagar budaya di Jawa, misalnya berupa candi Hindu atau Buddha, dan sudah berusia ratusan tahun. Kondisi ini berbeda dengan kepercayaan dan kultur yang dipeluk masyarakat sekitar cagar budaya saat ini sehingga penghargaan terhadap benda cagar budaya itu pun mengalami pergeseran.

Untuk itu, perlu terus disosialisasikan bahwa peninggalan sejarah berupa situs dan benda cagar budaya merupakan bagian dari perjalanan sebuah masyarakat dan bangsa. "Situs dan benda cagar budaya merupakan jejak sehingga kita dapat belajar dari masa lalu," ujarnya. Cagar budaya sekaligus merupakan identifikasi sebuah bangsa. "Tentu kita tidak mau kehilangan jejak sejarah dan identitas kita karena hilangnya benda-benda cagar budaya," katanya.

Di sisi lain, kerap kali masyarakat di sekitar benda cagar budaya atau situs bersejarah, terutama di pedesaan terpencil, tingkat ekonominya kurang baik. Ketika ada pihak-pihak lain yang berburu benda-benda cagar budaya, masyarakat mudah tergoda.

"Para peminat benda cagar budaya dapat dengan mudah mengiming-imingi dengan uang dan berani membayar dengan harga mahal," ujar Hariani.

Penegakan hukum lemah


Hal serupa diungkapkan guru besar Arkeologi Universitas Indonesia, Mundarjito. Menurut dia, adanya penghargaan dan hukuman sangat berperan penting dalam menjaga benda cagar budaya. Penghargaan layak diberikan kepada mereka yang bisa menjaga benda cagar budaya. Sebaliknya, hukuman diberikan kepada pihak yang merusak, mencuri, atau menjual benda cagar budaya. "Namun, sampai saat ini penegakan hukum bagi yang merusak benda cagar budaya masih lemah," ujarnya.

Untuk mengurangi kemungkinan pencurian dan perdagangan benda-benda cagar budaya, lanjut Mundarjito, pemerintah perlu memikirkan kompensasi memadai bagi para penemu, pemilik, serta penjaga situs atau benda cagar budaya. Selain itu, perlu diawasi benar keluar masuknya atau pergerakan benda- benda cagar budaya.

Secara terpisah, Kepala Seksi Perlindungan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Saiful Mujahit mengatakan, hukuman terhadap pencuri benda cagar budaya sangat lemah. Tidak ada pasal khusus dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya untuk kasus pencurian.

Kasus pencurian benda cagar budaya diperlakukan sama dengan pencurian biasa sehingga hanya dikenai Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. "Kalau hanya dengan pasal tersebut, hukuman disamakan dengan pencurian biasa atau umum sehingga biasanya hanya dikenai hukuman penjara beberapa bulan. Jelas saja tidak ada efek jeranya," katanya.

Perlu revisi

Padahal, benda cagar budaya tidak hanya dapat dinilai fisik bendanya saja, tetapi terdapat nilai estetis dan lebih penting lagi nilai sejarahnya. Oleh karena itu, dirasa perlu adanya revisi terhadap Undang-undang Cagar Budaya tersebut. Saat ini, draf revisi Undang-undang Cagar Budaya tersebut masih digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat secara terpisah mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan imbauan kepada pemerintah daerah agar menginventarisasi aset-aset budaya yang terdapat di museum.

"Inventarisasi itu untuk mencegah agar jangan sampai barang-barang yang ada di museum itu tidak terdata," ujarnya.

Imbauan untuk inventarisasi, lanjut Hari, untuk mencegah terulangnya kembali kasus pencurian di museum. "Namun, untuk pelaksanaannya adalah wewenang pemerintah daerah," katanya.

Menurut Hari, pengamanan awal dari barang-barang yang ada di museum adalah dengan inventarisasi. "Jika pendokumentasiannya baik, barang-barang di museum mudah teridentifikasi," ujarnya.

Pengamanan dokumen yang mencatat aset-aset museum itu, lanjut Hari Untoro, juga sama pentingnya dengan penjagaan barang-barang yang ada di museum. "Kalau dokumennya terjaga dengan baik, apalagi barangnya," tambah Hari.

Selain itu, Hari mengharapkan adanya komitmen dari para pegawai museum untuk turut menjaga barang-barang peninggalan budaya. (INE/A02/A06)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 November 2007

Bahasa: Dari Mitos

NARSIS banget lo! Ini celetukan seorang remaja kepada temannya yang suka memuji diri sendiri. Narsis sebetulnya penggalan dari kata sifat narsisitis atau kata benda narsisis. Arti kata itu ialah sifat atau seseorang yang senang memuji diri sendiri secara berlebihan, teristimewa pada mulanya dalam hal fisik.

Narsisitis atau narsisis mengacu kepada nama seorang tokoh mitologi Yunani, Narsisus, pemuda yang sangat tampan, anak Dewa Sungai Cephissus dan Peri Liriope. Banyak gadis jatuh hati kepadanya, di antaranya Peri Ekho. Karena pernah dikutuk Dewi Hera, Ekho tak dapat berkata-kata kecuali mengulang kata terakhir yang diucapkan pihak lain sehingga ia tidak dapat menyatakan cintanya kepada Narsisus.

Suatu hari Narsisus tersesat di hutan. Ia pun berteriak, "Adakah orang di sini?" Dengan girang Ekho berseru menjawab mengulang kata terakhir yang diteriakkan Narsisus, "Sini, sini, sini!" Kemudian Narsisus berseru, "Ke marilah!" Ekho dengan sukacita kembali membalas mengulang seruan terakhir Narsisus, "Marilah, marilah, marilah!" sambil merentangkan lengan menyongsong Narsisus. Malang bagi Ekho, Narsisus menolaknya. Karena malu dan terhina, Ekho yang cintanya bertepuk sebelah tangan pun lari bersembunyi ke dalam hutan. Akhirnya kesedihan mahadahsyat merenggut jasad Ekho dan yang tertinggal: hanya suaranya.

Dewi Balas Dendam Nemesis yang kecewa dengan keangkuhan Narsisus berniat memberinya pelajaran dan hukuman. Ia membuat Narsisus menjadi terkagum-kagum pada ketampanannya sendiri saban sang pemuda memandang pantulan wajahnya di permukaan air kolam atau sungai yang bening. Suatu hari Narsisus yang membungkuk di tepi Sungai Styx seraya menikmati bayangan dirinya sendiri tergoda menggapai ke bawah. Ia terjatuh dan tewas tenggelam. Dewa-dewi lain yang akhirnya menemukan mayat ganteng Narsisus sepakat mengubahnya menjadi bunga.

Demikianlah kisah etimologinya sehingga kini kata narsisis sebagai kata benda dipakai untuk menyebut orang yang terlalu kagum, bangga, dan memuja ketampanan atau kecantikan diri sendiri; sedangkan sebagai kata sifat dipergunakan kata narsisitis. Bentuk narsis sebetulnya tidak baku, tetapi apabila selama ini kita dapat menerima kata-kata yang dipenggal-penggal seperti: demo (untuk demonstrasi), indi (untuk independen), intens (untuk intensif), intro (untuk introduksi), dan lain-lain, kata narsis mungkin saja bakal diterima juga.

Sekarang kita tahu bahwa ekho ' gaung' berasal dari nama Peri Ekho dalam mitologi Yunani yang dikutuk tak bisa berbicara kecuali mengulang kata terakhir ucapan pihak lain. Dan penggemar tanaman tahu bahwa bunga yang tergolong jenis narsisus, seperti dafodil, jonquil, atau lili-air biasanya tumbuh di tepi sungai atau kolam berair jernih.

Mitologi Yunani pun menyumbang kata-kata lain kepada bahasa dunia, umpamanya khaos, yang diambil dari nama Dewa Khaos. Waktu dunia belum terbentuk dan masih berupa segumpal kekacauan, saat zat padat, cair, dan gas belum terpisahkan, memerintahlah Dewa Khaos dan Dewi Noks. Khaos digambarkan berupa amburadul dan Noks berwajah gelap-gulita. Pokoknya penampilan keduanya luar biasa "kacau". Maka, kata khaos kemudian dipakai untuk melukiskan suasana kacau-balau, rusuh, dan panik. Untuk memahami kata-kata, ternyata perlulah kita belajar tentang mitos-mitos.

LIE CHARLIE, Sarjana Tata Bahasa Indonesia

Sumber: Kompas, Jumat, 30 November 2007

Thursday, November 29, 2007

Pidato Kebudayaan 2007: Ajakan Mengembangkan Budaya Santun

BANGSA Indonesia tengah dilanda krisis dari berbagai bidang. Mulai dari ekonomi, politik, hukum, hingga budaya. Pada saat yang sama, manusia Indonesia justru saling bertengkar dan saling cakar sesama. Kurusuhan pun terjadi di mana-mana. Padahal tidak sedikit negeri ini melahirkan orang terdidik.

Menyadari bahaya besar itu, bangsa Indonesia harus kembali mengembangkan nilai-nilai luhur dan merawat hati nurani serta akal budi untuk menata masa depan yang lebih indah. Hanya dengan akal budi itu, bangsa Indonesia dapat memuliakan manusia dan kemanusiaan. Persaudaraan kemanusiaan perlu semakin dikembangkan, karena sesama manusia saling membutuhkan sehingga perlu saling menghargai dan saling menyantuni.

Demikian kutipan Pidato Kebudayaan yang dibacakan Kiai D Zawawi Imron di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, TIM, Jakarta, Rabu (28/11) malam. Pidato Kebudayaan tersebut disampaikan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Pusat Kesenian Jakarta, TIM yang tahun ini mengangkat tema "Spiritualime dan Kebebasan Berkesenian".

Dikatakan, akhir-akhir ini, Indonesia telah mengalami proses pendangkalan spiritual dan moral, termasuk kehidupan beragama. Penghayatan agama jika tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai sujud jiwa kepada Sang Pencipta dan upaya membersihkan hati, semarak kegiatan agama belum menyentuh esensi agama. Namun yang terjadi adalah pendangkalan rohani.

Proses pendangkalan rohani pada akhirnya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang rohaninya kering kerontang. Menyadari pendangkalan itu sebagai bahaya, barangkali sudah saatnya, bangsa Indonesia mengangkat kembali nilai-nilai luhur.

Dengan penghayatan rohani, manusia dapat menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita. Betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain. Maka sangat sehat, jika ada pendapat yang menyebutkan setiap manusia beriman itu bersaudara.

Berbuat sesuatu yang menyenangkan orang lain adalah tindakan santun yang esensinya adalah kepahlawanan. Tidak mungkin membangun kehidupan yang tenteram dengan saling mencurigai-saling fitnah serta kebuasan seperti dalam kehidupan binatang.

Kehidupan Seniman

Di sisi lain, pidato Zawawi Imron juga menyinggung kehidupan seniman. Dikatakan, kefasihan estetik adalah hasil dari proses kreatif para seniman untuk mengekspresikan diri dalam karya-karya yang sesuai dengan bakat-bakat pribadinya.

Proses oleh pikir dan rasa seniman dalam membawa suara kehidupan adalah penghormatan dan rasa syukur sang seniman atas anugerah Tuhan. Disadari atau tidak, proses kreatif adalah langkah yang ditempuh untuk menyampaikan rasa syukur.

Namun ketika karya seni itu berhadapan dengan masyarakat, sebuah karya ladang disalahpahami sehingga berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, bahkan pemasungan. Sebuah hasil kreatif yang dipersembahkan kepada masyarakat dan kemanusiaan ternyata harus dikuburkan. Namun karya seni sebagai suara kebenaran estetik dan sebagai suara kemanusiaan sulit untuk dikubur.

Ada juga kabar karya sastra yang dilarang namun justru lebih banyak dibaca orang dengan digandakan dengan memakai fotokopi. Sebuah karya sastra yang dilarang semakin menarik dan menggoda untuk dibaca. Berbeda dengan lukisan dan patung yang kalau dibakar akan habis riwayatnya. Tetapi bagaimanapun sang seniman akan merasakan kepedihan.

Oelh karena itu, kebebasan dan pemberian ruang yang luas kepada karya-karya kreatif adalah penghargaan kepada kemanusiaan. Dalam iklim berkesenian yang sehat, biarlah sang seniman itu sendiri melakukan pencekalan bagi dirinya. Dia sendiri yang tahu untuk berbuat dan tidak berbuat. Kearifan kemanusiaan serta kedekatan kalbu seorang seniman dengan Tuhan yang berupa kecerdasan spiritual, akan melahirkan karya-karya yang bukan hanya menyenangkan tetapi mencerdaskan dan mencerahkan.

