Friday, January 07, 2011

[Teropong] Tradisi Lisan: Sumber Pembentukan Karakter Bangsa

Pengantar:
Asosiasi Tradisi Lisan menyelenggarakan Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara VII, diikuti sekitar 250 peserta yang membahas 50 makalah dengan tema "Potensi Keragaman Tradisi Lisan dalam Menciptakan Kehidupan yang Harmonis", akhir November 2010 di Pangkal Pinang. Satu tulisan di halaman ini dan dua tulisan di halaman 34 merupakan catatan seminar tersebut. Redaksi


-- St Sularto


TRADISI Lisan Penetapan Asosiasi Tradisi Lisan sebagai satu-satunya lembaga swadaya masyarakat oleh UNESCO, Desember 2010, merupakan bukti kehadiran lembaga nirlaba ini dihargai dunia. Tidak oleh pemerintah negara sendiri, Indonesia.

Menyelenggarakan pertemuan dua tahun sekali sejak 1998, berlangsung di sejumlah daerah, hasilnya antara lain rekaman tertulis berupa naskah-naskah buku, lembaga ini memberikan jasa besar dalam mendokumentasikan kekayaan kreatif bangsa.

Pewarisan budaya merupakan proses sosial. Karena bangsa kita berbudaya nonton partner berbudaya lisan, sebelum mengenal budaya tulis, tradisi lisan antara lain berupa narasi, legenda, anekdot, wayang, pantun, atau syair. Dalam cakupan lebih luas, tradisi lisan juga berupa pembacaan sastra, visualisasi sastra dengan tari dan gerakan, termasuk pameran. Dia berkaitan dengan sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, sistem genealogi, dan sistem pengetahuan.

Indonesia dengan kekayaan budayanya, yang perlu dikenal dan dikembangkan, dalam kemasan harian Kompas ”Mengenal Tanah Air” dan kemudian ”Merajut Nusantara” sebagai tema perayaan 45 tahun kelahirannya termasuk dalam konteks keinginan merekam budaya tradisi lisan. Itulah kekayaan budaya. Industri kreatif bangsa kita, sumber inspirasi penciptaan produk kreatif, misalnya musik dan televisi, film, teater, opera sebagai duplikasi dari industri kreatif, sehingga kekayaan daerah seperti I La Galigo dari Makassar atau Ramayana dan Mahabarata dari Jawa Tengah menjadi kekayaan budaya yang memperkaya khazanah Tanah Air.

Pernyataan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPPS tentang pentingnya mencari nilai tambah tradisi lisan yang dilakukan ATL selama ini dipertegas oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal. Bahwa pembentukan karakter bangsa yang belakangan ini menjadi isu di kalangan pendidik perlu dikembalikan pada keragaman kultur kita. Tradisi lisan, kekayaan budaya—kita alami lebih dulu budaya omong dibanding budaya tulis—harus dilestarikan sebagai pengaya pendidikan karakter bangsa. Mengibaratkan anak sebelum 6 tahun yang memiliki 100 miliar sel otak merupakan potensi, bangsa ini juga demikian.

Ditempatkan dalam tradisi lokal, kekayaan dari daerah, setiap daerah merupakan kekayaan sendiri. Kementerian Pendidikan Nasional mendukung kehadiran ATL dengan usahanya merekam kekayaan budaya kreatif bangsa Indonesia, sejalan dengan dukungan institusional Kementerian Budaya dan Pariwisata.

Pergelaran yang diselenggarakan bersamaan dengan seminar tiga hari, 19-22 November, di Pantai Pasir Padi—kebiasaan seperti enam seminar sebelumnya—merupakan kesatuan logis. Di sana ditampilkan kesenian daerah yang mengandung kearifan lokal. Dalam peristiwa itu ada perasaan bangga atas keragaman Indonesia, yang juga direpresentasikan peserta yang berasal dari seluruh pelosok Tanah Air.