Lebih lanjut dikatakan, kemanusiaan akan terasa indah jika dalam merumuskan tidak selalu dengan kata-kata. Perbuatan-perbuatan santun yang membuat diri dan orang lain merasa enak dan nyaman, meskipun itu dilakukan oleh seorang bisu, akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis 29 November 2007

Museum Radya Pustaka: Duka Nestapa Sastra dan Budaya

SPANDUK bertuliskan "Duka Nestapa Sastra Pustaka" terpasang begitu saja di salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi "police line" berwarna kuning. Polisi yang berjaga pun tidak tahu siapa yang memasangnya, yang jelas spanduk itu sudah ada sejak Sabtu (24/11).

Pemasangnya barangkali geram, sekaligus sedih akan hilangnya lima arca yakni arca Agastya (Siwa Maha Guru), Siwa Mahadewa, Mahakala dan dua arca Durga Mahesasuramardhini peninggalan sekitar abad IV-X masehi. Sedangkan, arca Dhyani Budha, arca Sarasvati, dan arca Bodhisatva Avalokitesvara sudah hilang di tahun 2000. Selain arca, museum itu juga kehilangan nampan besar dari keramik, genta atau lampu gantung dari perunggu, dan tatakan buah terbuat dari kristal hadiah Napoleon Bonaparte untuk Paku Buwono IV.

Museum Radya Pustaka didirikan Patih Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe Boewono IX. Museum ini banyak menyimpan riwayat RTH Djojohadiningrat II. Isi museum adalah barang-barang dari Keraton Kasunanan Surakarta. Kini, museum hanya menyimpan koleksi yang sudah tidak asli lagi. Maka, pantaslah ketika misteri ini tersibak medio November lalu, fokus perhatian seluruh masyarakat tertuju pada museum yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Solo itu.

Museum tertua di Indonesia itu memiliki koleksi sekitar 10.000, mulai dari naskah kuno hingga patung dan keramik serta benda-benda lain. Wajar saja jika warga yang merasa turut memiliki benda-benda itu turut "menjerit". Para pakar museum dan ahli purbakala pun terbelalak. Kalangan pers menjadikan berita kehilangan itu sebagai berita utama.

Kondisi Museum Radya Pustaka memang memprihatinkan. Museum tersebut sebenarnya sudah tidak kuat menampung semua koleksi, sehingga puluhan arca ditempatkan di luar gedung. Ribuan naskah Nusantara yang disimpan di dalam lemari kaca ditempatkan di ruangan tanpa AC. Petugas hanya mengandalkan silica gel sebagai pencegah kelembaban udara. Menyedihkan ! Naskah-naskah itu sekarang tidak pernah lagi dirawat karena keterbatasan dana.

Koleksi

Salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi "police line" berwarna kuning. (foto-foto: sp/fuska sani evani)

Koleksi museum yang banyak diminati pengunjung adalah koleksi bahan pustaka. Setiap bulan, rata-rata 500 pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari dalam negeri dan asing memanfaatkan naskah kuno itu untuk berbagai kepentingan riset. Manuskrip koleksi museum hampir seluruhnya bertuliskan Jawa carik.

Namun sebagian berbahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Naskah-naskah itu umumnya berisi ungkapan falsafah, tuntunan hidup, kisah raja, sejarah, dan karya sastra. Sekitar 750 eksemplar naskah ditulis dengan huruf Jawa tulisan tangan, 1.750 eksemplar naskah berhuruf Jawa cetak (Jawa cap), dan sisanya buku-buku berbahasa asing dan berbahasa Indonesia.

Di antara naskah kuno itu, tersimpan asli tulisan tangan karya pujangga RM Ngabehi Ronggowarsito, termasuk Serat Kalatida. Serat Bauwarno karangan pujangga Padmosusastro, murid Ronggowarsito. terbitan tahun 1828 yang merupakan ensiklopedi Jawa yang memuat nama-nama raja di Jawa sejak pemerintahan Majapahit hingga Paku Buwono X. Naskah tersebut juga memuat cerita berbagai kebudayaan Jawa di masanya, seperti kisah adu kerbau dengan harimau pada masa raja-raja yang hidup di tahun 1800.

Sesuai dengan umurnya yang lebih dari 113 tahun, dinding dan atap museum mulai menjadi sarang laba-laba, berdebu dan lembab. Kepala Museum Radya Pustaka KRH Darmodipura yang kini meringkuk di tahanan Poltabes Solo pernah menjelaskan, sebagian naskah koleksi museum yang didirikan KRA Sosrodiningrat IV pada 28 Oktober 1890 itu telah didokumentasikan dalam bentuk film mikro, namun benda itu kini juga terancam rusak. Koleksi wayang kulit, topeng, gamelan, serta koleksi lainnya kini terancam akibat terbatasnya biaya perawatan benda-benda tersebut.

Kepala Museum


Selain itu, jumlah pegawai Radya Pustaka yang hanya tujuh orang tidak mampu merawat sekian banyak naskah sastra Nusantara, puluhan arca, serta berbagai benda peninggalan bersejarah lainnya. Kini, museum yang penuh dengan peta sejarah bangsa Indonesia itu ternoda oleh ulah pengelolanya sendiri. KRH Darmodipura yang dikenal dengan Mbah Hadi, harus menghadapi proses pengadilan. Pencurian dan pemalsuan benda-benda bernilai sejarah di tempat itu diduga telah mendapat restunya.

Bahkan tiga tahun lalu, Mbah Hadi sengaja memecat Andrea Amborowatiningsih (24) pegawai honorer di museum itu, yang saat ini masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Setelah keluar dari pekerjaannya, Ambar lantas menyatakan kecurigaannya itu pada Dr Djoko Dwiyanto, dosennya di UGM. Ambar menceritakan, suatu ketika dia mendapati piring keramik Tiongkok berwarna putih kembang biru tua yang seharusnya digantung di tembok museum, tetapi hilang pada tanggal 16 Agustus 2005. Ambar sempat mempertanyakan hal itu pada Mbah Hadi.

Menurut Mbah Hadi, piring itu tidak hilang, dan benar besoknya piring itu sudah ada di tembok. Namun, Ambar tidak bisa dibohongi. Piring itu berbeda dengan piring aslinya. Karena penasaran, dia lantas mencari tahu keaslian benda-benda lainnya. Akhirnya Ambar memastikan bahwa beberapa benda koleksi museum yang hilang diganti dengan benda serupa alias dipalsukan. Keingintahuan itu membuat Ambar dipecat pada akhir Mei 2006. Tetapi, melalui Djoko Dwiyanto, informasi kejadian di museum itu diteruskan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Akhirnya kasus itu dilaporkan ke polisi.

KRH Darmodipuro beberapa kali sempat menyangkal pemalsuan tersebut. Namun dari tersangka lain, Heru Suryanto, Mbah Hadi akhirnya dijerat juga. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Solo Ajun Komisaris Syarif Rahman menjelaskan tersangka itu dijerat dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya jo Pasal 363 KUHP soal pencurian dengan pemberatan. [SP/Fuska Sani Evani]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 November 2007

Pencurian Artefak Marak: Sedikitnya 78 Benda Cagar Budaya Hilang dalam 12 Tahun

Jakarta, Kompas - Pencurian artefak yang tergolong benda cagar budaya semakin marak dalam 12 tahun terakhir. Sedikitnya 78 benda cagar budaya yang dilindungi karena bernilai sejarah hilang pada kurun waktu 1995-2007. Khusus tahun ini, hingga Mei tercatat 11 benda cagar budaya yang hilang.

Kepala Seksi Penyelamatan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Sri Patmiarsi Ratnaningtyas mengungkapkan, Rabu (28/11), data itu belum seluruhnya dan sekadar gambaran. Hal itu mengingat belum semua kantor Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala memasukkan data secara rutin sehingga jumlah kasus diperkirakan lebih banyak lagi.

Benda cagar budaya yang dicuri umumnya berupa arca batu. Lainnya berupa batu candi, prasasti, makara, relief raksasa, umpak, antefix, gentha, gentong, yoni, monolit, menhir, sampai logo lambang Kraton Surakarta. Dari kasus-kasus tercatat tersebut, yang kemudian terungkap dan pelakunya ditangkap hanya segelintir.

Benda cagar budaya itu dicuri dari situs cagar budaya atau museum. Sejumlah gentha dicuri dari Museum Trowulan, Mojokerto, tahun 2000 dan pernah terjadi pencurian sejumlah arca di Museum Daerah Kabupaten Blitar tahun 2005.

Kepala Seksi Perlindungan Ditjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar Saiful Mujahit menambahkan, terdapat sejumlah faktor terjadinya pencurian terhadap benda cagar budaya. Salah satunya, masyarakat mendapatkan informasi tentang nilai ekonomis benda cagar budaya. Di sisi lain, masyarakat di sekitar situs bersejarah di pedesaan tingkat ekonominya kurang baik.

Keris disita


Secara terpisah, di Tangerang, Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Rabu siang, menyita 17 keris dan tombak tanpa gagang serta empat sarung keris yang dikirim lewat paket pos. Benda- benda itu dikirim dari Florida, Amerika Serikat, tujuan Pamulang, Kabupaten Tangerang. "Kami masih meneliti barang-barang ini apakah termasuk yang dilindungi undang-undang," kata Penjabat Sementara Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Bandara Anton Mawardi.

Hashim tak tahu


Sementara itu, dari Solo, Jawa Tengah, dilaporkan, meski menjadi donatur tetap Museum Radya Pustaka Solo, pengusaha terkemuka Hashim Djojohadikusum tidak tahu jika lima arca batu yang dibelinya dari Hugo Kreijger adalah koleksi Museum Radya Pustaka. Saat melakukan transaksi jual beli, Hugo tidak menyebut koleksi Museum Radya Pustaka dan hanya memberikan sertifikat kelima arca yang dilengkapi tanda tangan Paku Buwono XIII Hangabehi.

"Karena dalam surat-surat disebutkan kepemilikannya adalah pribadi Paku Buwono XIII Hangabehi, Pak Hashim sama sekali tidak tahu kalau itu dari museum," ujar Hermawan Pamungkas, kuasa hukum Hashim Djojohadikusumo.

Kehadiran Hermawan di Solo antara lain untuk mendampingi FX Triman (pensiunan TNI yang bekerja di rumah Hashim yang menerima lima arca), yang diperiksa sebagai saksi di Kepolisian Kota Besar Solo. (INE/TRI/SON/A-02)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 November 2007

HAKI: RI-Malaysia Sepakat Pilah Produk Budaya

JAKARTA (Media): Pemerintah Indonesia dan Malaysia membentuk tim pakar untuk memilah produk budaya--termasuk kesenian tradisional--negara masing-masing sehingga tidak terjadi saling klaim.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengungkapkan hal itu di Jakarta, kemarin. Tim tersebut akan mengkaji dan memilah mana kesenian tradisional milik Indonesia dan mana milik Malaysia. "Jadi, kelak akan diketahui mana kesenian atau produk budaya lain yang punya Indonesia, mana yang punya Malaysia," katanya.

Menbudpar mengungkapkan tim pakar tersebut juga akan melakukan kajian terhadap produk budaya yang selama ini masuk kategori grey area (wilayah abu-abu). Pemisahan kepemilikan produk budaya yang masuk wilayah abu-abu itu diakui sulit mengingat banyak kesamaan.

Indonesia dan Malaysia memang berasal dari satu rumpun sehingga banyak kesamaan dalam hal kesenian dan budayanya. Sementara itu, kekayaan karya seni dan budaya di Indonesia dan Malaysia itu cukup banyak dan berkembang sejak masa lampau, seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak dahulu berkembang di kedua negara, tetapi tidak jelas penggubahnya.

"Tim pakar akan mengkaji hal itu. Diharapkan, ke depan tidak akan ada lagi rebutan klaim seperti saat ini. Saya akui ini tidak mudah. Namun, ini memang harus segara dilakukan," tandasnya.

Menbudpar mengatakan pemerintah masih mengecek kebenarannya. Namun, sejauh pengetahuannya, reog belum dipatenkan Malaysia. Demikian juga alat musik angklung asal Jawa Barat yang diklaim Malaysia. "Pemerintah sudah memberikan laporan ke UNICEF, saat ini masih diteliti turunan sejarahnya," kata Menbudpar. (Eri/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 29 November 2007

Media: Membangun Portal "Web" Murah

-- Amir Sodikin

Seberapa murah membangun portal web kualitas perusahaan? Berapa pun biaya yang dimiliki, asal sudah memiliki nama domain seperti www.namakamu.com, sebenarnya sudah bisa membangun portal web. Harga domain dot com sekarang berkisar Rp 80.000-Rp 100.000 per tahun. Sangat terjangkau.

Untuk hosting (ruang file di hardisk server), server lokal Indonesia memang mahal. Namun, jangan khawatir, di tengah ekspansi perusahaan hosting Amerika Serikat, hosting makin murah dan bahkan ada yang gratis.

Dengan demikian, hanya dengan biaya mulai Rp 100.000 per tahun, plus semangat belajar membangun portal sendiri, sudah bisa memiliki portal web profesional yang citranya berbeda dengan website a la weblog atau Multiply yang gratisan itu.

Dalam hal fungsi dan kemampuannya, software portal web berbeda dengan content management system (CMS). Namun, di Indonesia kedua istilah ini dianggap sama karena akhirnya merujuk website interaktif dan memiliki alur kerja otomatis.

Membuat portal web berarti memasang software CMS di dalam website kita. Kali ini software CMS dibatasi pada software gratis dari open source yang berbasis bahasa pemrograman PHP dan database MySQL.

"Software" gratis


Sepuluh tahun lalu banyak proposal bernilai miliaran rupiah, baik di instansi swasta maupun pemerintah, yang ingin membangun portal web. Dikiranya, membangun portal web harus membangun server sendiri, membuat jaringan online sendiri, dan merekrut barisan programmer serta desainer sendiri.

Sekarang, situasi seperti itu sudah berlalu. Teknologi server yang canggih dan murah serta makin kuatnya software open source memberi kontribusi utama. Dengan adanya open source gratis, membangun website tak harus memulai membuat software dari nol.

"Website pakai software open source? Bagaimana dengan security-nya? Enggak keren ah pake gratisan. Bagaimana kalau nanti ada masalah?" masih banyak deretan pertanyaan yang menyangsikan open source.

Jangan khawatir, puluhan tahun open source telah berhasil merekrut "pendekar-pendekar" yang pakar di bidang masing-masing. Mereka bekerja tanpa dibayar. Jika ada masalah terhadap software itu, para pendukung open source seluruh dunia bahu-membahu menangani.

Tradisi open source puluhan tahun telah menempa para pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa itu untuk berkompetisi meningkatkan keamanan. Software open source yang sudah establish secara tradisi juga memiliki pengalaman panjang untuk diserang para cracker.

Karena itu, memilih open source yang establish dalam konteks ini lebih aman dan murah meriah dibandingkan dengan harus membangun program dari nol.

Karena berbiaya rendah, untuk membangun portal web biasanya hanya diputuskan dalam hitungan menit, bukan dalam hitungan hari, bulan, apalagi tahun. Para pembuat portal web berlomba-lomba untuk merebut traffict pengunjung.

Karena itu, jangan heran kalau di Indonesia saja hampir semua tema sudah digarap. Tiap hari bisa lahir puluhan portal web baru yang berkompetisi.

Dengan CMS, pekerjaan mengirim berita, foto, video, pengumuman, iklan, dan materi lain akan terstruktur dan terotomatisasi oleh sistem. Sistem keanggotaan, sistem pencarian database internal, statistik pengunjung, sistem survei, rating tulisan, blog, chat, radio online, sistem komentar tulisan, forum, galeri foto, dan masih banyak yang semuanya terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri.

Ciri CMS terletak pada struktur kerja yang terotomatisasi. Jika web Anda sampai sekarang masih mengirim foto secara manual, misalnya fullscreen dan foto kecil atau thumbnail dibuat manual, berarti software itu belum memenuhi kaidah CMS.

CMS sejuta umat


The Packt Open Source CMS Award 2007 (packtpub.com) akhir Oktober lalu telah menobatkan Joomla (jomla.org) sebagai Best PHP Open Source CMS, disusul Drupal (drupal.org), dan e107 (e107.org).

Joomla tergeser posisinya oleh Drupal dalam kategori juara umum atau Overall Open Source CMS. Drupal urutan pertama, disusul Joomla, dan CMS Made Simple (cmsmadesimple.org).

Urutan Most Promising Open Source CMS adalah MODx (modxcms.com), TYPOlight (typolight.org), dan dotCMS (dotcms. org). Best Other Open Source CMS adalah mojoPortal (mojoportal.com), Plone (plone.org), dan Silva (infrae.com/products/silva). Best Open Source Social Networking CMS adalah WordPress (wordpress.org), Drupal, dan Elgg (elgg.org).

Drupal dikenal sebagai CMS "clean" desain dan powerfull untuk semua jenis web. Walau juara umum dipegang Drupal, tak terbantahkan bahwa Joomla masih menjadi "CMS sejuta umat", paling banyak digunakan karena mudah dioperasikan.

Joomla memang banyak mencuri perhatian, tetapi tak semua menganggap Joomla pilihan terbaik untuk semua kebutuhan. Masih banyak CMS gratis yang cocok untuk kebutuhan yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, memilih CMS itu seperti memilih "ideologi". Karena itu, sebelum memilih cobalah dulu fasilitasnya.

Sumber: Kompas, Kamis, 29 November 2007

Wednesday, November 28, 2007

Pementasan Teater Tujuan: Sentuhan Melayu dalam Naskah Chekov

ANTON P Chekov, sastrawan terkenal asal Rusia, menulis kisah penagih hutang sebagai sebuah komedi satir. Berbekal terjemahan Kasim A, sutradara Siway Budha mengemasnya dengan sentuhan Melayu.

"Penagih Hutang" (kiri) membujuk seorang janda agar membayar utang-utang suaminya pada pertunjukan teater di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (27/11). Pertunjukan teater bertajuk "Penagih Utang" karya Anton P Chekov ditampilkan oleh Komunitas Kaki 5 ini menceritakan sifat dan karakteristik manusia dalam menghadapi cinta. (Foto-foto:SP/Ignatius Liliek)

Kisah dari Anton Chekov itu ditampilkan oleh Komunitas Kaki 5 di Teater Sanggar Baru Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Selasa (27/11) malam, dengan judul "Penagih Hutang".

Kisah Penagih Hutang yang dibuat oleh Anton Chekov sebenarnya adalah kisah komedi satir yang ingin menonjolkan sisi kemanusiaan seseorang. Bahkan oleh sosok keras yang melakoni pekerjaan menagih utang.

Perasaan cinta dapat membuat seseorang menjadi radikal, melankolis, lalu radikal, dan menjadi melankolis lagi. Perasaan ini tidak mengenal apa, siapa, kapan dan di mana. Bisa hadir dengan sendirinya.

Dalam terjemahan Kasim, dikisahkan seorang wanita yang baru saja berstatus janda. Di saat masih berduka, wanita itu kedatangan tamu. Sang tamu ternyata si Penagih Hutang.

Wanita itu bingung, karena selama ini ia tidak pernah tahu suaminya memiliki utang yang sangat besar. Selain itu, ia pun tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar utang mendiang suaminya. Si Penagih Hutang pun tidak mau tahu kondisi si janda itu. Ia bersikeras dengan maksudnya, hingga ia tidak mau keluar dari rumah itu.

Penagih Hutang bermalam di rumah si janda. Lambat laun pun Penagih Hutang yang awalnya keras itu menjadi lunak karena ternyata ia jatuh hati terhadap wanita yang baru ditinggal suaminya itu. Di antara kegalauan itu, si janda ternyata juga memiliki perasaan yang sama.

Lakon yang ditulis Chekov ini merupakan cerita sederhana yang kuat dan durasi satu jam Di tangan sutradara Siway Budha, karya Chekov ini diberikan gaya ala Indonesia. seperti misalnya sosok Penagih Hutang disimbolkan dengan sosok laki-laki yang berlogat Sumatera Utara.

Settingan panggung pun dikemas dengan latar ruang tamu dan kamar tidur gaya Indonesia. Selain itu, juga hadir sosok pembantu rumah tangga yang umum ada di keluarga-keluarga di kota besar Indonesia.


Mengeksplorasi


Siway menyederhanakan cerita itu dengan hanya memainkan tiga karakter dan setting panggung bagian dalam sebuah rumah. Cerita yang yang dikemas pun menyuguhkan celetukan-celetukan pancingan humor. Siway mengeksplorasi karakter laki-laki dari Sumatera Utara itu dengan baik.

"Awalnya kita pertimbangkan karakter dari Batak atau Ambon, tetapi akhirnya kita lebih memilih karakter dari Batak. Dengan beberapa pertimbangan karakter dari Batak ini lebih masuk untuk dialog-dialog dalam cerita," ujar Siway.

Seusai pertunjukan Penagih Hutang, dilakukan diskusi antara sutradara, para pemain dan penonton. Diskusi ini lebih memberikan masukan, karena rencananya pementasan ini akan diikutsertakan dalam Festival Teater Jakarta bulan depan.

Ucok Siregar, pengamat teater, dalam diskusi itu menyebutkan pengambilan karakter Batak memang cocok dan bisa masuk dalam kisah Chekov. Sosok Batak yang keras memang tiba-tiba bisa melunak saat berhadapan dengan wanita yang dikaguminya. Tapi dalam pementasan Komunitas Kaki 5, Ucok menilai ada logika cerita yang kurang kuat dalam sehingga alur cerita jatuh hati itu kurang kuat.

"Simbol-simbol jatuh hati itu harus dipertegas, sehingga penonton juga bisa ikut merasakan karakter laki-laki itu sedang jatuh hati," sebut Ucok.

Namun begitu para pengamat teater lain yang ikut menyaksikan pementasan Penagih Hutang dari Komunitas Kaki 5 menyebutkan lakon yang ditampilkan menarik dan cukup bagus. Siway dianggap berhasil mengembangkan karakter-karakter dari Chekov dengan sentuhan Indonesia. [SP/Kurniadi]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 November 2007

Kabaret Captain Does: "Missing Link" Kebudayaan

-- Ardus M Sawega

SULI, gadis centil berbaju merah itu, mengaku kepada ibunya bahwa dia baru saja ke Silir. Untuk mencari pengalaman, katanya. "Silir" yang dibilang Suli adalah lokalisasi pekerja seks komersial di Kota Solo. Kontan ibunya mencak-mencak.

"Eh, alah. Tak kandani, ya, Nduk, dadi prawan ki aja sembarangan. Isa-isa kowe mulih nggembol semangka neng ngarep (Kunasihati, ya, jadi gadis jangan bertingkah sembarangan. Bisa-bisa nanti kamu pulang menggembol semangka di depan)," kata si ibu sambil membentuk bulatan di depan perut. Penonton pun tergelak.

Menyebut "Silir" dan "Pasar Klewer" sekadar berasosiasi dengan penonton setempat. Itu kiat kelompok Kabaret Captain Does dari Suriname saat berpentas di sejumlah kota—Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandar Lampung—dalam rangkaian pertunjukan kelilingnya di Indonesia. Ketika tampil di Gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo, Senin (19/11) malam, mereka hanya bermain sekitar 45 menit, tetapi cukup menghibur. Adapun iringan musiknya berupa rekaman compact disk.

Format pertunjukan kelompok kabaret yang dipimpin Salimin Ardjooetomo (55) ini mengingatkan kita pada kesenian ludruk di Jawa Timur. Di situ juga kita temukan tokoh perempuan yang diperankan lelaki (travesty). Gaya komedi yang slapstick, mengandalkan improvisasi, pilihan kalimat yang cenderung hiperbolik, seperti "Tak grosok cangkemmu isa rompal dadi wolu!", tak beda dengan ludruk. Hanya, bahasa Jawa yang digunakan cenderung bahasa Jawa pedalaman, bukan gaya Surabaya.

Walaupun orang Jawa di Suriname umumnya dicitrakan berbahasa Jawa ngoko, pada pentas kabaret ini mereka juga berbahasa Jawa krama-madya (halus-tengahan). Yang agak mengherankan, tatanan bahasa Jawa yang mereka gunakan relatif masih "lengkap", lancar dan teratur, sekalipun ada beberapa istilah yang tidak lagi dikenali di sini. Seperti kata, "lawange disroto", maksudnya pintunya digembok/dikunci. Atau, kata "masalah" yang di sana diartikan sebagai bumbu masak (rempah-rempah).

Adat Jawa

Konsep pertunjukan kabaret model Captain Does ini—berdiri tahun 1992—lebih mengutamakan hiburan musik, adapun cerita hanya "sampiran".

Pemain dituntut mampu bernyanyi, entah itu dangdut, pop-jawa, atau kidungan. Liriknya, kalau bukan soal asmara, ya, kerinduan akan Tanah Jawa. Di sini, tema cerita yang dibawakan mungkin terkesan sangat "usang". Misalnya, mengetengahkan konflik nilai antara kaum tua dan muda, menyangkut adat istiadat seperti yang maunya terus dipegang teguh di kalangan tua di Suriname; tema yang juga sering kita temukan pada kesenian rakyat di Indonesia.

Ini pertama kali kelompok Kabaret Captain Does dari Suriname bermuhibah ke Indonesia. Mereka sengaja unjuk kebolehan di tanah leluhurnya, orang-orang Jawa, atas prakarsa dan biaya sendiri. Kelompok ini cukup populer di sana, terutama di Paramaribo, ibu kota Suriname. "Rata-rata kami bermain sampai dua kali dalam satu pekan," tutur Salimin. "Hanya pada bulan Sura dan Puasa saja kami libur."

Di sana, pertunjukannya bisa mencapai empat jam penuh, sedangkan ceritanya dilakukan secara improvisasi, disesuaikan dengan tema hajatan serta permintaan penanggapnya. Pertunjukan kabaret itu dilengkapi dengan karaoke, melayani permintaan penonton, sedangkan musiknya jenis dangdut, campursari ataupun pop-jawa. Mereka menghibur di hajatan sunatan hingga pernikahan, di tengah komunitas etnik Jawa. Di luar komunitas Jawa, mereka menggunakan bahasa Belanda, bahasa nasional Suriname.

Imbalan yang diterima kelompok yang terdiri atas 12 orang ini antara 300-400 dollar AS. Namun, Salimin menolak kelompoknya disebut profesional. "Ini hanya hobi saja, kok," kata Salimin yang sehari-hari pegawai negeri pada Departemen Sosial dan Perumahan Suriname, begitu pula sebagian pemainnya. Ia juga bekerja sebagai penyiar di Radio Bersama dan stasiun televisi Garuda dengan pengantar bahasa Jawa. "Dalam pergaulan di lingkungan bangsa Jawa, kami menggunakan bahasa Jawa," tutur Salimin.

Kasus kebudayaan

Nenek moyang orang Jawa di Suriname pertama kali datang ke Suriname pada 9 Agustus 1890. Mereka dahulu diculik dan dijual kepada orang Belanda untuk menjadi kuli di pelbagai perkebunan di Suriname (jajahan Belanda), seperti perkebunan kopi, jeruk, tebu, cokelat. Banyak kisah memilukan yang mereka alami, tetapi tinggal sejarah. Kini, suku bangsa Jawa—dengan populasi 74.000 jiwa dari 492.000 penduduk Suriname—menempati posisi-posisi yang strategis, seperti ketua parlemen dan jaksa.

Keberadaan pertunjukan Kabaret Captain Does niscaya merupakan media komunikasi di kalangan mereka untuk mengekalkan eksistensi budaya Jawa di Suriname. Mereka "bangga" dengan kejawaannya. Hebatnya, menurut Salimin, mereka berambisi pada pemilu 2010 di Suriname nanti presidennya dari suku Jawa!

Kedatangan kelompok Kabaret Captain Does di sini ibarat naluri anak yang rindu kepada orangtua yang telah "membuang"-nya. H Sarmoedji, Kolonel Laut (Purn) keturunan Suriname yang mendampingi rombongan mengungkapkan, selama ini Pemerintah Indonesia tak punya perhatian yang memadai terhadap warga keturunan Jawa di Suriname. Perhatian dalam bentuk bimbingan, pembinaan atau fasilitas tertentu, misalnya, menyangkut seni budaya, tak pernah mereka dapatkan dari Pemerintah Indonesia.

Lebih dari soal emosi, kurun waktu 117 tahun, setelah tiga generasi, ternyata telah "membekukan" kebudayaan yang mereka bawa dari Jawa. Suriname menjadi kasus kebudayaan yang unik. Selain bahasa Jawa yang tetap digunakan, mereka juga melestarikan tradisi, adat istiadat, dan pandangan hidup orang Jawa (lama). Semua itu adalah identitas kebudayaan suatu bangsa. Suriname seakan menjadi "missing link" dari kebudayaan Jawa, yang sebagai identitas justru mulai memudar di sana-sini.

Sumber: Kompas, Rabu, 28 November 2007

Langkan: Seniman UU Hamidy Raih Anugerah Sagang 2007

SENIMAN dan budayawan senior Riau, UU Hamidy, meraih Anugerah Sagang Ke-12 tahun 2007. Anugerah Sagang diberikan Yayasan Sagang kepada setiap insan yang memiliki sumbangsih buat memajukan budaya Melayu. Pemberian Anugerah Sagang diselenggarakan dalam perhelatan meriah di Pekanbaru, Riau, Senin (26/11) malam. Selain Hamidy, Anugerah Sagang juga diberikan kepada Yahya A Rainin dan M Arif fan Jelfrison untuk kategori karya penelitian budaya; Ilham Khoiri, wartawan Kompas, untuk kategori karya jurnalistik budaya (tulisan berjudul Metamorfosis Zapin Melayu); Asrizal Nur untuk kategori seniman/budayawan serantau; grup musik Geliga untuk kategori institusi budaya; Budaya Melayu Rokan untuk kategori buku pilihan; Opera Tun Teja untuk kategori nonbuku/alternatif; serta Taslim F Datuk Mogek dan Junaidi Syam untuk penulis buku Trombo Rokan, Buku Besar Alam Manusia. (SAH)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 November 2007

Monday, November 26, 2007

MengenangIn Memoriam: Prof Dr Parsudi Suparlan, Antropologi untuk Indonesia

-- Amich Alhumami*

PARSUDI Suparlan, antropolog Indonesia generasi kedua itu telah berpulang. Ia diketahui meninggal di rumahnya, Kamis, 22 November 2007, oleh polisi yang akan menjemputnya untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Di kalangan ahli antropologi, Parsudi dikenal sebagai ilmuwan berkaliber yang sangat kuat memegang prinsip-prinsip keilmuan. Bersama sang guru, Prof Dr Koentjaraningrat, ia berjasa dalam merintis dan memberi kontribusi besar dalam pengembangan ilmu antropologi di Indonesia.

Parsudi adalah seorang anthropologist by training karena ia memperoleh pendidikan lengkap dalam disiplin ilmu antropologi. Ia lulus sarjana (1964) dari Universitas Indonesia, MA (1972) dan PhD (1976) dari University of Illinois at Urbana-Champaign, USA. Sebagai ilmuwan terpandang, Parsudi mempunyai reputasi akademis menawan dan mendapat pengakuan internasional, seperti terlihat dalam keanggotaan di berbagai asosiasi profesional tingkat dunia. Parsudi adalah antropolog Indonesia yang menjadi anggota International Advisory Board of Anthropological Forum, sebuah jurnal ilmiah prestisius yang diterbitkan Routledge, London, dan Anthropology and Sociology, The University of Western Australia.

Banyak karya akademis Parsudi yang telah diterbitkan baik di dalam maupun luar negeri, antara lain The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia (Southeast Asia Program Publications, Cornell University, 1974), Ethnic Groups of Indonesia (The Indonesian Quarterly, 1979), Culture and Fertility: The Case of Indonesia (ISEAS, 1980), The Increase of Land Value and its Impact on the Emergence of Conflicts (Institute of Social Studies, The Hague, 1981), Kemiskinan di Perkotaan (Sinar Harapan, 1984), The Javanese Dukun (Peka Pablications, 1991), The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society (Arizona State University Press, 1995), Orang Sakai di Riau (Yayasan Obor Indonesia, 1995), dan puluhan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal, termasuk Jurnal Antropologi Indonesia. Parsudi juga menulis kata pengantar magnum opus Clifford Geertz Santri, Abangan, Priyayi (Pustaka Jaya, 1983).

Dari karya-karya ilmiah yang sudah dihasilkan, Parsudi tampak mendalami banyak aspek kajian dalam ilmu antropologi. Antropologi bukan lagi disiplin ilmu kuno yang khusus mengkaji kebudayaan dan masyarakat primitif, melainkan ilmu modern yang membahas banyak aspek dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Bahkan antropologi memberi perspektif yang sangat luas dan komprehensif dalam suatu kajian ilmiah yang bersifat mulidisipliner. Untuk konteks Indonesia, kajian etnografi yang lazim digunakan dalam tradisi antropologi, seperti The Religion of Java (1960), Agricultural Involution (1963), Peddlers and Princes (1963), atau Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980) yang lahir dari buah pikiran antropolog masyhur, Clifford Geertz, jelas melampaui disiplin ilmu pokoknya. Sebab, keempat karya akademis tersebut bukan hanya berkontribusi dalam analisis ilmiah di bidang antropologi, melainkan juga meletakkan dasar pijakan dan memberi landasan yang kukuh dalam kajian akademis untuk disiplin ilmu lain, seperti politik, sosiologi, sejarah, ekonomi, dan pertanian.

Bayangkan, satu disiplin ilmu mampu memberi corak dan warna yang sangat kuat dalam suatu kajian ilmiah yang bersifat multidisiplin yang demikian kompleks. Sarjana ilmu politik yang hendak mendalami dinamika politik Indonesia modern mustahil mengabaikan The Religion of Java.

Sarjana sosiologi pembangunan atau ekonomi pertanian yang ingin mendalami proses evolusi kegiatan perekonomian dan tradisi pertanian di masyarakat Indonesia tak mungkin melewatkan begitu saja Agricultural Involution dan Peddlers and Princes. Sarjana sejarah yang ingin meneliti sejarah sosial-politik dan kekuasaan di Indonesia akan sangat terbantu dengan merujuk Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Dalam dunia ilmu-ilmu sosial, keempat hasil studi antropologis tersebut menjadi rujukan standar karena memberi kontribusi signifikan terhadap kajian akademis lintas-disiplin ilmu.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, sangat jelas antropologi telah memberi sumbangan penting dan berharga dalam upaya memahami kompleksitas masyarakat, menawarkan analisis atas masalah-masalah sosial, dan mendalami kebudayaan umat manusia dalam konteks waktu dan sejarah yang melingkupinya.

Dengan fokus pada masyarakat dan kebudayaan, antropologi berupaya merekam, menginterpretasi, dan memahami situasi kehidupan keseharian masyarakat yang dikaitkan dengan pola-pola interelasi dengan bidang ekonomi, politik, teknologi, sistem sosial, simbol-simbol dalam bahasa, alam pikiran, bahkan ideologi yang dianut masyarakat bersangkutan. Secara lebih khusus, antropologi berupaya melakukan kajian dan pemahaman atas keragaman kebudayaan umat manusia dan mendalami sistem makna, norma dan nilai, serta tingkah laku yang menjelma dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan kelembagaan sosial.

Dalam konteks pembangunan nasional di Indonesia, antropologi sesungguhnya dapat memainkan peranan sentral, terutama dalam menjembatani antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pembangunan sejatinya dimaksudkan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi pembangunan justru acap kali menciptakan kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, marginalisasi, dan deprivasi sosial.

Berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat beberapa tahun terakhir sesungguhnya merupakan ekses semata dari pilihan strategi dan kebijakan pembangunan yang cenderung mengabaikan local knowledge yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, antropologi dapat memberi saran, masukan, dan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan publik, terutama ketika merumuskan program-program pembangunan agar bisa diimplementasikan di masyarakat dengan tetap menghargai hak-hak sosial dan budaya masyarakat yang merujuk pada local knowledge tersebut. Untuk itu, para ahli antropologi perlu terus-menerus memberi pemahaman bahwa pembangunan bukan hanya masalah ekonomi dan karena itu perencanaan pembangunan semestinya bukan hanya urusan para ekonom semata.

Dalam konteks itulah, Parsudi Suparlan berupaya mengembangkan spesialisasi kajian dalam disiplin ilmu antropologi yang diharapkan bermanfaat bagi pembangunan nasional. Selain antropologi sosial dan antropologi budaya, di Indonesia sekarang telah berkembang kekhususan kajian antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi agama, antropologi pembangunan, antropologi lingkungan, antropologi linguistik, dan banyak lagi.

Sebagai ilmuwan, Parsudi telah mendedikasikan sepenuh kehidupannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menekuni kegiatan ilmiah dan sosial, seperti penelitian, pengajaran, dan pengabdian pada masyarakat. Dengan academic credentials yang hampir sempurna, mungkin tak terlalu berlebihan bila Parsudi disebut sebagai a paragon of teaching, research, and service in Indonesia's academia.

Parsudi jelas sangat berjasa dalam mengukuhkan antropologi sebagai disiplin ilmu dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Siapa pun tak mungkin dapat memahami masyarakat dan kebudayaan suatu bangsa tanpa bantuan ilmu antropologi. Dalam konteks demikian, antropolog Indonesia generasi baru harus tampil lebih agresif di pentas nasional sekaligus membuktikan ilmu antropologi dapat memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa untuk mengantarkan masyarakat dan bangsa Indonesia mencapai kemajuan di masa depan.

Selamat jalan Prof Dr Parsudi Suparlan, semoga ilmu pengetahuan dan pengabdian yang telah engkau berikan menjadi amal saleh yang diterima Allah SWT dan memberi syafaat di hari perhitungan.

* Amich Alhumami, Peneliti sosial, Departement of Social Anthropology, Universitas of Sussex, United Kingdom

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 27 November 2007

Sosok: Aswandi Syahri, Mengorek Arsip dan Menulis Sejarah

-- Ferry Santoso

BUKU-BUKU sejarah tertata rapi di kamar Aswandi Syahri (37). Beberapa koleksi naskah penting dan gambar dari sejarah Melayu juga dipajang di dinding kamar dengan pigura kaca. Di lantai kamarnya masih tertumpuk arsip, bekas surat yang terbuang saat perpindahan Kantor Bupati Kepulauan Riau.

Aswandi merasa sayang ketika arsip itu dibuang tanpa diseleksi terlebih dahulu. Oleh karena itu, ia pun berinisiatif mengambil tumpukan arsip tersebut dan mengumpulkannya. Selain arsip, Aswandi juga mengoleksi dan mencari naskah Melayu dan gambar-gambar. Salah satu koleksi gambar yang dipajang di kamarnya adalah Cogan.

"Cogan merupakan simbol dan peralatan kebesaran Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang," kata Aswandi, yang tinggal di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Cogan itu pernah dirampas Belanda tahun 1822. Saat ini Cogan disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Cogan ternyata menyimpan banyak cerita. Oleh karena itu, Aswandi pun menulis buku Cogan, Regalia Kerajaan Johor-Riau-Lingga, dan Pahang. Buku itu ditulis dan diterbitkan tahun 2006 melalui kerja sama dengan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi Kepulauan Riau.

Untuk menulis buku, memang tidak mudah. Minat terhadap sejarah saja tidak cukup, tetapi harus didukung dengan pengetahuan lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Menggeluti sumber sejarah tentu membutuhkan ketekunan tersendiri.

Bahkan, Aswandi sering kali harus memburu naskah Melayu yang tersimpan di perpustakaan di luar negeri. "Saya juga mencari naskah Melayu di Leiden, Belanda, melalui seorang teman yang belajar di sana," katanya.

Naskah-naskah itu kemudian dikirim ke Tanjung Pinang. Tidak hanya perpustakaan di Leiden, naskah-naskah Melayu juga dicari di perpustakaan Royal Asiatic Society, Inggris, melalui kenalan atau temannya di sana.

Naskah Melayu

Aswandi juga mencari naskah-naskah Melayu yang disimpan di perpustakaan Central Library di Singapura dan National University of Singapore. "Kalau di Singapura, saya pergi dan mencari sendiri," katanya.

Dengan "melahap" naskah-naskah dan buku-buku sejarah, Aswandi memiliki pengetahuan sejarah. Dengan latar belakang itu, ia tidak terlalu sulit menerjemahkan buku yang spektakuler, yaitu In Everlasting Friendship; Letters from Raja Ali Haji ke dalam bahasa Indonesia. Buku itu ditulis seorang sejarawan Jan van der Putten dan diterbitkan tahun 1995.

Buku terjemahan Aswandi diberi judul Dalam Berkekalan Persahabatan; Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall, dan diterbitkan pada Januari 2007. "Saya mau menerjemahkan buku itu karena buku itu bagus dan penting," kata Aswandi. Pada mulanya, ia langsung saja menerjemahkan buku Jan van der Putten tersebut.

Setelah ingin dicetak, Aswandi baru meminta izin kepada penulisnya, Jan van der Putten. Penulis sempat membahas dan membicarakan buku terjemahan dan rencana penerbitan dalam bahasa Indonesia.

Buku yang diterjemahkan Aswandi itu memuat kumpulan surat-surat Raja Ali Haji, seorang tokoh dan penulis Melayu terkemuka pada abad ke-19. Raja Ali Haji juga menulis dua karya termasyhur, yaitu Gurindam XII dan Tuhfat al-nafis.

Surat-surat Raja Ali Haji yang dirangkum dalam buku Jan van der Putten itu ditujukan kepada Hermann Von de Wall, seorang sarjana kelahiran Jerman dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda, pada kurun waktu 1857-1872. Hermann ditugaskan untuk menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda.

Menurut Aswandi, Hermann telah mencari berbagai pakar dan ahli sastra Melayu untuk menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda. Pada akhirnya, Hermann mengenal Raja Ali Haji dan menjalin hubungan surat-menyurat untuk mendapatkan bahan dan masukan dalam penyusunan kamus Melayu-Belanda.

"Dalam surat-surat Raja Ali Haji itu, terlihat pemikiran-pemikiran Raja Ali Haji yang sederhana dan sangat terbuka," kata Aswandi. Raja Ali Haji yang taat beragama Islam juga cukup akrab dan terbuka dengan budaya Barat.

Selain Raja Ali Haji, lanjut Aswandi, masih ada tokoh Melayu lain yang cukup intensif berhubungan dengan tokoh-tokoh besar di Eropa. Misalnya, Yang Dipertuan Muda Riau VIII, Raja Ali Marhum Kantor yang hidup pada abad ke-19.

Raja Ali Marhum, menurut Aswandi, menjalin hubungan yang sangat akrab dengan Raja Prusia, Frederick William. Hubungan yang akrab itu dapat terlihat dari surat Raja Ali Marhum kepada Raja Frederick. Surat Raja Ali Marhum itu tersimpan di Museum Ethnologische, Jerman.

Dalam surat Raja Ali Marhum pada tahun 1846, Raja Ali Marhum menyampaikan ucapan terima kasih atas kiriman surat dan hadiah dari Raja Frederick William berupa lampu mahkota, bunga, serta kain berlapiskan sutra dan emas.

Raja Frederick mengirimkan hadiah itu karena peran Raja Ali Marhum dalam membantu pembangunan Gereja Kristen dan pekerjaan misi oleh pendeta EH Rottger asal Jerman di Tanjung Pinang. "Lampu mahkota dari Raja Frederick itu sekarang masih tergantung di masjid di Pulau Penyengat," kata Aswandi.

Mengenal sejarah

Dari pendalaman naskah dan buku-buku sejarah Melayu itulah, Aswandi mampu mengenal sejarah Melayu, menerjemahkan buku sejarah dan menulis beberapa buku sejarah yang lebih populer.

Buku-buku tersebut, misalnya, buku Raja Ali Kelana (2006), buku Mak Yong, Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau (2005), buku berupa kumpulan tulisan budaya Identitas Budaya, Kepulauan Riau (2005). Masih ada beberapa buku lain yang direncanakan ditulis.

Penulisan buku-buku yang lebih populer itu sangat penting untuk melestarikan naskah dan budaya Melayu. Naskah-naskah Melayu saat ini cenderung ditinggalkan dan hanya menjadi arsip yang tersimpan.

Ketertarikan Aswandi terhadap dunia sejarah, khususnya sejarah Melayu, sudah dialami sejak kecil. Ketika masih duduk di bangku SD kelas III, rumah orangtuanya dimanfaatkan untuk kamar kos.

Beberapa guru sempat tinggal di rumah orangtua Aswandi yang dijadikan tempat kos itu. Saat penghuni kamar kos pindah, banyak buku-buku yang ditinggalkan. Aswandi pun kemudian mulai membacai baca buku-buku yang ditinggalkan, termasuk buku sejarah.

Dari pengalaman masa kecil itulah, minat Aswandi terhadap sejarah, khususnya sejarah Melayu, mulai tumbuh. Bahkan, saat masuk ke perguruan tinggi ia mengambil Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang.

Minat dan ketertarikan terhadap sejarah Melayu tetap melekat pada Aswandi sampai sekarang. Saat ini pun, dari penelitian-penelitian bahan-bahan sejarah, ia juga mampu mengenal dan menemukan tumpukan kerang setinggi 4-5 meter di areal sekitar perkebunan kelapa sawit di kawasan Kawal Darat, Kawal, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Tumpukan kerang itu diperkirakan merupakan sampah dapur (kjokkenmoddinger) pada masa prasejarah. Dari temuan itu, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan segera meminta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menyelidiki temuan tersebut.

"Dari hipotesis sementara ini, kami memperkirakan tumpukan kerang itu merupakan sampah dapur pada masa prasejarah," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan Khazalik.

Penduduk setempat atau masyarakat mengenal bukit itu sebagai benteng "batak" atau bukit kerang. Menurut Aswandi, ia sering membaca literatur terkait dengan tempat yang disebut sebagai benteng batak atau bukit kerang. Namun, pada mulanya ia belum mengetahui bahwa tumpukan kerang di Kawal itu merupakan sampah dapur peninggalan masa prasejarah.

"Pada masa itu, di Pulau Bintan sudah ada kehidupan dan kebudayaan manusia yang hidup pada masa prasejarah. Hal itu tentu bermanfaat untuk promosi wisata," kata Aswandi.

Sumber: Kompas, Senin, 26 November 2007

Sunday, November 25, 2007

Sastra: Generasi Penentu

-- Radhar Panca Dahana*

BEBERAPA saat sebelum sebuah panel diskusi antara saya dengan Prof Fuad Hasan yang membicarakan “pengaruh eksistensialisme dalam puisi-puisi Sitor Situmorang”, sang penyelenggara acara, Mohamad Sobary, yang saat itu masih menjabat Direktur Kantor Berita Antara, mengundang kami bertiga ke ruang kerjanya.

Saya datang lebih dulu dan langsung memamah biak. Beberapa menit kemudian, datanglah sang profesor diikuti satu gadis remaja. Obrolan hangat tercipta, hingga sang profesor akhirnya mengeluarkan sebuah “keluhan”, yakni menyesalkan sang cucu—yang dibawanya serta—sangat mengenal tokoh-tokoh sastra dunia, dari Homerus hingga James Joyce, tapi ternyata tidak tahu sama sekali siapa itu Sitor Situmorang

Untuk itu, ia mengajaknya ikut diskusi untuk berkenalan dengan sastrawan terkemuka Indonesia itu. “Ia perlu mengenal kebudayaannya sendiri, sebelum tahu kebudayaan lainnya,” begitu kira-kira tegas sang profesor. Sambil tetap memamah biak dan coba tersenyum, saya mengatakan “lumrah saja”, bila anak zaman sekarang lebih mengenal Salman Rushdie ketimbang Arswendo Atmowiloto karena begitulah kenyataan dunia informasi yang dimilikinya.

Bila dahulu, generasi kami sangat terbatas dalam mengakses informasi, katakanlah dua–tiga buku baru tiap minggu, saat ini seorang remaja bisa mengakses jutaan judul buku hanya dengan satu ketukan tuts keyboard dan satu menit proses researching via internet. Dalam dunia seperti itu, lumrah bila nama James Joyce atau Toni Morisson yang pengarang, berpuluh kali lebih sering muncul ketimbang Sitor bahkan Pramoedya.

Dengan miliaran digit info yang terakses kilat dan kemampuan bahasa Inggris yang memadai, seorang remaja lebih memosisikan diri sebagai warga dunia ketimbang penduduk satu negara saja.Teknik membacanya yang jauh lebih cepat dari ayah apalagi generasi kakeknya—lebih dengan cara memindai ketimbang mengeja data— mendorongnya untuk lebih menetapkan preferensinya pada simbol/nama yang lebih kerap/kuat munculnya.

Saya sungguh tak menyangka bila pertimbangan saya tersebut menyulut debat yang terlalu cepat panas sebelum diskusi sesungguhnya dimulai. Bahkan, hingga sang profesor “terpaksa” menggunakan sentimen senioritas untuk “menundukkan” lawan debatnya. Satu cara yang hampir saja melunturkan respek saya pada tokoh yang sejak awal SMP menjadi acuan utama saya dalam membaca filsafat, terutama lewat bukunya, Berkenalan dengan Eksistensialisme.

Generasi Pos Orde Baru

Tapi tentu saja, saya tak membiarkan diri hanyut dalam emosi. Mengenali reputasi, jasa, dan kontribusi profesor yang belakangan terdengar sakit itu, saya mundur. Perhatian saya justru teralih pada sang cucu. Pada sebarisan remaja atau anak muda yang lahir di dekade 70-an dan 80-an.

Pada mereka yang baru sepuluh tahun belakangan menyadari dampak sosial budaya dari apa yang dilakukan Orde Baru (Orba) sebelum kejatuhannya di 1998. Generasi ini dapat dikatakan secara relatif “bersih”, dalam makna terhindar dari toksinasi atau kontaminasi virus kultural Orba yang mengerdilkan kepribadian. Sebuah kanvas relatif kosong untuk dapat disebut warna-warni masa depan.

Tapi, mereka juga satu generasi yang rapuh dan rentan untuk diombang-ambingkan kemauan dan ketamakan dunia global. Bagaimanapun nasib mereka di masa depan, saat ini kita sebenarnya menjadi saksi lahirnya sebuah generasi dengan potensi dan kemampuan adaptasi yang belum pernah dimiliki generasi-generasi sebelumnya.

Mereka yang berusia di akhir remaja dan likuran ini menampilkan diri dengan berbagai kejutan dan kemampuan fenomenal,tapi dengan sikap yang lebih tawadu, lebih komprehensif, sebagian bahkan lebih prihatin. Mereka muncul sebagai mangkuk kesadaran tentang getir dan nadir nasib kemanusiaannya, sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Mereka adalah tipe sosial baru yang tidak lagi merasa dapat menggenggam sejarah dan tradisi, sebagai sumber kekuatan mereka, juga tidak pada generasi ayah dan kakek mereka. Namun, melulu pada diri mereka sendiri. Keadaan telah mendudukkan diri mereka pada posisi yang sangat independen, walau memang mereka belum mengetahui hendak dibawa ke mana independensi itu, bahkan untuk apa atau kenapa independensi itu ada pada mereka.

Mereka kini seperti omnivora yang tak hentinya mengunyah. Melihat dunia di sekelilingnya yang begitu riuh, carut-marut, bahkan khaotik dengan kelaparan hati dan pikiran tak terpermanai. Mereka ambil semua, masukkan ke mulut,mengunyah dan mencernanya sehingga metabolisme spiritual, intelektual, dan fisikalnya kemudian memproduksi sesuatu, entah itu tenaga atau limbah ekskresi budaya.

Lalu,siapa menyangka bila Anda yang telah memasuki 40 tahun ke atas menjumpai beberapa dari mereka menguasai jauh lebih banyak data, lebih kuat kemampuan analisisnya, lebih jembar komprehensifnya, kadang jauh lebih mengejutkan kesimpulan-kesimpulan atau postulasinya.

Maka, dapatkanlah seorang penyair muda yang merangkum semua sejarah puisi dalam pikiran dan karyanya. Menangkap, merenung, dan mengontemplasi sebuah khasanah global sejak kalangwan kuno, Hamzah Fansuri, hingga TS Elliot atau Derek Walcott. Atau esais yang menjelaskan dengan jernih dan sederhana kesalahan pemahaman kita tentang kapitalisme Adam Smith. Ilmuwan fresh graduate Universitas Islam Negeri yang dengan penuh gairah mempertanyakan semua kitab suci di atas bumi atas proposisi-proposisinya tentang wanita.

Bahkan, bisa saja politikus muda yang senyum-senyum bijaksana mendengar pertikaian hebat antardua kandidat kepala pemerintahan. Terbayangkah Anda, seorang pelajar putri di akhir kelas tiga SMP Jakartanya, melahirkan trilogi novel @ 500-an halaman, berisi renungan filsafat dan ketuhanan sejak era Yunani Purba,bangsa Moor,China kuno, hingga filsafat mutakhir yang berkembang di Paris?

Tanpa satu pun kesalahan ejaan, kutipan, atau kekeliruan pemahaman.Apa yang terjadi pada kita, Anda, wahai orangtua, saat Anda baru saja mengenal nikotin di bibir atau stensilan Valentino, atau satu–dua istilah tentang Galileo dan paleontologi?

Biarkan Terbang

Dalam tantangan hidup mutakhir, yakni seseorang atau sebuah bangsa tak dapat lagi berlindung di balik pagar atau demarkasi politis, geografis, bahkan kulturalini, hanya merekalah yang tidak buntu dan beku pikiran, agama, atau ideologinya yang dapat bertahan.

Hanya mereka yang mampu membebaskan diri kerangkeng sempit nasionalisme, etnisitas, bahkan keketatan demografislah yang berhak hidup di situasi hidup itu di masa depan. Dunia kini bergerak ke arah penyatuan- penyatuan yang bersifat permanen, semua batas-batas nasional dan regional—dengan segala macam perangkat lunaknya—gugur satu persatu.

Kini tiada lagi pembeda dan penghalang, baik secara ekonomi, politis, ideologis maupun agamis di antara Chin Hua di Singapura, Somsak di Thailand, dan Narto di Purworejo, bahkan N’kono di Nairobi untuk mengidentifikasi diri. ASEAN dalam kerangka AFTA tinggal sehitungan jari merealisasi kenyataan yang sudah terjadi di Uni Eropa dan NAFTA itu.

Belahan Asia Barat, Afrika Utara,danAsia Tengah segera menyusul. Apakah kita masih akan memberi pintu, kursi, dan peluang untuk mereka— generasi-generasi—yang masih mempertahankan dunia kuno yang koruptif, manipulatif, dan eksploitatif dalam pikiran,mentalitas,atau perilaku mereka? Akankah negeri dari sebuah bangsa ini membiarkan diri menerima bencana atau petaka peradaban,dengan melalaikan potensi dan kekuatan generasi penentu ini?

Seorang novelis muda kota Malang, dengan rileks menjawab pertanyaan normatif yang saya ajukan, “Apa arti Indonesia bagimu?”dengan menyatakan,“Ia hanya bermakna tempat, koordinat, saya memiliki nomor identitas, KTP! ”Sebagai orang Jawa, baginya “Indonesia” adalah sebuah masalah besar. Sementara untuk mengerti “Jawa” saja, ia—yang berbahasa Jawa sehari-hari—harus sungguh-sungguh belajar mengenai kata itu.

Kesadaran ruang, waktu, dan identifikasi diri semacam ini adalah perkembangan yang jika tidak revolusioner, radikal bagi Indonesia, hanya dalam hitungan satu–dua dekade belakangan dan perlahan ia akan membentuk arus.

Arus besar yang melanda pokok-pokok pohon tua di sisi bantarannya.Menumbangkan dan menyeretnya hingga kemudian hilang di laut. Lalu, mengapa kita tidak membiarkannya lewat? Atau bahkan melapangkan jalan untuknya. Untuk mereka,generasi penentu.(*)

* Radhar Panca Dahana, Esais dan budayawan

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 25 November 2007

Wacana: Demokrasi dan Moralitas dalam Sastra Seksual

-- Budi P Hatees*

BENARKAH Mahadewa Mahadewi, Saman, Jendela-Jedela, Tuan dan Nyonya Kosong, Jangan Panggil Aku Monyet, dan buku-buku lain yang senafas, mengandung spirit pembebasan karena ia bicara soal indentitas seksual, sesuatu yang digadang-gadang banyak orang?

Kalau pertanyaan itu kita ajukan kepada Niels Mulder, penulis Southeast Asian Images: Towar Civil Society (2003), pastilah ia akan setuju sembari membeberkan tafsirnya atas teks Saman karya Ayu Utami. Bagi Mulder, Saman mengandung spirit pembebasan, melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap nilai-nilai warisan Negara Orde Baru.

Membandingkan Saman dengan karya sastra yang ditulis sastrawan perempuan di Thailand (Sucinda Khantayalongkot) dan Filipina (Lualhati Bautista), Mulder mengatakan ketiga perempuan sastrawan itu memperjuangkan kebebasan untuk bertindak, berpolitik, mengeluarkan pendapat, dan persamaan hak. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ketiganya memilih jalan dengan mengemukakan sisi seksualitas perempuan secara terbuka.

Sebagai pengamat demokrasi di wilayah ASEAN, Mulder sangat percaya bahwa seksualitas dalam karya sastra para pengarang perempuan mengandung spirit perlawanan. Spirit perlawanan itu diarahkan pada perlawanan terhadap moralitas publik, karena negara mengejawantah dalam urusan moral itu.

Lewat analisis tentang pendidikan moral yang diterima masyarakat Indonesia selama 32 tahun masa Orde Baru, Mulder menyimpulkan bawa konsep negara sangat kuat mengkooptasi persoalan-persoalan moral rakyat Indonesia. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan mulai sekolah dasar, menjadi semacam upaya pemerintah untuk mencekoki rakyat dengan nilai-nilai moral yang sudah dipersiapkan, yang kemudian diterima sebagai moralitas publik.

Konvensi moralitas publik pasca runtuhnya Orde Baru, makin dipertanyakan karena realitasnya lebih tampak sebagai pertarungan kekuatan dan kepentingan. Ditopang oleh pandangan kaum feminisme, para penganut sastra seksual berkeyakinan bahwa moralitas publik dibangun bukan dari yang ideal. Melainkan dibangun di atas luka-luka kaum perempuan, mereka yang dinegasikan dan diposisikan sebagai warga kelas dua.

Sebab itu, perempuan harus mendapat perlakuan sama dengan laki-laki. Karenanya, perlu dibangkitkan spriti perlawanan guna mencapai kemerdekaan yang sama dalam realitas kehidupan. Salah satu caranya, perempuan mesti berjuang dengan mengandalkan apa yang dimilikinya, yang selama ini condong diabaikan dalam penguatan kekuasaan yang terlalu maskulin.

Seksualitas dipandang sebagai senjata yang tepat. Wilayah ini diabaikan kaum laki-laki karena dianggap bukan ihwal yang pantas digiring ke dalam wilayah publik. Seksualitas lebih diterima sebagai persoalan domestik. Dengan begitu, perjuangan untuk mendapat perlakuan sama akan lebih mudah terealisasi di tengah-tengah realitas negara yang sibuk membangun dan mengembangkan moralitas publik yang maskulin. Perjuangan ini berimbas terhadap negara yang maskulin, yang membuat perempuan senantiasa tersubordinasi, sulit menyatakan eksistensi.

Tentu, banyak yang menentang pandangan tersebut, terutama karena spirit pembebasan yang dimaksud memposisikan nilai-nilai tradisi sebagai sesuatu yang mengekang, keras, dan otoriter. Ini terjadi karena kesalahan identifikasi, bahwa nilai-nilai tradisi yang maskulin merupakan manifestasi dari negara yang maskulin. Nilai-nilai ini menyusuf jauh ke wilayah publik karena peran Negara yang sangat hagemonik, mendoktrin setiap warga bangsa dan melegalkan tindakan otoriter di dalam apa yang disebut sistem pendidikan nasional.

Jadi, terhadap nilai-nilai tradisi, Mulder berkesimpulan sebagai sesuatu yang mesti dilawan, bukan dengan mempretelinya secara langsung dari dinamika kehidupan, tetapi menghancurkannya secara perlahan dan total dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru yang lebih dinamis. Nilai-nilai baru yang disebut demokrasi, meskipun bukan demokrasi yang dipahami publik secara ideal.

Demokrasi yang tidak ideal itulah yang menjadi acuan para pengamat sastra di negeri ini, sehingga mereka ngotot untuk mendukung "sastrawati menulis identitas". Dukungan yang sangat serius dilakukan M Fadjroel Rachman selaku penandatangan Memo Indonesia, dalam penutup esainya, Sastrawati Menulis Identitas Seksual (Media Indonesia, 2 September 2007). ''Siapa pun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI,'' tulisnya. ( )

* Budi P Hatees, esais, pengajar dan peneliti

Sumber: Republika, Minggu, 25 November 2007

Saturday, November 24, 2007

Sastra: Masa Depan Sastra di Tangan Perempuan (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Palembang, Kompas - Masa depan sastra Indonesia terletak di tangan perempuan. Saat ini semakin banyak penulis dan penyair perempuan bermunculan dengan karya yang mampu melampaui karya penulis dan penyair laki-laki.

Demikian diungkapkan penyair Sapardi Djoko Damono, Jumat (23/11) di Palembang, Sumatera Selatan, dalam diskusi sastra yang diselenggarakan Balai Bahasa Sumsel, Dewan Kesenian Palembang, dan Harian Berita Pagi.

Menurut Sapardi, perempuan semakin menguasai dunia sastra Indonesia yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya jumlah penulis fiksi maupun penyair perempuan. Perempuan juga kini semakin gemar membaca, sebaliknya laki-laki banyak yang mulai malas membaca.

Cara pandang

Sapardi menjelaskan, para penulis perempuan membuat cara pandang sendiri terhadap kaumnya. Penggambaran perempuan berubah total oleh para penulis perempuan yang dipelopori Marga T dan NH Dini. Pada masa lalu, tokoh perempuan adalah ciptaan penulis laki-laki, seperti tokoh Siti Nurbaya.

Menurut Sapardi, banyak orang merasa terkejut dan marah karena melihat tulisan fiksi karangan perempuan dianggap tidak sopan atau sastra porno. Padahal, kata Sapardi, itulah cara perempuan menggambarkan perempuan. Para penulis laki-laki hanya menggambarkan perempuan sebagai konsep.

"Norma-norma perempuan itu diciptakan laki-laki. Laki-laki menciptakan perempuan harus setia, lembut, baik hati. Tapi, penulis perempuan tidak menggambarkan perempuan seperti itu, mereka menulis berdasarkan penghayatan atas keperempuanannya," ujarnya.

Menurut Sapardi, norma-norma telah berubah seiring perubahan zaman. (WAD)

Sumber: Kompas
, Sabtu, 24 November 2007

Friday, November 23, 2007

Obituari: Pendekar Itu Telah Pergi

DUNIA ilmu-ilmu sosial di Indonesia, khususnya antropologi, kembali kehilangan salah seorang tokoh ilmuwan terbaiknya. Profesor Parsudi Suparlan, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, meninggal dunia hari Kamis, 22 November 2007, di rumahnya, Perumahan Dosen UI Ciputat, dalam usia 69 tahun. Beliau adalah seorang anthropologist by training.

Dikatakan demikian karena beliau menempuh pendidikan mulai dari jenjang sarjana, MA, hingga PhD semuanya dalam antropologi.

Kariernya sebagai pengajar di Departemen Antropologi Fakultas Sastra UI (waktu itu Departemen Antropologi belum pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI) dimulai sejak lulus sarjana antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964.

Profesor Koentjaraningrat memperkenalkan Parsudi Suparlan kepada Profesor Edward M Bruner, antropolog dari University of Illinois, Urbana Campaign, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian mengenai hubungan antarsuku bangsa di Bandung dan Medan pada tahun 1966-1968. Perkenalan itu berlanjut dengan rekomendasi Profesor Koentjaraningrat yang mengirim Parsudi ke Amerika Serikat untuk menempuh jenjang MA dan PhD dalam antropologi di bawah bimbingan Profesor Bruner. Beliau lulus MA (1972) dan PhD (1976). Semenjak itu Dr Parsudi Suparlan kembali ke Tanah Air dan kembali mengajar di UI hingga akhir hayatnya. Beliau mencapai gelar guru besar antropologi Universitas Indonesia tahun 1998.

Generasi kedua

Profesor Parsudi Suparlan adalah salah satu antropolog generasi kedua di Indonesia, khususnya di Universitas Indonesia. Ahli antropologi di UI yang segenerasi dengan beliau adalah Profesor S Boedhisantoso, Profesor James Danandjaja, Profesor M Junus Melalatoa (alm), dan Profesor Nico S Kalangie.

Di bawah bimbingan Profesor Koentjaraningrat, tokoh-tokoh inilah sebenarnya yang pertama kali mengembangkan antropologi di Indonesia hingga wujudnya yang kita kenal sekarang. Apabila Koentjaraningrat dikenal sebagai pendiri, perintis, dan pembuka jalan bagi antropologi di Indonesia yang kini sudah berusia 50 tahun, maka Parsudi Suparlan, menurut pendapat saya, adalah pemberi corak dan pengisi kualitas antropologi di Indonesia, yang diawali di Departemen Antropologi UI.

Kekuatan analisis

Secara pribadi saya beruntung menjadi salah satu mahasiswa jenjang sarjana yang pertama memperoleh kuliah dari beliau tahun 1976/1977, segera setelah beliau kembali dari Amerika Serikat. Dengan gaya yang khas dan cara-cara kuliah yang ketat dan kerap kali menegangkan, beliau menanamkan sikap belajar yang keras dan konsisten. Nyata benar warna teori yang kuat dalam setiap kuliah dan diskusi yang beliau asuh. Banyak tulisan yang harus dipelajari dan dikuasai setiap minggu dan tidak ada maaf bagi yang tidak siap diskusi di kelas.

Kami yang tadinya ber-12 di kelas tersebut hanya tinggal berempat karena yang lain tidak tahan, kemudian mengundurkan diri. Banyak pelajaran yang saya petik dari proses pembelajaran semacam itu. Misalnya, saya sangat tertolong oleh disiplin belajar seperti itu ketika saya sendiri melanjutkan belajar antropologi di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.

Pentingnya model (teori), ketajaman analisis, dan ketepatan metodologi yang selalu menjadi aura dalam kuliah-kuliah beliau menjadikan antropologi tampak sebagai sosok disiplin yang kuat, tidak hanya sekadar mengurai- uraikan data. Berkali-kali beliau menekankan pentingnya pemahaman yang kuat mengenai konsep kebudayaan dan struktur sosial. Jadi, barangkali tidak berlebihan kalau saya menyebut beliau sebagai salah satu tokoh antropologi Indonesia, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori.

Hal ini tidak terlepas dari perjuangan beliau turut membangun antropologi di Indonesia yang dimulai dari membangun kuliah-kuliah pengkhususan, seperti hubungan antarsuku bangsa, antropologi agama, antropologi perkotaan, dan antropologi politik pada jenjang sarjana, magister hingga doktor antropologi.

Beliau menyadari benar bahwa kelemahan pembangunan nasional Indonesia antara lain karena manusia sebagai subyek pembangunan masih belum diperhatikan. Pembangunan masih bercorak obyektif, yang artinya manusia semata-mata dipandang sebagai penerima dan pelaksana program.

Kalau kita menyaksikan terjadinya perubahan penting dalam pendekatan ilmiah sosial dalam penelitian-penelitian di berbagai lembaga penelitian di luar antropologi, hal ini juga tidak terlepas dari upaya beliau. Kita dapat menyebut berbagai kajian sosial budaya di lembaga-lembaga penelitian departemen agama, departemen sosial, kepolisian, dan belum terhitung kajian-kajian di perguruan tinggi seperti Institut Agama Islam Negeri, dan Kajian Wilayah Amerika. Buku-buku ataupun artikel-artikelnya yang banyak jumlahnya tersebar luas di Indonesia turut memberi warna dan pengaruh dengan berbagai intensitasnya pada berbagai kajian sosial budaya di Indonesia masa kini.

Menggambarkan sosok Profesor Parsudi Suparlan, seumpama kita belajar silat di suatu perguruan silat seperti dalam film Drunken Master. Latihan yang luar biasa berat dengan suhu (guru silat) yang kusen dan disegani di dunia kangouw (dunia persilatan), tetapi nyentrik dan aneh. Di balik gerakan-gerakan silat yang aneh itu terkandung hikmah yang tinggi nilainya, yang seharusnya kita mau mempelajari yang baik-baik saja darinya.

Dalam berbagai bukunya, Profesor Koentjaraningrat sering menyebut para tokoh antropologi dunia sebagai pendekar antropologi. Kini seorang lagi pendekar antropologi Indonesia telah pergi meninggalkan kita. Rasanya semakin langka ilmuwan sosial yang dengan konsisten tetap setia mengabdi kepada ilmu pengetahuan seperti beliau. Namun, jejak langkah, semangat, dan pemikirannya harus tetap kita pelihara bagi memajukan ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi di Indonesia.

Selamat jalan profesor.

Achmad Fedyani Saifuddin, Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP-UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia

Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007

Obituari: Parsudi Suparlan, "Pergi" dalam Kesendirian

GARASIi di rumah mungil itu dipenuhi rangkaian bunga, tanda ucapan dukacita. Namun, rumah duka itu sunyi senyap. Hanya ada dua polisi dan seorang petugas satpam kompleks yang berjaga. Setiap kali kiriman bunga datang, petugas satpam tergopoh-gopoh menerimanya.

"Enggak ada siapa pun di rumah ini. Bapak tinggal sendiri. Jadi saya harus jaga di sini untuk menerima kiriman bunga," kata Lahuri, petugas satpam di perumahan dosen Universitas Indonesia (UI) di Ciputat, Tangerang, Kamis (22/11).

Pemilik rumah itu, guru besar antropologi UI, Prof Dr Parsudi Suparlan (70), pagi itu ditemukan telah meninggal dunia di kamarnya. Jenazah Parsudi ditemukan oleh tiga polisi dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang hendak menjemputnya. Pagi itu sedianya Parsudi akan menjadi pembicara pertama dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Polri di Hotel Aryaduta, Jakarta. Parsudi yang tak memiliki kendaraan bermotor ini sengaja dijemput pihak panitia.

Komisaris Bakharuddin, salah satu anggota panitia seminar, mengatakan, pihaknya sempat berusaha menelepon Parsudi, tetapi tak ada jawaban. Peraih gelar doktor dari University of Illinois, Amerika Serikat, ini juga mengajar di PTIK, sekaligus Staf Ahli Kepala Polri Bidang Antropologi.

Minggu lalu Parsudi mengirimi Bakharuddin pesan singkat (SMS). "Ia bilang tak bisa ikut ke seminar di Bangka Belitung. Katanya, ia sakit karena jarinya teriris pisau. Sejak itu saya tak ada kontak lagi dengan Pak Parsudi," ungkap Bakharuddin.

Tidak ada jawaban

Lahuri bercerita, ketiga polisi penjemput dari PTIK datang sejak pukul 06.00. Mereka mengetuk rumah berkali-kali, tetapi tak ada jawaban. Dari luar terdengar suara dari televisi yang menyala. Hingga pukul 08.30 tak ada kejelasan keberadaan Parsudi.

Karena curiga, pintu rumah akhirnya didobrak. Mereka lalu menemukan tubuh Parsudi di lantai di kamar tidurnya dalam keadaan tak bernyawa. Polisi memperkirakan Parsudi telah meninggal sejak beberapa hari sebelumnya. Penyebab kematiannya masih belum diketahui.

Lahuri mengenang Parsudi sebagai sosok yang unik. Parsudi dikenalnya sebagai dosen eksentrik.

Menurut Lahuri, sekitar empat bulan lalu sebenarnya ada seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di rumah Parsudi. Namun, sejak PRT itu keluar, Parsudi praktis mengurus dirinya sendiri.

"Pembantu dulu cerita, Bapak itu cuek banget sama dirinya sendiri. Makan enggak teratur, saban malam kerjanya di depan komputer atau baca buku terus. Hobi lainnya, ya berkebun. Jam dua pagi saja bisa berkebun," ujar Lahuri.

Jenazah pria kelahiran Jakarta, 3 April 1938, itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati untuk divisum. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Polri di Cikeas, Bogor, jenazah Parsudi sempat dimampirkan untuk disemayamkan sejenak di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Depok. Salah satu anaknya, Suandini Suparlan, yang tinggal di AS, akan tiba hari Minggu lusa.

"Ia, kakak yang kami hormati dan sayangi," demikian ungkapan rasa kehilangan dari Sutardi Suparlan (69), adik kandung Parsudi. Parsudi adalah anak tertua dari delapan bersaudara.

Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI Iwan Tjitradjaja, yang masuk sebagai mahasiswa Antropologi UI tahun 1977, masih mengingat gaya Parsudi mengajar. "Selalu ada rokok di tangannya. Kemudian, ia menerangkan dengan panjang, runtut, sampai menciptakan keheningan," kenang Iwan.

Setelah pensiun pada tahun 2005, Parsudi tetap menjadi guru besar emeritus yang membimbing para mahasiswa program doktoral di beberapa program pascasarjana di lingkungan UI, termasuk di Pusat Kajian Perkotaan, Kajian Wilayah Amerika, dan Kajian Ilmu Kepolisian.

Parsudi dimakamkan di hadapan para sahabat, rekan kerja, mahasiswa, dan mantan muridnya. Di antara para pelayat tampak Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, kerabat, dan rekan almarhum. Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri hadir saat jenazah disemayamkan di UI.

Kepergian Parsudi Suparlan menjadi kehilangan yang besar bagi para koleganya sesama antropolog dan sahabat. Ada yang sempat merasakan menjadi mahasiswa Prof Parsudi dan terkenang dengan kepulan asap rokok beliau di ruang kuliah. Banyak orang yang berubah jalan hidupnya karena sang profesor.(SF/MUK/INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007

Obituarium: Antropolog Parsudi Suparlan Tutup Usia

JAKARTA (Media): Guru besar antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof Dr Parsudi Suparlan mengembuskan napas terakhir di kediamannya Kompleks Dosen UI No 25 Ciputat Jakarta, kemarin pagi.

Kepergian Parsudi sangat mengejutkan para sivitas akademika UI. Pasalnya, Parsudi tidak menderita penyakit serius. Menurut Kepala Humas FISIP UI Kampus UI Depok Devie Rahmawati kemarin, almarhum tidak sakit atau menderita penyakit serius. ''Kami pun terkejut dengan kepulangan almarhum untuk selama-lamanya,'' kata Devie.

Jenazah sempat dibawa ke RS Fatmawati untuk divisum dan dimandikan.

Jenazah kemudian disemayamkan di FISIP UI pada pukul 13.30 WIB untuk mendapat penghormatan terakhir dari para sivitas akademika, sebelum dimakamkan pada sore harinya di Kompleks Makam Cikeas Bogor.

Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri dalam sambutannya mengatakan Parsudi adalah sosok pendidik yang patut menjadi contoh.

''Kepergian beliau akan mengingatkan kami bahwa kami yang muda-muda ini harus terus bekerja keras. Agar suatu saat dapat meneruskan semua perjuangan para pendidik kami ini, baik di bidang akademik maupun pengabdian yang luas, bagi masyarakat dan demi kemajuan bangsa dan negara.''

Parsudi Suparlan lahir di Jakarta, 3 April 1938. Bapak dua anak itu juga menjadi guru besar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Parsudi juga pernah menjadi ketua program kajian wilayah Amerika di program pascasarjana UI.

Beberapa karya penting almarhum adalah Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Hubungan Antar Suku Bangsa, Kemiskinan di Perkotaan, The Javanese in Surinam: ethnicity in an ethically prular society, dan Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan.

Doktor lulusan Universitas Illinois Amerika Serikat pada 1976 itu pernah mendapat penghargaan sebagai penulis buku ilmu sosial terbaik dengan judul Orang Sakai di Riau. (Nda/H-1).

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 23 November 2007

Sosok: Pergulatan Karim Raslan

-- Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy

MENEMUI Karim Raslan (44) di tengah hubungan masyarakat Indonesia-Malaysia yang tengah mendingin adalah menemui kejernihan cara pandang. Ia tampak telah melampaui perbatasan identitas. Malaysia adalah tanah kelahirannya, Inggris adalah tempatnya bertumbuh, dan Indonesia adalah negeri di mana ia selalu ingin "pulang".

Mungkin karena akarnya dipertautkan oleh cintanya akan kehidupan, tak sulit bagi Karim melihat duduk soal secara lebih terbuka.

"Sangat memalukan," ujarnya, suatu petang, di kantornya di Jakarta Selatan. "Sebagai negara serumpun dengan banyak persamaan, seharusnya itu tidak terjadi."

Ia mengenali kelemahan dan kekuatan kedua negara, tetapi menolak membenturkannya karena akan memperlebar jurang perbedaan. Ia hanya mengatakan, "Masa bulan madu sudah berakhir. Sebuah hubungan tak bisa disikapi dengan taken for granted. Sekarang waktunya meninjau kembali hubungan itu."

Yang menjadi masalah adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor informal yang sekitar 1,5 juta orang, ditambah perkiraan 1,5 juta yang "ilegal". Bersama tenaga kerja dari negara lain, jumlah tenaga kerja asing di Malaysia mencapai 4 juta atau seperlima jumlah penduduknya.

"Ini membangunkan perasaan takut pada orang Malaysia. Tetapi, itulah biaya sosial kalau mau tenaga kerja yang bisa dibayar murah," kata Karim.

Ia melihatnya pentingnya kebijakan jangka panjang kedua negara untuk mempertemukan kebutuhan akan lapangan kerja dengan kebutuhan tenaga kerja untuk jenis pekerjaan yang tak lagi dilakukan warga Malaysia.

Kebijakan pada masa lalu, menurut Karim, adalah naturalisasi. "Kebanyakan orang Melayu di Malaysia berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Malaysia tahun 1930-an," ia melanjutkan.

Isu TKI di sektor informal menggusur kenyataan adanya TKI dari kelompok intelektual profesional yang bekerja di tempat-tempat bergengsi di Malaysia. Media massa kurang memberi gambaran kepada masyarakat bahwa TKI di Malaysia bukan hanya pekerja rumah tangga atau buruh perkebunan.

"Dibutuhkan kesempatan untuk menemukan pijakan bersama demi kebaikan bersama secara setara," ujar Karim. "Bukan membesarkan isu yang berpotensi memperburuk hubungan kedua negara. Itu hanya membuat kita menjadi pecundang."

Warga dunia

Karim mendefinisikan dirinya sebagai warga dunia yang merdeka, tidak diikat oleh isu-isu yang secara politik diciptakan untuk memecah-mecah kemanusiaan. Tempat tinggalnya tidak dibatasi ruang, tetapi oleh rasa.

Ia terbang dari satu tempat ke tempat lain untuk merawat sesuatu yang lebih hakiki di dalam diri. Karena itu, pekerjaan ia perlakukan sebagai hobi. Tak pernah membosankan.

Dalam sebulan ia membagi hari-harinya antara Kuala Lumpur, Jakarta, dan Singapura, Bangkok kadang-kadang. Ketika ingin hening, sebuah rumah berhalaman hijau dengan pohon bambu di Ubud, Bali, yang ia sewa, telah menunggu. Di situ ia dimanjakan suasana yang mampu meredam seluruh kesesakan.

"Negeri ini fantastis, dinamis, dan exciting," kata Karim, "Bahasa Indonesia lebih dari bahasa komunikasi...."

Di sini ia merasakan kebinekaan budaya, keterbukaan, kebebasan berpendapat, pers yang bebas, dan identitas yang tidak dilembagakan oleh agama dan etnis; suatu keadaan yang menurut Karim tak bisa dilepaskan dari sejarah.

Inilah negeri di mana dia merasa berutang secara kultural maupun spiritual atas berjuta inspirasi yang terlahir lewat kehidupan sehari-hari warganya; sesuatu selalu yang mengingatkan Karim pada masa kecilnya.

"Waktu kecil saya sering pulang ke kampung ayah saya di Kuala Kangsar. Di situ, ayah mengundang orang kampung untuk bercerita kepada kami tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari," ia mengenang sang ayah yang tewas pada usia 39 tahun dalam kecelakaan mobil. Saat itu Karim berusia 7 tahun. Kuala Kangsar tampaknya selalu berada di ruang khusus di dalam hatinya.

Ayahnya, almarhum Mohammad Raslan, adalah akuntan pertama di Malaysia dan pendiri Bank Bumiputera di Malaysia. Ibunya, warga Inggris, Dorothy Elizabeth Raslan, kembali ke Inggris dan membesarkan sendiri ketiga anak laki-lakinya setelah sang suami meninggal. Karim berusia 8 tahun waktu itu dan bermukim di negeri ibunya selama 15 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara itu belajar ilmu hukum karena ingin membahagiakan ibunya.

"Setahun terakhir ini ibu saya tinggal di Kuala Lumpur, dekat dengan cucu-cucunya dan semua kerabat dari Ayah."

Pengalaman masa kecil di Kuala Kangsar itu memberinya pengetahuan tentang komunikasi yang lebih luas dari sekadar ilmu komunikasi di buku teks. Mungkin itu juga yang membuat Karim memilih jenis kerja yang memungkinkannya berhubungan dengan banyak orang dari banyak kebudayaan.

Sebagai konsultan di bidang komunikasi, ia tak hanya melayani kepentingan perusahaan. Banyak klien mengungkapkan persoalan keluarga kepadanya. Itu mungkin karena ia mampu meletakkan diri pada posisi orang lain; sesuatu yang kental dipengaruhi profesinya sebagai penulis.

Multidimensi

Sungguh tak mudah mengenali sosok Karim hanya dari sepotong perjumpaan. Ia pernah menjadi pengacara perusahaan sebelum menjadi penulis dan pejalan. Ia juga penikmat seni.

Karim dikenal sebagai kolumnis di berbagai surat kabar nasional di Malaysia dan surat kabar internasional, menyoroti isu-isu politik dan budaya di Asia Tenggara. Ia juga penulis sastra.

Kumpulan cerita pendeknya tentang masyarakat Malaysia kontemporer, Heroes and Other Stories, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kolom-kolomnya yang dibukukan dikomentari para tokoh terkemuka, di antaranya VS Naipaul, penerima Nobel Sastra 2001 kelahiran Trinidad.

Seluruh kegiatannya senantiasa terkait dengan perjumpaan-perjumpaan. Itulah caranya mengenal suatu negeri. Kebudayaan yang bernapas dalam denyut kehidupan manusianya mendorong dia masuk ke tempat-tempat yang tidak banyak diperhatikan di Asia Tenggara.

Pun di Indonesia. Ia berusaha menyentuh jantung negeri ini, antara lain dengan memasuki kehidupan di akar rumput agar bisa merasakan getarnya.

"Saya bertemu diva ludruk yang hartanya habis digulung lumpur di Sidoarjo," ia berkisah. "Tetapi, ia tetap naik pentas, masuk ke setiap tokoh yang dia perankan. Saya kira inilah sumber kekuatannya," ujar Karim yang mengikuti permainan Ludruk Perdana itu sampai dini hari.

Proses "keluar-masuk" ke dalam diri tokoh-tokoh yang ia ciptakan terjadi ketika menulis fiksi, proses yang memberi Karim keasyikan khas, yang membuatnya selalu rindu untuk duduk dan menulis. Sayang, suasana hatinya itu sering terkikis oleh target-target yang tak kunjung habis.

Di mejanya, sebuah novel menunggu penyempurnaan.

Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007

Arkeologi: Kapak Purba Ditemukan di Kudus

KUDUS, KOMPAS - Tim Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan tiga batu yang berfungsi sebagai kapak dan sabit yang digunakan manusia purba (Homo erectus) di Situs Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Kamis (22/11). Penemuan ini menjadi kunci pengungkapan tabir kehidupan purba di Situs Patiayam.

Dengan penemuan tersebut, terkuak sudah bentuk budaya manusia purba yang diperkirakan hidup pada bentang waktu 1 juta hingga 500.000 tahun yang lalu. Selain itu, Tim Balai Arkeologi Yogyakarta yang dipimpin langsung Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto juga menemukan fosil gajah purba (Stegodon trigonocephalus) dalam kondisi relatif utuh.

Siswanto maupun arkeolog senior Harry Widianto menyatakan, penemuan tersebut tergolong istimewa, mengingat perburuan tim ahli untuk menguak Situs Patiayam sudah dimulai sejak 1979 dan baru sekarang bisa menemukan benda yang menjadi kunci pembuka tabir Situs Patiayam secara lengkap

Artinya, Situs Patiayam yang tercatat sebagai situs hominid bersama Situs Sangiran, Trinil, Kedungbrubus, Perning, Ngandong, dan Ngawi telah terkuak jati dirinya. Hal itu termasuk berbagai jenis binatang purba dan jenis batuannya. "Memang, dibandingkan dengan Sangiran, manusia purba di Situs Patiayam jauh lebih sedikit, hanya bisa dihitung dengan jari tangan," ujar Harry.

Temukan tengkorak

Tim Geologi Institut Teknologi Bandung yang dipimpin Yahdi Yaim baru menemukan sebuah gigi prageraham bawah dan tujuh buah pecahan tengkorak manusia serta sejumlah besar tulang belulang binatang purba pada tahun 1979. Namun, Franz Wilhem Junghuhn, warga Jerman, telah menemukan lebih dahulu fosil vertebrata tahun 1857.

Menurut catatan Kompas, pada akhir November 1981 , warga Desa Terban, Sukarmin (56), menemukan dua fosil gading gajah purba yang berukuran 3,17 meter dan 1,14 meter. Benda bersejarah ini sampai sekarang masih disimpan di Museum Ronggowarsito Semarang, Jawa Tengah.

Lokasi penemuan fosil gajah purba yang berada di atas ketinggian 78 meter dari permukaan laut, Kamis siang, itu untuk sementara ditutup dengan plastik dan diuruk tanah. Pengamanannya diserahkan kepada Paguyuban Pelestari Situs Patiayam. Hal itu dilakukan mengingat Tim Balai Arkeologi Yogyakarta harus kembali ke markasnya di Yogyakarta, Jumat ini.

"Kami akan kembali dengan membawa berbagai perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengangkat dan mencetaknya dengan bahan khusus. Ini butuh biaya tentunya," ujar Siswanto.

Harry sangat menyayangkan, berbagai penemuan tersebut sampai sekarang belum pernah ditindaklanjuti Pemerintah Kabupaten Kudus maupun jajaran DPRD. (SUP)

Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007