Cerita rakyat atau dongeng hanya salah satu contoh dari sekian banyak ragam tradisi lisan atau tuturan. Dia seharusnya bisa dimanfaatkan masyarakat masa kini untuk menggugah kembali nilai-nilai yang dibutuhkan. Contohnya pela gandong, yang disebut oleh pengajar mata kuliah hukum adat Unpatti, Fricean Tutuarima, sebagai penjaga pascakonflik Ambon. Ia menjadi perajut kembali hubungan orang bersaudara di Maluku.

Ingatan kolektif dunia

Pentingnya pewarisan itu di kalangan anak-anak, betapa dalam diri mereka perlu ditanamkan budaya kearifan lokal sejak kecil. Tradisi Melayu, Mak Yong, disampaikan oleh peneliti Dijk van der Meij dari UIN Syarif Hidayatullah, sebagai hasil kesenian yang menggabungkan unsur musik, nyanyi, tarian, dan dialog Melayu. Mak Yong diusulkan menjadi ingatan kolektif dunia, termasuk kekayaan potensi ingatan kolektif dunia yang berasal dari Indonesia, seperti Mahabarata, Ramayana, Negara Kretagama, Pararaton, I La Galigo.

Lebih jauh lagi, keragaman budaya lisan dan tulis di Indonesia lainnya layak diajukan sebagai nominasi ingatan kolektif dunia (memory of the world) mengingat ragam kekayaan yang dimiliki, misalnya di Indonesia dikenal tulisan pertama kali berhuruf palawa pada abad IV, yang hingga kini masih bertahan 11 penulisan lokal di Indonesia, dan 742 bahasa ibu. Dalam hal bahasa, Indonesia hanya kalah dibandingkan dengan Papua Niugini yang memiliki 867 bahasa ibu. Jumlah bahasa itu bisa berkurang seperti halnya bahasa Jawa sebagai dampak budaya dari globalisasi.

Potensi pengajuan keragaman budaya Indonesia sebagai ingatan kolektif dunia tidak hanya mencakup unsur bahasa dan tulisan, tetapi juga pustaka ataupun tradisi lisan yang ditemukan—sejumlah cara dilakukan, termasuk yang diusahakan LSM Asosiasi Tradisi Lisan. Tradisi lisan merupakan deposit penting khazanah tambang budaya Indonesia, yang potensial diajukan sebagai ingatan kolektif dunia, potensi besar industri kreatif dunia, tulis Mukhlis PaEni, salah satu pembina ATL.

Tradisi lisan merupakan kekayaan budaya yang tidak saja perlu dilestarikan, tetapi juga dikembangkan, tulis mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati dalam makalahnya. Perlu dilakukan pendekatan multikultural agar diperoleh pemahaman komprehensif sehingga hasilnya bisa dipakai sebagai sumber belajar bagi pengembangan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, menjadi sumber bagi pembentukan karakter bangsa.

Repotnya, terjadi ”salah kaprah” bahwa tradisi lisan identik dengan masa lalu, kurang terjamin akurasinya, dan ada jarak dengan generasi muda perlu diluruskan. Tradisi lisan perlu ditempatkan secara proporsional. Tradisi lisan, tulis Ali Akbar dari Departemen Arkeologi UI dalam makalahnya, memang identik dengan masa lalu, tetapi cukup banyak aktivitas masyarakat saat ini menggunakan tradisi lisan.

Salah satu contohnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mengembangkan kode-kode isyarat antara atasan dan bawahan atau antar-rekan kerja sangat lazim ditemui sampai saat ini. Kode atau gerakan tersebut terbukti efektif untuk meningkatkan produktivitas kerja dan mencapai target produksi. Lagu-lagu yang dinyanyikan bersama, gerakan-gerakan teratur dan berirama, serta pantun saling bersahutan sering terdengar untuk meningkatkan kebersamaan, mengurangi kelelahan dan mengajarkan nilai-nilai yang dikembangkan perusahaan. Jadi, tradisi lisan bukan merupakan bagian dari masa lalu, melainkan hadir di tengah-tengah keseharian hidup masa kini.

Dari penelitian Ali Akbar, disimpulkan tradisi lisan yang sering disebut dongeng, mitos, legenda, dan sejenisnya belum tentu bersifat fiktif. Kalaupun tidak bisa dikaitkan dengan fakta sejarah, bukan tidak mungkin dongeng, mitos, dan legenda itu terjadi di zaman prasejarah. Butuh penelusuran mendalam sebab ketika bangsa Indonesia hidup dalam masa prasejarah, beberapa bangsa lain di dunia sudah berada dalam masa sejarah.

Terbuka kemungkinan besar untuk membuktikan bahwa dongeng, mitos, dan legenda itu merupakan fakta yang kebetulan tidak dituliskan. Pembuktian semacam itu tidak mungkin dilakukan ketika ilmuwan dan peneliti Indonesia apriori terhadap kebenaran tradisi lisan secara ilmiah. Dibutuhkan dekonstruksi sikap tentang status tradisi lisan dalam khazanah dunia ilmiah Indonesia.

Pembangunan karakter bangsa

”Keragaman Tradisi Lisan dalam Menciptakan Keharmonisan Kehidupan Masa Depan Bangsa”, tema yang ditentukan panitia seminar kali ini dan perlunya sikap apresiatif terhadap tradisi lisan, memperoleh momentum aktual. Bangsa Indonesia tengah mengalami krisis multidimensi, tidak saja hilangnya kepercayaan rakyat terhadap elite politik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tetapi juga tidak munculnya praksis pemerintahan yang prorakyat.

Tak ada hati nurani. Salah satu sumber pokoknya, kata H Soemarno Soedarsono (80)—pendidik yang punya obsesi besar tentang pendidikan karakter bangsa—adalah terabaikannya pembangunan karakter. Menurut Soemarno, pembangunan karakter anak bangsa harus diutamakan agar terhindar dari krisis (Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang, ElexKomputindo, 2010).

Tradisi lisan menawarkan bahan pembangunan karakter, pelengkap Pancasila sebagai core values pembangunan karakter bangsa. Dan, ketika dunia pendidikan terkesan baru ”bangun” dari kelengahan mengembangkan karakter dalam praksis pendidikan akhir-akhir ini, seiring dengan tereduksinya penyampaian nilai-nilai kebangsaan Pancasila dan terabaikannya pengembangan karakter, ada tanda-tanda diperoleh tone nada yang sama antara kemerosotan moralitas bangsa, pembangunan karakter, dan kekayaan budaya Indonesia.

Pernyataan ”mencerdaskan kehidupan bangsa” yang diamanahkan Pembukaan UUD 1945, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat adalah fungsi pendidikan nasional sesuai Pasal 3 UU Sisdiknas 2003, tidak sebatas berurusan dengan kognisi dan keterampilan, tetapi juga watak. Simpul yang menyatukan kognisi, keterampilan, dan watak adalah bernalar. Nalar itu bukan ditambahkan, tetapi menyatu dengan praksis pendidikan, yang sumber-sumbernya berasal dari khazanah budaya, termasuk di dalamnya tradisi lisan.

Keinginan Depdiknas mengembangkan pendidikan karakter dalam praksis pendidikan hendaknya tidak selesai dengan pernyataan, tetapi diikuti perencanaan matang menyangkut materi, silabus, dan cara menyampaikan dengan titik sentral pengembangan nalar. Di sana dikembangkan prinsip integrity is the name of the game (integritas di atas segalanya)! Dan tidak dihasilkan manusia-manusia pintar-terampil tetapi tidak berkarakter!

Sumber: Kompas, Jumat, 7 Januari 2011

No comments: